Gus Dur dan Orang Kayo sangat jauh berbeda dari segi kulturnya. Gus Dur berdarah Jawa, sementara orang Karo berdarah Batak.
Keduanya bertemu pada titik "Kesatuan Negara Republik Indonesia". Orang Karo berasal dari Sumatera Utara, sementara Gus Dur berasal dari Jombang, Jawa Timur.
Hubungan keduanya hanya sebatas percakapan dalam sebuah mobil. Itu bisa disaksikan dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (hal 157). Ketika itu, Gus Dur mengangkat pembahasan "Orang Karo dan Kebanggaannya". Tulisan itu merupakan tulisan Gus Dur di Majalah Tempo pada tahun 1983.
Sepanjang isi tulisan itu, ada beberapa percakapan yang dilakukan dengan seorang supir taksi berdarah Karo. Mulai dari perihal nyanyian hingga prinsip pekerjaan yang dimiliki oleh Orang Karo.
Si supir menjelaskan, bahwa "Lebih enam puluh persen orang Karo menjadi supir. Mereka tidak tahan bekerja dengan diam di satu tempat saja. Harus berkeliling dengan kendaraan, baru puas," begitulah penuturan supir taksi kepada Gus Dur.
Selain itu, ada juga beberapa kisah yang mengangkat beberapa orang Karo yang telah sukses yang tetap ingin merawat sebuah mobil. Seperti Djamin Ginting, Selamat Ginting, dan juga yang namanya Sitepu, dari Kepolisian ketika itu.
Gus Dur menjelaskan, dalam modernitas memiliki dua sisi, yakni negatif dan positif. Hal positifnya dapat disaksikan pada orang Karo yang menjadikan kendaraan sebagai kerja profesionalnya.
Gus Dur mengatakan, "Bahwa di pedalaman pulau Sumatera ada masyarakat yang begitu cinta pada kendaraan bermotor, dan menjadikan dunia permotoran sebagai tumpuan perhatian profesional, tak terbayangkan tanpa adanya modernisasi."
***
Bagi Anda yang tidak mengetahui Karo, Karo merupakan salah satu suku Batak dan nama salah satu kabupaten yang berlokasi di Sumatera Utara. Mungkin Anda tidak asing lagi dengan daerah ini. Iya, betul, Gunung Sinabung yang telah erupsi puluhan tahun lalu hingga sekarang membuat daerah ini sangat terkenal. Padahal, Karo memiliki adat istiadat, budaya, kuliner, dan pariwisata yang tiada duanya.
Baca juga: Kontroversi Pernyataan Sinta Nuriyah Perihal"Jilbab"