Kisah nyata diatas sama sekali bukan fiksi apalagi karangan. Namun benar-benar terjadi dan sampai detik inipun secara sporadis masih hadir dalam ruang trauma pribadi manusia. Sudah ditabrak, dilukai aset utama penulis, yakni kedua tangan, ditinggal, sesampai di ruang perawatan pihak keluarga malah dapat ancaman supaya tidak melapor ke aparat hukum.Â
Cengkeraman Oligarki Begitu Kentara Pada Pena Wartawan
Padahal, bisa saja kejadian kecelakaan yang apesnya menimpa diri wartawan perantau terjadi juga pada yang lain. Mengingat deposit konflik kepentingan di Provinsi ini cukup bejibun. Sebut saja contohnya soal SDA di Bangka Belitung, pasir timah. Dimana hal ini jika ditulis sebagai produk jurnalistik yang baik dan benar. Tentu akan membuka kotak pandora sesungguhnya. Bangunan kastil kepentingan yang samar, akan terkuak secara jelas.
Ingat, yang mereka serang dan coba dimusnahkan karena dianggap mengganggu adalah PROFESI wartawan, bukan PRIBADI wartawan itu sendiri. Kebetulan si A, bukankah terbuka kemungkinan terus merembet sampai Z? Pikir berulang-ulang sebelum mengambil posisi berlainan sambil menghunus pena. Â
Tapi kan fakta sekarang ini tidak demikian. Jika ada jurnalis idealis yang menulis dengan akurat, tajam dan berbasis fakta. Invisible hands akan segera menyergapnya. Bisa jadi disergap untuk dihabisi. Jika opsi pembungkaman terus ditolak.Â
Mungkin dengan iming-iming gelimang materi. Per bulan deal berapa. Asal jangan mengangkat tulisan terkait aktivitas ilegal tadi. Dan akhirnya, karena sudah terbiasa berkompromi maka semakin gemuk, flamboyan dan tambun saja gaya hidupnya.Â
Harusnya sebagai wartawan, jurnalis, awak media, atau insan pers. Kita seminimnya bisa tergugah. Ikut merasakan derita keluarga wartawan korban tersebut. Apa yang mereka rasakan? Kepala keluarga dilukai hingga cacat, keluarganya berkurang sumber pencaharian, anak-anaknya merasakan berbulan-bulan seperti anak yatim. Kok kita sebagai sesama wartawan, bisa cuek? Apa ya penyebabnya? Apa karena sudah mati nalurinya sebagai wartawan? Tidak peka lagi. Bahkan sebagian karena dendam pribadi, rasa ketidaksukaan personal pada korban, gilanya malah menyeberang untuk menghunus pena kemudian menyerang celah aib yang seharusnya ditutupi.Â
Kalau setiap insan pers sadar. Kejadian pembungkaman, pengancaman, bahkan pemukulan berujung ke pembunuhan, bisa saja menimpa setiap manusia yang memiliki profesi wartawan. Mengingat, betapa sukacitanya para penjahat demokrasi, perampok negeri, garong berdasi sewaktu memastikan bahwa peta polarisasi di dunia jurnalistik utuh, bahkan semakin menjadi. Tidak perlu mereka bersusah payah menghubungi Dewan Pers di Ibukota, untuk membuktikan sebuah berita berupa karya jurnalistik atau bukan. Cukup beberapa gepok kertas merah yang mereka sodorkan pada para bedinde kelas lokal kemudian bedinde tadi memanggil satu dua pentolan oknum wartawan sesuai peta, maka sebuah berita akurat mendadak layu dan mati diserang belasan hingga puluhan berita pemutarbalikan fakta oleh oknum wartawan yang idealisme-nya cuma seharga gepokan rupiah. Bukankah banyak contoh yang bisa bercerita soal seperti ini. Apa mulai menderita alzheimer ringan? Hehehe.Â
Ingat tidak bab tulisan soal framing media? Bagaimana mereka bekerja bukan menyebarkan hoax. Tapi lebih kepada lihai memilih informasi yang menguntungkan kelompoknya untuk di-fabrikasi sedemikian rupa dan akhirnya jadi sebuah "kebenaran" yang dipaksakan dengan pola terus menerus diulang-ulang sampai khalayak serasa mau muntah karena bosan ditambah minim pilihan. Teori Joseph Goebbels mendapat tempat dihati pemuja kebohongan. Joseph brengsek ini pernah bilang : 1000 kebohongan yang terus disemburkan berulang-ulang akan jadi "kebenaran"Â
Semestinya kita sama-sama eling. Pekerjaan wartawan pasti beresiko besar. Harus bernyali. Karena tugasnya mengumpulkan serpihan kebenaran, yang terserak di berbagai narasumber. Kadang kebenaran yang dibutuhkan untuk dimasukan dalam narasi berita berada di pangkuan bandit kelas kakap, dan kita mau tak mau harus mengambilnya. Mafia lah namanya. Pasti pembaca pernah merasakan bukan? Ditelepon seraya dimaki-maki kata kasar, diancam dibunuh, dibuntuti oleh setan suruhan yang anehnya gemar merokok. Bahkan serasa dikawal gratis kemana gerak-gerik kita sepanjang waktu ada bayangan mengikuti. Sampai akhirnya karena sudah sampai titik jenuh dikuntit, akhirnya jadi lengah dan disitulah terjadi tragedi atas nama mengungkap fakta kebenaran.Â
Opini itu bebas, tapi Fakta itu suci.Â