Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Berbagi itu indah

Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir STAI Al Fithrah Sby

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Syaikh Ahmad Asrari Al-Ishaqy tentang Hakikat dan Macam-Macam Ruh Ala Sufi

11 Maret 2021   12:21 Diperbarui: 11 Maret 2021   12:40 4739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dakta.com

Dalam kehidupan kita di dunia, kerap kali kita mendengarkan kata “ruh” atau bahkan kita sendiri yang mengatakannya. Dalam masyarakat, pembahasan mengenai ruh memanglah sangat jarang karena ia adalah sesuatu yang lembut dan halus, tidak dapat dilihat oleh panca indra kecuali oleh orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah swt. Secara global, pemahamanm mereka tentang ruh adalah ia yang bertempat dijasad kita dan yang dapat merasakan sementara jasad hanyalah tempat untuk menopang bagi ruh.

Dalam kasus lain, kita juga sering menemukan pertanyaan seperti apakah sama atau berbeda antara ruh dan jiwa? Juga “Apakah ruh orang yang sudah meninggal dapat saling berkunjung kelak?” sehingga, untuk menjawab pertanyaan tersebut maka, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai definisi serta macam-macam ruh dan pembahasan lain yang terkandung di dalamnya.

Definisi Ruh

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ruh adalah sesuatu (unsur yang berada dalam jasad yang diciptakan oleh Tuhan sebagai penyebab adanya hidup atau kehidupan.  Dalam kitab tafsir al-Manar, “Ruh” adalah hakikat dari manusia yang sifatnya menetap, dengan sebab ruhlah jasad memiliki kekuatan. Ia yang menjaga jasad dan mengatur gerakan-gerakan anggota badan, sementara apabila ruh tersebut lepas dari jasad maka, jasad tidak akan berfungsi lagi (Rasyid Ridha, 1990: 270). Allah swt berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh, katakanlah ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit’” (Q.S al-Isra’: 85)

Senada dengan Rasyid Ridha, Imam Fakhruddin al-Razi (2000: 31) juga mengatakan bahwa ruh memanglah ada, ia yang dapat merubah terhadap jasad. Ruh adalah esensi dari jasad sementara jasad sendiri dapat dikatakan dengan sesuatu yang memiliki banyak campuran. Lalu, apakah perbedaan antara ruh dan jiwa? Sebab kerap kali seseorang mengatakan bahwa ruh dan jiwa tidak beda, keduanya sama. Dalam Al-Qur’an kata “Nafs” memiliki arti jiwa sedangkan kata “Ruh” memiliki arti ruh, walaupun ulama’ tafsir sendiri berbeda pendapat ketika menafsirkan lafal “Nafs” yakni bermakna ruh.

Lebih jelasnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberikan penjelasan mengenai perbedaan ini. Beliau menyatakan bahwa ruh dan jiwa adalah satu substansi, hanya saja yang membedakan adalah dari segi sifatnya, ruh memiliki sifat “Lahutiyah” sementara jiwa memiliki sifat “Nasutiyah” atau Ketuhanan (Zaenatul Hakamah, 2015: 247).

Macam-Macam Ruh Perspektif Syaikh Ahmad Asrari Al-Ishaqy R.A

Dalam kitab “Al-Muntakhabat” karya Syaikh Ahmad Asrari Al-Ishaqi R.A. Beliau menyebutkan bahwa arwah dibagi menjadi dua bagian yaitu arwah yang disiksa dan arwah yang dianugerahi keni’matan.

1.  Arwah yang disiksa

Arwah yang disiksa adalah arwah yang dilanda kesusahan dan kesedihan. Oleh karenanya, arwah tersebut tidak dapat meraih maqam kemuliaan dan disibukkan dengan siksa. Sehingga, ia tidak dapat saling bertemu, berkunjung serta berdiskusi.hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur’an:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39)

Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan” (Q.S al-Mudatsir: 38-39)

Dalam tafsirnya, al-Maraghi (146: 140) menyebutkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan mereka di dunia tanpa ada satu pun yang terlewatkan baik perbuatan kafir, mukmin atau perbuatan yang menetang dan yang ta’at.  Sementara orang-orang yang berada di golongan kanan maka, Allah swt membebaskan mereka dengan sebab perbuatan-perbuatan baiknya sebagaimana seorang penggadai mengikhlaskan barang gadaiannya untuk memenuhi hak yang telah ditetapkan.

