Perkembangan zakat di Indonesia memang mengalami perkembangan yang dinamis dalam rentang waktu yang sangat panjang, seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia melalui Indonesia bagian barat, Tanah Rencong. Dalam kurun waktu yang panjang ini, terjadi tarik menarik pengurusannya antara publik dan institusi Negara. Tarik menarik ini dapat menghambat kinerja zakat dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap legalitas zakat dalam penarikan dan distribusinya. Zakat yang sebelumnya berada di ranah amal-sosial, setelah diambil alih oleh pemerintah kini telah berkembang ke ranah pembangunan-ekonomi, terdengar lebih merata dengan menyalurkan manfaat zakat ke ranah yang lebih umum. Tapi apakah kepengurusan zakat oleh pemerintah ini memberikan angin segar untuk masa depan zakat di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita flashback ke beberapa abad yang lalu untuk membaca lagi sejarah zakat di Indonesia.
1. Praktik Awal Hingga Masa Kolonial
Praktik zakat di masa awal masuknya Islam di sebelah barat Indonesia pada abad ke-11 masih berupa hipotesis. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti cukup yang menyatakan bahwa zakat masa itu dikumpulkan secara regular dan formal oleh penguasa Muslim sebagai suatu kewajiban seperti pajak bagi warga Negara. Christian Snouck Hurgronje[1] (1857-1936) berargumen bahwa sifat sukarela dari pembayaran zakat ini disebabkan oleh proses islamisasi Indonesia yang terjadi secara damai, bukan karena penaklukan militer.
Dengan cara damai seperti ini, maka zakat di Indonesia tidak pernah dipandang sebagai bentuk pajak keagamaan atau upeti politik yang sifatnya wajib. Maka kemudian pembayaran zakat di Indonesia lebih banyak diserahkan kepada Muslim secara individual dengan basis kesukarelaan. Dua institusi sosial-keagamaan lokal memegang peran penting di sini, yaitu masjid dan pesantren.[2]
Proses masuknya Islam di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Wilayah Jawa yang sebelumnya kental dengan budaya Budha-Hindu, ketika Islam mulai masuk maka terjadilah akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Sedangkan Aceh, purifikasi telah terjadi di awal masuknya Islam, bahkan dilakukan oleh institusi resmi Negara saat itu, Syaikhul Islam seperti yang dilakukan Nuruddin Al-Raniri (w. 1658). Pemimpin Negara yang religius tersebut menegekkan ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.
Negara saat itu juga telah memiliki institusi dan sistem keuangan yang permanen, bahkan di masa keemasan Aceh dalam kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) memiliki kontrol politik yang mencakup wilayah Sumatera dan semenanjung Malaysia, Negara telah memiliki baitul mal dan sistem ‘usyr dan perpajakan. Dengan karakteristik religius dari kekuasaan negara dapat diperkirakan bahwa negara telah mengumpulkan zakat secara wajib di Aceh, setidaknya walaupun kewajiban zakat tersebut bersifat kewajiban religius individual, akan tetapi negara telah memfasilitasinya.[3]
Amelia Fauzia menuliskan dalam penelitian sejarah Negara Indonesia, Faith and the State, hipotesis kesukarelaan dalam praktik zakat secara umum di Indonesia mendapatkan penguatan dengan tidak ditemukannya regulasi negara dalam kitab hukum kerajaan di wilayah Sumatera seperti Undang-Undang Melaka, maupun hukum kerajaan Melayu lainnya seperti Undang-Undang Kerajaan Pahang, Undang-Undang Kedah, dan 99 Undang-Undang Perak. Begitu pun regulasi tentang zakat tidak ditemukan dalam kitab hukum kerajaan di Jawa, seperti Undang-Undang Mataram maupun kitab hukum kerajaan Mataram lainnya.
Seiring melemahnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, praktik zakat mal dan zakat fitrah di Indonesia berubah sepenuhnya menjadi urusan pribadi, sedangkan ‘usyr dipandang tidak lagi bersifat religius. Ulama mendapatkan manfaat dari zakat mal dan zakat fitri yang dibayarkan secara sukarela, sedangkan negara mendapatkan manfaat dari pajak dan ‘usyr. Pada abad ke-19, pajak yang telah diterapkan oleh kerajaan-kerajaan nusantara telah diakuisisi oleh kolonial Belanda.[4]
Di era pejajahan kolonial Belanda, sejak 1858 kebijakan pemerintah Belanda terhadap praktik zakat secara umum bersifat netral dan berusaha tidak campur tangan. Pada tahun 1866 pemerintah Belanda membuat regulasi yang melarang seluruh pejabat untuk ikut campur dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat. Zakat sepenuhnya dilepaskan kepada tiap individu, dengan kebijakan yang non intervensi ini zakat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.
Akan tetapi tindakan ini ternyata adalah strategi terhadap regulasi pajak yang dibebankan kepada rakyat Indonesia, dengan kata lain kesukarelaan menunaikan zakat akan dikalahkan dengan beban pajak besar yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasca regulasi tentang zakat 1866, pengumpulan zakat di Jawa terbagi dua; pertama, pengumpulan aktif yang dilakukan oleh penghulu (hakim agama) yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah setempat, pengumpulan zakat oleh pihak ini bersifat wajib. Kedua, pengumpulan pasif oleh pemuka agama dan bersifat sukarela.[5]
Cikal bakal pengelolaan zakat modern di Indonesia dapat ditelusuri dari pengelolaan zakat oleh Muhammadiyah, organisasi masyarakat Islam Indonesia terbesar kedua yang didirikan pada 1912. Berbekal tiga landasan utama, yaitu teologi al-Mâ’ûn, modernismedan etos puritan, Muhammadiyah sejak 1918 telah mampu mentransformasikan zakat dan praktik filantropi Islam lainnya untuk keadilan dan kesejahteraan sosial.
2. Masa Kemerdekaan Hingga Era Reformasi
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, praktik zakat masih tetap sama dengan masa sebelumnya, belum berkembang karena pemerintah memilih untuk tidak ikut campur dalam pengelolaannya. Departemen agama yang dibentuk pada tahun 1946 mengeluarkan Surat Edaran No. A/VVII/17367 tertanggal 8 desember 1951 yang menyatakan bahwa Departemen Agama tidak akan ikut campur dalam pengelolaan zakat yang ada, pemerintah hanya memfasilitasi kehidupan beragama.
Berbeda halnya dengan masa Orde Baru, di masa transisi politik antara 1966-1968 terdapat permintaan yang kuat untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Pada juli 1967, Departemen Agama mempresentasikan RUU Zakat ke parlemen (DPR Gotong Royong), serta mengirimkannya ke Departemen Keuangan dan Departemen Sosial untuk mendapatkan masukan, namun parlemen tidak menindaklanjuti RUU Zakat yang telah disampaikan Departemen Agama ini.[6]
Pada tahun 1968, terbit Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4/Juli/1968 tentang pendirian Badan Amin Zakat (BAZ) dan PMA No. 5/Oktober/1968 tentang pendirian Baitul Mal di seluruh daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan zakat. Tetapi keputusan ini tidak sempat berjalan karena tidak mendapat dukungan dari Presiden Soeharto. Dimotivasi oleh kekhawatiran terhadap Islam politik, Presiden berupaya menghentikan gagasan formalisasi syari’ah Islam dengan cara yang halus, yaitu memusatkan pengelolaan zakat pada dirinya sendiri. Pada Oktober 1968, Soeharto mendeklarasikan dirinya sebagai amil zakat nasional personal, akan tetapi pengelolaan zakat ini gagal karena hasilnya tidak jauh dari target. Pada November 1970, Soeharto mengundurkan diri sebagai amil zakat nasional personal setelah melaporkan dana zakat yang terhimpun di rekeningnya selama menjadi amil nasional hanya Rp. 39,5 juta dan US$ 2.473.[7]
Pasca pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatan amil nasional personal, sejumlah lembaga amil zakat bentukan pemerintah mulai bermunculan dengan nama Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS). Setelah kegagalan itu juga Presiden Soeharto mendirikan lembaga sosial bernama Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila[8] pada 1982, yayasan ini menarik dana sedekah dari PNS Muslim dengan cara memotong langsung sebagian kecil dari gaji bulanan mereka.[9] Adapun PNS yang non Muslim dikelola oleh Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais). Dana yang dipotong dari gaji PNS ini bukanlah zakat, melainkan sedekah wajib.
Pendirian BAZIS di tingkat provinsi terus menyebar pasca terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29/1991 dan No. 47/1991 tentang Pembinaan BAZIS, yang menjadi dasar legalitas bagi kehadiran BAZ. Kemunculan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) nasional yang diawali oleh BAZ Provinsi di era 1970-an, diikuti dengan LAZ berbasis BUMN pada 1980-an, dan diikuti LAZ murni masyarakat sipil di 1990-an, terlihat berjalan beriringan dengan peningkatan pendapatan nasional.
Di era Orde Baru, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang mengagumkan. Di periode 1965-1996, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 6,7% pertahun, diiringi penurunan pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,4% pada 1965-1980 menjadi 1,8% pada 1980-1996. Jika pada pertengahan 1960-an pendapatan per kapita hanya $100, angka ini melonjak menjadi $580 pada 1980-an dan menembus $1.000 pada 1990-an.[10]
Selain tiga jenis lembaga amil zakat yang disebutkan di atas, kepanitian zakat secara temporer barbasis masjid atau pesantren, atau pemberian zakat secara langsung kepada mustahik atau pemimpin agama informal, masih dilakukan secara luas di penjuru negeri. Pengelolaan zakat secara ekonomis-produktif, tetapi tidak terperhatikan. Potensi zakat yang membesar, seiring kemerdekaan dan meningkatnya tingkat pendapatan penduduk sebagai akibat dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tetap tidak mampu dikelola dengan baik.[11]
3. Pengelolaan Zakat di Indonesia Pasca Orde Baru
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, jumlah organisasi pengelola zakat meningkat drastis. Pertumbuhan lembaga filantropi Islam Indonesia di era reformasi ini banyak dimotivasi oleh empat faktor internal, yaitu euforia gerakan reformasi, krisis ekonomi, konflik etnis dan agama dan bencana tsunami pada akhir tahun 2004 di Aceh. Selain faktor internal dalam negeri, kondisi eksternal seperti solidaritas terhadap Muslim Afghanistan, Palestina dan Irak juga turut memicu maraknya kelahiran lembaga filantropi Islam di Indonesia ini.
Kinerja filantropi Islam mengalami kebangkitan di tangah lembaga amil bentukan masyarakat sipil di era 1990-an. Kinerja yang dimulai dengan gerakan sadar zakat di media massa, melakukan inisiatif pengelolaan zakat kolektif dan mendayagunakan zakat secara produktif. Pengelolaannya mulai berkembang secara profesional dan modern dengan berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Zakat yang semula hanya kegiatan amal karitas mulai bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi-sosial yang diperhitungkan, akan tetapi potensi yang besar ini masih saja belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.[12]
Dalam keadaan kebijakan pengelolaan zakat nasional yang belum jelas dan juga koordinasi antarlembaga amil zakat di tingkat nasional yang tidak ada, pada tahun 1997 berdirilah Forum Zakat (FOZ) yang kemudian pada 1999 secara resmi ditujukan menjadi asosiasi BAZ dan LAZ seluruh Indonesia.[13] Sebagai asosiasi lembaga amil di tingkat nasional, FOZ memegang peran penting dalam pembentukan jaringan kerja, koordinasi aktivitas anggota, diseminasi informasi hingga advokasi kebijakan pada pemerintah. Akan tetapi dalam praktiknya FOZ dianggap lebih merepresentasikan LAZ yang merupakan bentukan masyarakat sipil, sedangkan BAZ yang merupakan bentukan pemerintah kemudian berhimpun di bawah koordinasi BAZNAS yang beridiri pada 2001.
Runtuhnya Orde Baru membawa angin segar bagi regulasi zakat, cita-cita Departemen Agama yang lahir di 1967, formulasi pengelolaan zakat di Indonesia mendapatkan peluang untuk bangkit setelah sekian lama tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bahkan Departemen Agama dan Departemen Kehakiman telah membuat draf UU Zakat di tahun 1985. Pasca penandatanganan RUU Haji oleh Presiden Habibie, Departemen Agama segera menyelesaikan draf UU Zakat dan mengirimkannya ke Sekretariat Negara pada April 1999. Departemen Agama mendapatkan izin prakarsa dari Sekretariat Negara pada Mei 1999. Draf UU Zakat kemudian disampaikan ke parlemen pada Juni 1999 dan pembahasan UU dilakukan satu bulan setelahnya. Dan pada 23 September 1999, UU Zakat disahkan dan zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia. UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat ditandatangani Desember 1999 oleh Presiden Habibie.[14]
Dalam UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah mengatur sanksi bagi organisasi pengelola zakat (OPZ) yang melanggar peraturan umum, hanya saja belum ada peraturan yang menunjukkan zakat bersifat imperatif dan tidak ada sanksi bagi wajib zakat yang tidak membayarnya. Secara implisit, dalam UU Zakat ini masih menganggap zakat bersifat sukarela. Lemahnya kerangka regulasi zakat ini juga dikarenakan tidak adanya tata kelola yang baik sehingga mencegah penyalahgunaan dana sosial Islam dan memberi perlindungan yang memadai bagi pembayar zakat. Meski demikian salah satu prestasi yang dicapai saat itu yaitu telah dilakukan upaya untuk menjadikan zakat sebagai pengurang kewajiban pajak.[15]
Di pertengahan tahun 2000-an draf undang-undang pengganti zakat telah disiapkan. Pasca regulasi UU Zakat 1999, banyak ketidakpuasan terhadap undang-undang zakat yang telah disuarakan baik oleh masyarakat sipil maupun pemerintah. Barulah pada Munas FOZ yang ke-3 di tahun 2003 diajukan permintaa secara formal oleh LAZ untuk mengamendemen UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Upaya amendemen baru dilakukan di parlemen tahun 2005 di mana RUU Pengelolaan Zakat yang merupakan perubahan atas UU No, 38/1999 masuk dalam program legislasi nasional (Proglegnas) 2005-2009 dan bahkan menjadi RUU prioritas tahun 2009. Namun proses amendemen tersebut tersendat karena tahun 2009 merupakan tahun politik, anggota parlemen sibuk mempersiapkan proses pesta rakyat, pemilu. Proses amendemen UU Zakat terhenti di masa kerja DPR periode 2004-2009.[16]
Pembahasan amendemen UU Zakat kembali dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya melalui RUU inisiatif DPR. Draf undang-undang inisiatif DPR keluar pada awal 2010 dan DIM (daftar isian masalah) dari pemerintah keluar pada awal 2011. Setelah dibahas selama dua masa sidang, UU baru Zakat disahkan DPR pada 27 Oktober 2011[17]. UU No. 23 Tahun 2011 menandai era baru pengelolaan zakat nasional karena zakat disentralisasi di tangan pemerintah, yaitu melalui BAZNAS. Sedangkan nasib LAZ meski masih diakui, kedudukannya hanya sebagai pembantu BAZNAS dengan salah satu tugasnya untuk memberikan pelaporan ke BAZNAS. Selain sebagai operator, BAZNAS juga memegang fungsi regulator seperti perencanaan, pengendalian, menerima pelaporan dari BAZNAS provinsi, kabupaten/kota dan LAZ, serta berhak mendapat anggaran APBN dan APBD.[18]
4. Masa Depan Regulasi Zakat
Tarik menarik pengelolaan zakat kini berakhir di tangan pemerintah, akan tetapi hal ini menuai banyak kritik. Regulasi yang lemah dan seakan setengah hati dalam pengelolaannya menjadi salah satu kritik dari pemerhati zakat. Di sisi lain jika pengelolaan zakat diberikan kepada masyarakat sipil juga sulit berkembang karena tidak mampu membuat regulasi yang mengikat dan bersifat otoritatif. Diskursus pengelolaan zakat ini terus berlanjut di tangan sarjana-sarjana Muslim di Indonesia.
