Arwah yang disiksa adalah arwah yang dilanda kesusahan dan kesedihan. Oleh karenanya, arwah tersebut tidak dapat meraih maqam kemuliaan dan disibukkan dengan siksa. Sehingga, ia tidak dapat saling bertemu, berkunjung serta berdiskusi.hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur’an:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39)
“Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan” (Q.S al-Mudatsir: 38-39)
Dalam tafsirnya, al-Maraghi (146: 140) menyebutkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan mereka di dunia tanpa ada satu pun yang terlewatkan baik perbuatan kafir, mukmin atau perbuatan yang menetang dan yang ta’at. Sementara orang-orang yang berada di golongan kanan maka, Allah swt membebaskan mereka dengan sebab perbuatan-perbuatan baiknya sebagaimana seorang penggadai mengikhlaskan barang gadaiannya untuk memenuhi hak yang telah ditetapkan.
Sehingga, dari sini kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan bagian pertama ini, arwah yang disiksa yaitu arwah yang berada di golongan kiri yang identik dengan sesuatu yang jelek. Mereka akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan jelek mereka yang dilakukan di dunia kelak di akhirat. Pertanggung jawaban ini juga dipertegas dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” (Q.S al-Isra’: 36)
Imam Qatadah dalam hal ini memberikan gambaran yang hakikatnya nanti kembali pada kejujuran serta kebenaran. Beliau mengatakan bahwa jangan berkata “Aku melihat” sementara ia sendiri tidak melihat, jangan juga berkata “Aku mendengar” sementara ia sendiri tidak mendengar, begitu juga jangan berkata “Aku mengetahui” sementara ia sendiri tidak mengetahuinya sama sekali. Sebab, Allah swt akan menanyakan semuanya kelak di akhirat. Sehingga, Allah swt melarang hambanya agar tidak berkata sesuatu tanpa adanya pengetahuan (berdusta) atau mengatakan hanya sesuai dugaanya sendiri untuk mengelabuhi orang lain. Maka, ini dilarang oleh Allah swt (Ibnu Katsir, 1994: 53). Rasulullah saw bersabda;
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا
“Jauhkanlah dirimu dari perasngka karena perasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan. Dan janganlah kamu mencari kesalahan, memata-matai, janganlah kamu saling berbuat dengki, janganlah kamu saling membelakangi dan janganlah kamu saling benci. Jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari dari sahabat Abu Hurairah).
Tentu, yang dimaksud dengan prasangka di sini adalah mengatakan kepada orang lain dengan perkataan yang hanya berdasarkan dugaannya saja atau dikatakan dengan “berdusta” sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Qatadah di atas. Seperti yang juga terjadi di era modern ini, banyak permasalahan di media sosial seperti merebaknya kasus hoaks, berita-berita yang dapat memprovokasi atau yang bernada rasis. Maka, perbuatan ini dilarang dalam Islam dan semuanya baik yang menulis, membuat video atau yang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya akan dipertanyakan kelak di akhirat.