2. Masa Kemerdekaan Hingga Era Reformasi
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, praktik zakat masih tetap sama dengan masa sebelumnya, belum berkembang karena pemerintah memilih untuk tidak ikut campur dalam pengelolaannya. Departemen agama yang dibentuk pada tahun 1946 mengeluarkan Surat Edaran No. A/VVII/17367 tertanggal 8 desember 1951 yang menyatakan bahwa Departemen Agama tidak akan ikut campur dalam pengelolaan zakat yang ada, Â pemerintah hanya memfasilitasi kehidupan beragama.
Berbeda halnya dengan masa Orde Baru, di masa transisi politik antara 1966-1968 terdapat permintaan yang kuat untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Pada juli 1967, Departemen Agama mempresentasikan RUU Zakat ke parlemen (DPR Gotong Royong), serta mengirimkannya ke Departemen Keuangan dan Departemen Sosial untuk mendapatkan masukan, namun parlemen tidak menindaklanjuti RUU Zakat yang telah disampaikan Departemen Agama ini.[6]
Pada tahun 1968, terbit Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4/Juli/1968 tentang pendirian Badan Amin Zakat (BAZ) dan PMA No. 5/Oktober/1968 tentang pendirian Baitul Mal di seluruh daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan zakat. Tetapi keputusan ini tidak sempat berjalan karena tidak mendapat dukungan dari Presiden Soeharto. Dimotivasi oleh kekhawatiran terhadap Islam politik, Presiden berupaya menghentikan gagasan formalisasi syari’ah Islam dengan cara yang halus, yaitu memusatkan pengelolaan zakat pada dirinya sendiri. Pada Oktober 1968, Soeharto mendeklarasikan dirinya sebagai amil zakat nasional personal, akan tetapi pengelolaan zakat ini gagal karena hasilnya tidak jauh dari target. Pada November 1970, Soeharto mengundurkan diri sebagai amil zakat nasional personal setelah melaporkan dana zakat yang terhimpun di rekeningnya selama menjadi amil nasional hanya Rp. 39,5 juta dan US$ 2.473.[7]
Pasca pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatan amil nasional personal, sejumlah lembaga amil zakat bentukan pemerintah mulai bermunculan dengan nama Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS). Setelah kegagalan itu juga Presiden Soeharto mendirikan lembaga sosial bernama Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila[8] pada 1982, yayasan ini menarik dana sedekah dari PNS Muslim dengan cara memotong langsung sebagian kecil dari gaji bulanan mereka.[9] Adapun PNS yang non Muslim dikelola oleh Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais). Dana yang dipotong dari gaji PNS ini bukanlah zakat, melainkan sedekah wajib.
Pendirian BAZIS di tingkat provinsi terus menyebar pasca terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29/1991 dan No. 47/1991 tentang Pembinaan BAZIS, yang menjadi dasar legalitas bagi kehadiran BAZ. Kemunculan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) nasional yang diawali oleh BAZ Provinsi di era 1970-an, diikuti dengan LAZ berbasis BUMN pada 1980-an, dan diikuti LAZ murni masyarakat sipil di 1990-an, terlihat berjalan beriringan dengan peningkatan pendapatan nasional.
Di era Orde Baru, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang mengagumkan. Di periode 1965-1996, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 6,7% pertahun, diiringi penurunan pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,4% pada 1965-1980 menjadi 1,8% pada 1980-1996. Jika pada pertengahan 1960-an pendapatan per kapita hanya $100, angka ini melonjak menjadi $580 pada 1980-an dan menembus $1.000 pada 1990-an.[10]
Selain tiga jenis lembaga amil zakat yang disebutkan di atas, kepanitian zakat secara temporer barbasis masjid atau pesantren, atau pemberian zakat secara langsung kepada mustahik atau pemimpin agama informal, masih dilakukan secara luas di penjuru negeri. Pengelolaan zakat secara ekonomis-produktif, tetapi tidak terperhatikan. Potensi zakat yang membesar, seiring kemerdekaan dan meningkatnya tingkat pendapatan penduduk sebagai akibat dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tetap tidak mampu dikelola dengan baik.[11]
3. Pengelolaan Zakat di Indonesia Pasca Orde Baru
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, jumlah organisasi pengelola zakat meningkat drastis. Pertumbuhan lembaga filantropi Islam Indonesia di era reformasi ini banyak dimotivasi oleh empat faktor internal, yaitu euforia gerakan reformasi, krisis ekonomi, konflik etnis dan agama dan bencana tsunami pada akhir tahun 2004 di Aceh. Selain faktor internal dalam negeri, kondisi eksternal seperti solidaritas terhadap Muslim Afghanistan, Palestina dan Irak juga turut memicu maraknya kelahiran lembaga filantropi Islam di Indonesia ini.
Kinerja filantropi Islam mengalami kebangkitan di tangah lembaga amil bentukan masyarakat sipil di era 1990-an. Kinerja yang dimulai dengan gerakan sadar zakat di media massa, melakukan inisiatif pengelolaan zakat kolektif dan mendayagunakan zakat secara produktif. Pengelolaannya mulai berkembang secara profesional dan modern dengan berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Zakat yang semula hanya kegiatan amal karitas mulai bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi-sosial yang diperhitungkan, akan tetapi potensi yang besar ini masih saja belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.[12]