Sehingga, dari sini kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan bagian pertama ini, arwah yang disiksa yaitu arwah yang berada di golongan kiri yang identik dengan sesuatu yang jelek. Mereka akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan jelek mereka yang dilakukan di dunia kelak di akhirat. Pertanggung jawaban ini juga dipertegas dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” (Q.S al-Isra’: 36)

Imam Qatadah dalam hal ini memberikan gambaran yang hakikatnya nanti kembali pada kejujuran serta kebenaran. Beliau mengatakan bahwa jangan berkata “Aku melihat” sementara ia sendiri tidak melihat, jangan juga berkata “Aku mendengar” sementara ia sendiri tidak mendengar, begitu juga jangan berkata “Aku mengetahui” sementara ia sendiri tidak mengetahuinya sama sekali. Sebab, Allah swt akan menanyakan semuanya kelak di akhirat. Sehingga, Allah swt melarang hambanya agar tidak berkata sesuatu tanpa adanya pengetahuan (berdusta) atau mengatakan hanya sesuai dugaanya sendiri untuk mengelabuhi orang lain. Maka, ini dilarang oleh Allah swt (Ibnu Katsir, 1994: 53). Rasulullah saw bersabda;

إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا 

Jauhkanlah dirimu dari perasngka karena perasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan. Dan janganlah kamu mencari kesalahan, memata-matai, janganlah kamu saling berbuat dengki, janganlah kamu saling membelakangi dan janganlah kamu saling benci. Jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari dari sahabat Abu Hurairah).

Tentu, yang dimaksud dengan prasangka di sini adalah mengatakan kepada orang lain dengan perkataan yang hanya berdasarkan dugaannya saja atau dikatakan dengan “berdusta” sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Qatadah di atas. Seperti yang juga terjadi di era modern ini, banyak permasalahan di media sosial seperti merebaknya kasus hoaks, berita-berita yang dapat memprovokasi atau yang bernada rasis. Maka, perbuatan ini dilarang dalam Islam dan semuanya baik yang menulis, membuat video atau yang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya akan dipertanyakan kelak di akhirat.

2.  Arwah yang dianugerahi kenikmatan

Arwah yang dilimpahkan nikmat oleh Allah (Arwah al-Muna’amah) adalah arwah yang dianugerai kenikmatan, bebas, tidak terpenjara, bisa saling bertemu, saling berkunjung, serta saling berdiskusi tentang sesuatu yang terjadi pada penduduk dunia. Oleh karena itu, setiap ruh bersama dengan teman sejawatnya yang memiliki amal yang sama dengannya. Sementara ruh Nabi Muhammad saw maka, ruh beliau bersama perkumpulan yang paling mulia dan luhur.

Pada bagian ini adalah kebalikan dari arwah pada bagian yang pertama di mana arwah pada bagian pertama adalah golongan kiri sementara yang pada bagian yang kedua ini adalah golongan kanan, mereka ta’at pada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً (69) 

Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu, Nabi-Nabi, Para Shiddiqin, Orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh dan mereka itulah teman yang terbaik” (Q.S al-Nisa’: 69)

Adapun maksud dari ayat di atas ialah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan Allah dan juga Rasul-Nya. Sehingga, orang yang demikian itu akan ditempatkan oleh Allah di tempat paling mulia. Ia akan bersama orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi yakni orang-orang pilihan Allah swt dari para Nabi, orang-orang yang benar, orang-orang yang mati syahid serta bersama orang-orang mukmin yang saleh baik dhahir maupun batin. Syaikh Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa maksud dari “al-Siddiqin” di sini yaitu orang yang benar baik dari segi ucapan maupun keyakinanya kepada Allah. Sementara “al-Salihin” adalah orang yang baik, yang mana kebaikannya lebih menyeluruh dari pada kejelekannya (Wahbah Zuhaili, t.th: 142).

Orang yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya akan bersama mereka di tempat yang satu dan nikmat yang satu, mereka saling bergembira karena langsung hadir bersama orang-orang pilihan Allah tersebut. Bukan karena derajat yang sama akan tetapi karena saling berziarah satu sama lain sebagaimana dilakukan di dunia.

Dalam ayat lainnya Allah swt menyebutkan arwah bagian yang kedua ini dengan sebutan yang lembut “Nafs al-Mut}hmainnah” yakni jiwa yang tenang sebagaimana dalam surat al-Fajr ayat 27-30 “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaku-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”.

Syaikh Zamakhsyari (t.th: 752) dalam tafsirnya “al-Kasyaf ’an Haqaiqi Gawamid al-Tanzil” menjelaskan bahwa maksud dari “Muthmainnah” pada ayat tersebut yaitu jiwa yang tidak ada keraguan, ketakutan dan kesedihan di dalamnya. Menurut beliau, panggilan tersebut akan sampai pada seorang hamba entah pada waktu nyawanya dicabut, pada hari kebangkitan atau ketika hendak masuk ke dalam surga.

Lalu, apakah hubungannya antara ayat ini yang jika diamati ialah dengan menggunakan lafal “Nafs” yang bermakna jiwa. Sementara Syaikh Ahmd Asrari al-Ishaqi r.a menampilkan ayat ini pada pembahasan “Arwah”? Tentu, untuk menjawab permasalahan ini yaitu dengan mengacu pada kitab-kitab ulama’ tafsir. Tetap dalam tafsir “al-Kasyaf”, Syaikh Zamakhsyari juga menyebutkan bahwa ada juga ulama’ yang memaknai lafal “Nafs” dengan “al-Ruh” sehingga yang dimaksud dengan “Fadkhuli  fi Ibadi” yaitu masuklah (arwah-arwah) tadi kepada jasad para hamba Allah swt.

Senada dengan Syaikh Zamakhsyari, yaitu Imam Qisyairi dalam tafsirnya, beliau juga mencantumkan pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari “Nafs al-Muthmainnah” adalah “Ruh al-Sakinah” yaitu ruh yang tenang. Jadi, dapat kita pahami bahwa ualama’ tafsir tafsir bebeda pendapat dalam menafsiri lafal “al-Ruh” ada yang mengartikan “jiwa” dan ada yang mangartikannya dengan “al-Ruh” itu sendiri sehingga, ayat ini juga dijadikan rujukan dalam menjelaskan macam arwah yang kedua oleh Syaikh Ahmad Asrari Al-Ishaqi r.a.

Oleh sebab itu, Syaikh Ahmad Asrari al-Ishaqi r.a menyebutkan tentang pentingnya berkumpul dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan oleh Allah swt agar kita juga akan mendapatkan kebaikan baik di dunia, di alam barzah ataupun dalam alam akhirat sebagai tempat pembalasan kelak. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa dalam acara-acara majelis dzikir beliau seperti acara majelis dzikir dan maulidurrasul Nabi Muhammad saw dan acara haulnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani r.a Terutama haul akbar yang diadakan satu tahun satu kali di Pondok Pesantren Assalafi al-Fithrah Surabaya (Pusat), maka di acara majelis itu juga kita dipertemukan dengan para kekasih Allah, para kyai, para habaib serta orang-orang saleh lainnya. Tentu hal ini adalah nilai-nilai luhur dalam agama Islam serta sesuai dengan apa yang diutarakan dalam Al-Qur’an dan hadis.

Jika ditelisik lebih dalam maka, pembagian ini juga pernah dijelaskan oleh ulama’ sufi lainnya seperti Imam Ibnu Jauziyah yang juga membagi ruh dengan dua bagian yaitu ruh yang disiksa dan ruh yang mendapat nikmat. Beliau juga mengatakan bahwa ruh yang disiksa maka, ia sibuk dengan siksaannya sementara ruh yang mendapat nikmat, ia akan mendapatkan nikmat serta bebas sehingga, dapat saling berkunjung dengan ruh lainnya (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, trj. 2015: 22).                                                                                                                                

Dapat ditarik kesimpulan bahwa ruh adalah pokok atau hakikat dari suatu jasad, di mana dengan ruhlah jasad dapat bergerak, ia yang menghidupkan jasad manusia, selain itu ruh juga memiliki pengaruh terhadap kesadaran dan rasa. Adapun perbedaan antara ruh dan jiwa maka, ia terletak pada segi sifatnya. Ruh memiliki sifat ketuhanan sementara jiwa lebih pada sifat kemanusiaan. Secara garis besar, dalam Islam ruh dibagi menjadi dua yaitu ruh yang disiksa dan ruh yang diberi nikmat oleh Allah SWT.

Ruh yang disiksa adalah mereka yang dilanda kesusahan dan kesedihan. Oleh karenanya, arwah tersebut tidak dapat meraih maqam kemuliaan dan disibukkan dengan siksa. Sehingga, ia tidak dapat saling bertemu, berkunjung serta berdiskusi. Berbeda dengan ruh yang diberi nikmat maka, mereka akan mendapat kenikmatan, bebas serta dapat saling berkunjung dan berdiskusi dengan ruh-ruh yang lain. Tentu semuanya itu tergantung pada perbuatannya di dunia, semua perbuatan akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat. Oleh karenanya, perlu menjaga diri agar tidak melakukan maksiat serta terus berusaha untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.

Kabahagiaan bagi ruh yang diberi nikmat, mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang pilihan Allah dari para Nabi, orang-orang yang benar, orang-orang mati syahid, serta orang-orang saleh dari orang-orang mukmin. Ruh tersebut akan memandang wajah mereka yang disertai dengan wajah gembira berseri-seri di surga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun