Mohon tunggu...
Lukmanul Hakim
Lukmanul Hakim Mohon Tunggu... Guru -

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Suka Yogyakarta. Memiliki minat dalam studi zakat dan lembaga keuangan syariah.

Selanjutnya

Tutup

Money

Regulasi Zakat di Indonesia, Kebijakan Setengah Hati

19 Januari 2016   23:39 Diperbarui: 19 Januari 2016   23:55 2403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam keadaan kebijakan pengelolaan zakat nasional yang belum jelas dan juga koordinasi antarlembaga amil zakat di tingkat nasional yang tidak ada, pada tahun 1997 berdirilah Forum Zakat (FOZ) yang kemudian pada 1999 secara resmi ditujukan menjadi asosiasi BAZ dan LAZ seluruh Indonesia.[13] Sebagai asosiasi lembaga amil di tingkat nasional, FOZ memegang peran penting dalam pembentukan jaringan kerja, koordinasi aktivitas anggota, diseminasi informasi hingga advokasi kebijakan pada pemerintah. Akan tetapi dalam praktiknya FOZ dianggap lebih merepresentasikan LAZ yang merupakan bentukan masyarakat sipil, sedangkan BAZ yang merupakan bentukan pemerintah kemudian berhimpun di bawah koordinasi BAZNAS yang beridiri pada 2001.

Runtuhnya Orde Baru membawa angin segar bagi regulasi zakat, cita-cita Departemen Agama yang lahir di 1967, formulasi pengelolaan zakat di Indonesia mendapatkan peluang untuk bangkit setelah sekian lama tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bahkan Departemen Agama dan Departemen Kehakiman telah membuat draf UU Zakat di tahun 1985. Pasca penandatanganan RUU Haji oleh Presiden Habibie, Departemen Agama segera menyelesaikan draf UU Zakat dan mengirimkannya ke Sekretariat Negara pada April 1999. Departemen Agama mendapatkan izin prakarsa dari Sekretariat Negara pada Mei 1999. Draf UU Zakat kemudian disampaikan ke parlemen pada Juni 1999 dan pembahasan UU dilakukan satu bulan setelahnya. Dan pada 23 September 1999, UU Zakat disahkan dan zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia. UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat ditandatangani Desember 1999 oleh Presiden Habibie.[14]

Dalam UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah mengatur sanksi bagi organisasi pengelola zakat (OPZ) yang melanggar peraturan umum, hanya saja belum ada peraturan yang menunjukkan zakat bersifat imperatif dan tidak ada sanksi bagi wajib zakat yang tidak membayarnya. Secara implisit, dalam UU Zakat ini masih menganggap zakat bersifat sukarela. Lemahnya kerangka regulasi zakat ini juga dikarenakan tidak adanya tata kelola yang baik sehingga mencegah penyalahgunaan dana sosial Islam dan memberi perlindungan yang memadai bagi pembayar zakat. Meski demikian salah satu prestasi yang dicapai saat itu yaitu telah dilakukan upaya untuk menjadikan zakat sebagai pengurang kewajiban pajak.[15]

Di pertengahan tahun 2000-an draf undang-undang pengganti zakat telah disiapkan. Pasca regulasi UU Zakat 1999, banyak ketidakpuasan terhadap undang-undang zakat yang telah disuarakan baik oleh masyarakat sipil maupun pemerintah. Barulah pada Munas FOZ yang ke-3 di tahun 2003 diajukan permintaa secara formal oleh LAZ untuk mengamendemen UU No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Upaya amendemen baru dilakukan di parlemen tahun 2005 di mana RUU Pengelolaan Zakat yang merupakan perubahan atas UU No, 38/1999 masuk dalam program legislasi nasional (Proglegnas) 2005-2009 dan bahkan menjadi RUU prioritas tahun 2009. Namun proses amendemen tersebut tersendat karena tahun 2009 merupakan tahun politik, anggota parlemen sibuk mempersiapkan proses pesta rakyat, pemilu. Proses amendemen UU Zakat terhenti di masa kerja DPR periode 2004-2009.[16]

Pembahasan amendemen UU Zakat kembali dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya melalui RUU inisiatif DPR. Draf undang-undang inisiatif DPR keluar pada awal 2010 dan DIM (daftar isian masalah) dari pemerintah keluar pada awal 2011. Setelah dibahas selama dua masa sidang, UU baru Zakat disahkan DPR pada 27 Oktober 2011[17]. UU No. 23 Tahun 2011 menandai era baru pengelolaan zakat nasional karena zakat disentralisasi di tangan pemerintah, yaitu melalui BAZNAS. Sedangkan nasib LAZ meski masih diakui, kedudukannya hanya sebagai pembantu BAZNAS dengan salah satu tugasnya untuk memberikan pelaporan ke BAZNAS. Selain sebagai operator, BAZNAS juga memegang fungsi regulator seperti perencanaan, pengendalian, menerima pelaporan dari BAZNAS provinsi, kabupaten/kota dan LAZ, serta berhak mendapat anggaran APBN dan APBD.[18]

4. Masa Depan Regulasi Zakat

Tarik menarik pengelolaan zakat kini berakhir di tangan pemerintah, akan tetapi hal ini menuai banyak kritik. Regulasi yang lemah dan seakan setengah hati dalam pengelolaannya menjadi salah satu kritik dari pemerhati zakat. Di sisi lain jika pengelolaan zakat diberikan kepada masyarakat sipil juga sulit berkembang karena tidak mampu membuat regulasi yang mengikat dan bersifat otoritatif. Diskursus pengelolaan zakat ini terus berlanjut di tangan sarjana-sarjana Muslim di Indonesia.

Dari sejarah regulasi zakat Indonesia di atas, dapat kita pahami bahwa dalam era regulasi zakat No. 23 Tahun 2011 pengelolaan zakat masih memiliki PR yang banyak, salah satunya adalah regulasi yang mengikat muzakki dengan sanksi, karena sanksi yang ditetapkan dalam UU Zakat tahun 2009 hanya memberlakukan sanksi untuk LPZ yang lalai dalam tugas. Semestinya tatkala pengelolaan zakat diserahkan kepada pemerintah, peraturan yang otoritatif dan mengikat ini lebih mudah untuk diimplementasikan.

Di bulan November 2015 lalu penulis pernah melemparkan pertanyaan kepada nara sumber dalam seminar “Pemetaan Potensi dan Problematika Zakat di Indonesia” yang diadakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka Yogyakarta. Menurut hemat penulis, jika masyarakat yang enggan membayar pajak diberi sanksi dengan pemutusan hak penggunaan fasilitas publik yang diberikan pemerintah,

bagaimana jika muzakki yang enggan membayar zakat diberikan sanksi pelarangan untuk melakukan pernikahan atau haji, melihat prioritas hukum zakat terletak di posisi ketiga dalam rukun Islam dan urusan nikah dan haji melibatkan pemerintah sebagai regulator. Sayangnya pertanyaan dan usulan mentah tadi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan –menurut penulis-. Menurut nara sumber, Indonesia belum siap untuk hal itu, perbaikan zakat di Indonesia harus dilakukan dengan teori buttom-up.

Perdebatan regulasi zakat khususnya dalam tema sanksi ini masih menjadi perdebatan yang panjang dan harus diperjuangkan karena manfaatnya yang besar dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup mustahik. Jika menurut nara sumber di atas perbaikan zakat di Indonesia harus dengan teori buttom-up, menurut penulis masih kurang optimal terutama dalam penarikan dana zakat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun