Januari 2021, di saat masyarakat digoncangkan dengan wabah covid-19 dan bencana alam di beberapa daerah adalah waktu di mana kekhawatiran, keraguan dan kegamangan melanda hati. Sungguh, tidak kuat rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita cintai. Layla sudah lama mengenalku bahkan sebelum kami jadian, kami sudah akrab waktu di SMA, sering bertengkar, berbagi cerita dan hal-hal indah lainnya telah kami lewati bersama. Kini, kami bersama lagi, bahkan saling mencintai satu sama lain di perguruan tinggi tepatnya di Universitas Wiraraja Sumenep.
Menginjak semester dua, aku tidak bisa berkata apa-apa, bicara banyak atau bahkan melarangnya tatkala dia memutuskan untuk pindah ke institusi yang lain. Sore itu, ketika aku berada di depan kelas dan mahasiswa-mahasiswi berlalu-lalang untuk pulang Layla berkata kepadaku.
"Bintang, aku mau bicara sama kamu." Ucap Layla dengan raut wajah serius.
"Iya La, kamu mau bicara apa?" Jawabku pada Layla.
"Bin, aku mau pindah kuliah ke Surabaya." Ujar Layla.
"Kamu mau kuliah di mana emangnya? Kan udah semester dua di sini!"
"Iya Bin, aku pengen memperdalam agama di pondok pesantren. Ternyata, setelah aku cari tau informasinya, di sana juga menyediakan perkuliahan."
Mendengar jawaban terakhir Layla, aku tercengang emangnya ada kuliah sambil mondok. Kalaupun toh ada, emangnya dia bisa fokus. Bisikan hatiku waktu itu sebelum Layla pulang dijemput oleh ayahnya. Pikiran pun mulai tak karuan ketika ingat kalau besok adalah giliranku maju untuk presentasi makalah.
Malam mulai tiba dan bintang-bintang mulai bermunculan, membentuk gugusan yang indah. Masih tentang Layla, ya, aku masih memikirkannya. Aku tidak bisa bertindak banyak ataupun memaksanya untuk tidak pergi ke Surabaya meninggalkanku. Selain belajar ilmu umum, dia juga ingin memperdalam ilmu agama karena memang keluarganya, ayah dan ibnuya terutama adalah lulusan dari pondok pesantren. Barangkali, Layla termotivasi dengan kedua orang tuanya itu. Tak lama kemudian, aku hubungi Layla melalui WhatsApp.
"La, kamu kapan pergi ke Surabaya?" Tanya aku pada Layla.
"Satu minggu lagi Bin, aku mau berangkat." Jawab Layla.
"Kenapa secepat itu sih, bukannya kita sudah jadian sejak semester awal kemaren. Apa hubungan kita berakhir sampai di sini?" Aku sangat khawatir dengan hubungan kami. Kalimat itulah yang ku kirim ke Layla.
"Aku pergi untuk mengejar impian Bin. Selain meluaskan intelektualitas juga ingin mendalami spiritualitas di pondok pesantren. Aku tau km tidak sanggup menerima ini, begitu pun aku. Kau harus tau, ada saatnya kita harus meninggalkan dan ditinggalkan orang-orang yang kita cintai. Percayalah aku akan tetap menajadi Layla yang mencintaimu."
Jawaban itu merasuk ke dalam relung hati begitu dalam. Seketika itu juga, aku kembali menatap langit yang petang dan ternyata aku sadar bahwa gugusan bintang yang terlihat jauh, sejauh mata memandang adalah arti dari perjuangan. Sama seperti yang aku dan Layla alami, tidak hanya saling berjuang untuk mempertahankan namun juga harus rela berkorban demi kebahagiaan di masa depan yang masih panjang. Walaupun Layla pergi jauh untuk mencari ilmu, namun aku harus tetap berusaha agar hubungan ini tetap indah sebagaimana gugusan bintang itu, jauh namun indah dan menentramkan tatkala dipandang.
Akhirnya, hari itu datang. Hari di mana Layla akan pergi. Ternyata, tidak semudah apa yang ku bayangkan seperti ketika melihat gugusan bintang malam itu. Aku hanya menatap dari kejauhan berharap dia tidak akan pergi jauh meninggalkan. Andaikan aku menghampirinya, mungkin aku akan menangis, betapa rapuh dan sendunya perasaan ini. Dia pamit kepadaku tadi malam dan berusaha untuk tetap tegar walaupun aku tau, di balik raut wajah yang bahagia itu, ada kesedihan yang terpendam di wajah Layla.
Setelah peristiwa kepergian itu, teman Layla bernama Wulan menghampiriku dan memberikan surat. "Ini dari Layla, kamu baca Bin." Ujar Wulan lalu, pergi meninggalkan.
Untuk Bintang
"Bin, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja di sana. Pasti kamu kaget ya menerima surat ini. Mohon maaf ya, sebelum kepergianku aku agak bersikap dingin kepadamu karena jika aku tidak begitu, aku takut kamu akan sangat sedih menerima kenyataan ini. Walalupun toh, sebenarnya memang hal itu tidak bisa dihindari. Namun, setidaknya kamu bisa belajar Bin, tatkala seseorang yang kamu cintai pergi dan masih menyimpan rasa di hatinya untukmu.Â
Suatu hal yang perlu kamu ketahui Bin. Aku pergi jauh bukan berarti aku tidak lagi mencintaimu sebagaimana sebelumnya, bukan juga agar kamu tidak mencintaiku, bukan itu harapan ku Bin. Aku pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu, memperdalam ilmu agama karena aku tahu perasaan orang tuaku sejak dulu. Mereka ingin agar aku belajar di pondok pesantren dan akhirnya ketika aku sudah daftar kuliah, aku mengajukan diri untuk kuliah di pondok pesantren saja. Pun, juga jauh dari hal-hal duniawi.Â
Perjuangan kita masih panjang, Bin. Sudahlah tidak usah kita berandai-andai. Karena itu hanya akan menimbulkan perasaan nggak karuan di hati. Kita harus tetap semangat kuliah hingga lulus dan membahagian keluarga kita. Aku akan baik-baik saja di sini Bin dan kamu juga, jaga diri baik-baik ya!
      Bin, jika kamu masih merasakan sesuatu di dadamu, maka simpanlah itu sebaik mungkin. Aku tetap akan menjadi Layla yang sama untukmu."
- Layla
Hari demi hari pun aku lewati tanpanya. Setelah beberapa hari dari kepergiannya, aku masih kepikiran dan tidak semangat lagi untuk belajar. Juga sering menyendiri dan merenung  di dalam kamar.
"Kamu kenapa Bin. Akhir-akhir ini kok enggak semangat dan sering merenung. Pasti kepikiran tentang Layla ya?" Ibu datang menghampiriku.
"Iya bu, akhir-akhir ini aku down karena ditinggal pergi sama dia. Padahal kita sudah jadian dan saling mencintai!" Ucapku pada ibu. Biasanya, jika aku kelihatan murung atau tak semangat, ibu selalu datang menghampiri dan mananyaiku.
"Sudah...jangan kamu pikir terlalu berat, Bin. Doakan yang terbaik untuk dia. Jika dia memang jodohmu, dia pasti akan kembali kok. Justru karena dia pergi jauh menuntut ilmu, harusnya kamu labih semangat, menjadi yang terbaik untuk dia kelak. Layla sangat mencintaimu."
Esoknya, tatkala siang berganti malam, aku duduk di depan rumah, di atas kursi yang menghadap ke ara utara. Lalu, menatap langit berhias gugusan bintang yang masih sama seperti sebelumnya, indah dan menyimpan banyak rahasia sembari merenung bahwa cinta bukan tentang bagaimana rasa itu jatuh, melainkan bagaimana ia tetap bisa hidup di dalam hati yang rapuh. Benar apa yang dikatakan ibu. Aku harus lebih semangat untuk belajar apalagi aku masih menginjak semester dua dan bulan depan semester tiga. Sementara Layla, mungkin karena dia pindah instansi, dia kembali lagi ke semester awal.
Kini, akuharus  terus berusaha untuk tetap tegar menghadapi semuanya, hidup harus terus tetap berlanjut. Setelah satu bulan kepergiannya, aku mulai terbiasa dengan tugas-tugasku yang numpuk, membaca buku dan mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus. Tentunya, sembari menunggu cerita cinta ku dan Layla berlanjut. Aku yakin karena kuatnya cinta kami berdua, aku dan dia pasti akan dipertemukan entah dimana dan kapan waktunya. Isi surat Layla itu membuatku sadar akan cintanya yang tulus.
Sumenep, 10 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H