Dari sejarah regulasi zakat Indonesia di atas, dapat kita pahami bahwa dalam era regulasi zakat No. 23 Tahun 2011 pengelolaan zakat masih memiliki PR yang banyak, salah satunya adalah regulasi yang mengikat muzakki dengan sanksi, karena sanksi yang ditetapkan dalam UU Zakat tahun 2009 hanya memberlakukan sanksi untuk LPZ yang lalai dalam tugas. Semestinya tatkala pengelolaan zakat diserahkan kepada pemerintah, peraturan yang otoritatif dan mengikat ini lebih mudah untuk diimplementasikan.
Di bulan November 2015 lalu penulis pernah melemparkan pertanyaan kepada nara sumber dalam seminar “Pemetaan Potensi dan Problematika Zakat di Indonesia” yang diadakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka Yogyakarta. Menurut hemat penulis, jika masyarakat yang enggan membayar pajak diberi sanksi dengan pemutusan hak penggunaan fasilitas publik yang diberikan pemerintah,
bagaimana jika muzakki yang enggan membayar zakat diberikan sanksi pelarangan untuk melakukan pernikahan atau haji, melihat prioritas hukum zakat terletak di posisi ketiga dalam rukun Islam dan urusan nikah dan haji melibatkan pemerintah sebagai regulator. Sayangnya pertanyaan dan usulan mentah tadi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan –menurut penulis-. Menurut nara sumber, Indonesia belum siap untuk hal itu, perbaikan zakat di Indonesia harus dilakukan dengan teori buttom-up.
Perdebatan regulasi zakat khususnya dalam tema sanksi ini masih menjadi perdebatan yang panjang dan harus diperjuangkan karena manfaatnya yang besar dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup mustahik. Jika menurut nara sumber di atas perbaikan zakat di Indonesia harus dengan teori buttom-up, menurut penulis masih kurang optimal terutama dalam penarikan dana zakat,
jika hanya menunggu kesadaran umat Islam untuk membayar maka akan membutuhkan waktu beberapa generasi untuk memperbaiki pola pikir masyarakat. Akan tetapi jika teori di atas mampu bersinergi dengan teori top-down, regulasi yang kuat dan bertaring akan mampu menyadarkan masyarakat Islam di Indonesia akan pentingnya peran zakat dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
-------------------------------------------------------------------------------------
[1] Ia adalah seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme. Tokoh Belanda yang berhasil membantu colonial dalam menaklukkan pemerintahan Aceh.
[2] Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia, hlm. 32.
[3] Ibid., hlm. 32-35.
[4] Ibid., hlm. 85.
[5] Ibid., hlm. 36.
[6] Salim, Challenging the Secular State, hlm. 122.
[7] Ibid., hlm. 123-125.
[8] Yayasan ini sebenarnya adalah gagasan Departemen Agama yang gagal mendirikan BAZ dengan dukungan Presiden Soeharto, yayasan yang sebenarnya didirikan pada tahun 1981 ini kemudian diganti nama menjadi Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila oleh Presiden.
[9] Yayasan ini menarik sedekah dengan memotong langsung dari gaji PNS, Rp. 50,- untuk golongan satu, Rp. 100,- untuk golongan dua, Rp. 500,- untuk golongan tiga dan Rp. 1.000,- untuk golongan empat.
[10] Yusuf Wibisono, op. cit., hlm. 41-42.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 43-44.
[13] Dikutip dari situs Forum Zakat (FOZ) www.forumzakat.net.
[14] Yusuf Wibisono, op. cit., hlm. 44-45.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Forum Zakat (FOZ), Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2015, cet. I, Forum Zakat, Jakarta, hlm. 12
[18] Ibid., hlm. 47.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H