Prolog
Pada 16 Agustus 1996, seorang wartawan Harian Bernas dengan domisili di DIY Yogyakarta pukul 16.30 wib menghembuskan nafas terakhirnya. Udin, demikian nama almarhum telah menjadi dark number penegakkan hukum di Indonesia sepanjang 26 tahun yang lalu. Walau banyak versi karangan petugas yang beredar sesaat sebelum dan sesudah persidangan. Tak urung nama Udin telah menjadi ikon Kebebasan Pers Indonesia tatkala bertarung dengan sifat kekuasaan yang arogan.Â
Pada kurun waktu awal 90-an sampai masa jatuhnya Orde Baru di 1998, profesi wartawan sangatlah rentan dengan intimidasi dari perangkat negara. Baik melalui kebijakan pemerintah seperti Departemen Penerangan contohnya. Hingga kasus-kasus intimidasi fisik bagi para pemburu berita saat itu. Tiga pilar Orde Baru yakni, Presiden, ABRI dan Parpol Golkar merupakan tembok kokoh yang mampu bertahan selama 32 tahun. Hal ini tentu saja bisa diingat bagi generasi yang lahir sekitar 1970 dan 1980. Rezim Orde Baru saat itu bukan saja "mengatur" dialog antar warga, bahkan masuk kedalam pikiran. Persis seperti novel termasyhur 1984 karya penulis asal Inggris, George Orwell.Â
Di beberapa bab awal buku tadi dikisahkan oleh Orwell, bahwa Si Bung Besar gambar wajah dan jargon- jargonnya jauh meyelusup hingga kedalam palung hati terdalam tiap rakyatnya. Jika ada rakyatnya yang mencoba berbeda dengan indoktrinasi massal via jutaan Cctv seantero negeri, maka seketika polisi pikiran akan datang ke depan pintu rumah rakyat Si Bung Besar. Mulai dari tontonan, hiburan lewat radio, surat kabar yang jadi konsumsi rakyatnya otomatis "dikendalikan" dengan perangkat kekuasaan yang dimiliki oleh Si Bung Besar. Mereka hendak dicetak seragam, dengan pola melihat dan mendengar semua ucapan keberhasilan Si Bung Besar.Â
Atmosfer Jurnalistik Justru Beraroma Daripada Nganggur Bukan Sebuah Talenta
Waktu pertama kali bersentuhan dengan teman-teman disini, wartawan perantau agak tergagap-gagap juga karena sama sekali tidak menyangka ritme yang berjalan cenderung berkelompok, terkotak-kotak dekat dengan keinginan pengusaha hitam. Bukan tanpa bukti, sinyalemen tadi di Agustus 2014 terbukti menimpa diri wartawan dalam bentuk insiden "laka lantas tunggal".Â
Dalam pusaran peristiwa tersebut, setidaknya ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang jadi bagian sindikat penyelundup timah. Kedua, kelompok penentang aksi sindikat. Ketiga, kelompok oportunis yang selalu hadir dengan satu, dua judul berita saduran sebagai kamuflase supaya topeng aslinya tidak copot ditabok kebenaran.Â
Peristiwa tersebut terjadi cuma berjarak dua bulan setelah wartawan News Metropol dengan segenap keberanian berhasil mengungkap penyelundupan pasir timah sebesar 27,4 ton lewat pantai Bedukang Riausilip Bangka Provinsi Bangka Belitung. Selain berhasil diamankan puluhan ton pasir timah, ada sembilan orang pelaku yang dicokok petugas. Dan perlu digarisbawahi narasi ini bukan berasal dari teori cocoklogi alias merekatkan peristiwa berlainan yang sebenarnya tidak sesuai.Â
Tapi sebelum peristiwa tabrak lari yang dialami oleh wartawan asal perantauan, ada rangkaian pra kejadian yang patut dicurigai sebagai the missing puzzle dalam musibah tersebut. Tanggal 4 Agustus 2014 sore, telepon wartawan perantau berdering. Penelepon adalah seorang Perwira Menengah berpangkat Ajun Komisaris Polisi dengan Jabatan Kasat Reskrim Polres Bangka, di telepon Kasat Reskrim yang beberapa kali tandem dengan wartawan perantau tadi mengingatkan agar wartawan sebaiknya jangan banyak muncul di wilkum Kasat Reskrim alias kabupaten Bangka, "Nama abang santer lagi diincar mereka, saya cuma ingatkan aja bang," pesan Kasat Reskrim saat itu.Â
Jeda sehari, esok siangnya di warung kopi depan Taman Makam Pahlawan kota Sungailiat. Sebuah mobil minibus hitam yang melintas mendadak berhenti dan memundurkan mobil sampai ke depan warung kopi. Tak ada yang turun, tapi mereka cukup lama berhenti di depan warung 2 menit dalam kondisi mesin menyala dan kaca rayban tertutup rapat. Walau tidak terjadi peristiwa lanjutan. Belakangan hari, ketika dalam masa pemulihan di RS Persahabatan Desember 2015, memori wartawan yang sempat koyak karena trauma perlahan pulih dengan menyusun satu persatu peristiwa sebelum hari nahas di Jumat 15 Agustis dinihari.
Ketika peristiwa itu terjadi, seingat wartawan perantau tidak ada satupun teman seprofesi yang datang berkunjung. Baik di RS Arsani, RSBT Timah ataupun RSUD Depati Hamzah. Setelah lepas trauma dan bisa berkomunikasi seperti dulu, barulah keluarga wartawan bercerita ada setidaknya empat teman seprofesi yang datang menjenguk, walau mereka cuma sampai bertanya ke keluarga wartawan di kawasan pemukiman.Â
Kisah nyata diatas sama sekali bukan fiksi apalagi karangan. Namun benar-benar terjadi dan sampai detik inipun secara sporadis masih hadir dalam ruang trauma pribadi manusia. Sudah ditabrak, dilukai aset utama penulis, yakni kedua tangan, ditinggal, sesampai di ruang perawatan pihak keluarga malah dapat ancaman supaya tidak melapor ke aparat hukum.Â
Cengkeraman Oligarki Begitu Kentara Pada Pena Wartawan
Padahal, bisa saja kejadian kecelakaan yang apesnya menimpa diri wartawan perantau terjadi juga pada yang lain. Mengingat deposit konflik kepentingan di Provinsi ini cukup bejibun. Sebut saja contohnya soal SDA di Bangka Belitung, pasir timah. Dimana hal ini jika ditulis sebagai produk jurnalistik yang baik dan benar. Tentu akan membuka kotak pandora sesungguhnya. Bangunan kastil kepentingan yang samar, akan terkuak secara jelas.
Ingat, yang mereka serang dan coba dimusnahkan karena dianggap mengganggu adalah PROFESI wartawan, bukan PRIBADI wartawan itu sendiri. Kebetulan si A, bukankah terbuka kemungkinan terus merembet sampai Z? Pikir berulang-ulang sebelum mengambil posisi berlainan sambil menghunus pena. Â
Tapi kan fakta sekarang ini tidak demikian. Jika ada jurnalis idealis yang menulis dengan akurat, tajam dan berbasis fakta. Invisible hands akan segera menyergapnya. Bisa jadi disergap untuk dihabisi. Jika opsi pembungkaman terus ditolak.Â
Mungkin dengan iming-iming gelimang materi. Per bulan deal berapa. Asal jangan mengangkat tulisan terkait aktivitas ilegal tadi. Dan akhirnya, karena sudah terbiasa berkompromi maka semakin gemuk, flamboyan dan tambun saja gaya hidupnya.Â
Harusnya sebagai wartawan, jurnalis, awak media, atau insan pers. Kita seminimnya bisa tergugah. Ikut merasakan derita keluarga wartawan korban tersebut. Apa yang mereka rasakan? Kepala keluarga dilukai hingga cacat, keluarganya berkurang sumber pencaharian, anak-anaknya merasakan berbulan-bulan seperti anak yatim. Kok kita sebagai sesama wartawan, bisa cuek? Apa ya penyebabnya? Apa karena sudah mati nalurinya sebagai wartawan? Tidak peka lagi. Bahkan sebagian karena dendam pribadi, rasa ketidaksukaan personal pada korban, gilanya malah menyeberang untuk menghunus pena kemudian menyerang celah aib yang seharusnya ditutupi.Â
Kalau setiap insan pers sadar. Kejadian pembungkaman, pengancaman, bahkan pemukulan berujung ke pembunuhan, bisa saja menimpa setiap manusia yang memiliki profesi wartawan. Mengingat, betapa sukacitanya para penjahat demokrasi, perampok negeri, garong berdasi sewaktu memastikan bahwa peta polarisasi di dunia jurnalistik utuh, bahkan semakin menjadi. Tidak perlu mereka bersusah payah menghubungi Dewan Pers di Ibukota, untuk membuktikan sebuah berita berupa karya jurnalistik atau bukan. Cukup beberapa gepok kertas merah yang mereka sodorkan pada para bedinde kelas lokal kemudian bedinde tadi memanggil satu dua pentolan oknum wartawan sesuai peta, maka sebuah berita akurat mendadak layu dan mati diserang belasan hingga puluhan berita pemutarbalikan fakta oleh oknum wartawan yang idealisme-nya cuma seharga gepokan rupiah. Bukankah banyak contoh yang bisa bercerita soal seperti ini. Apa mulai menderita alzheimer ringan? Hehehe.Â
Ingat tidak bab tulisan soal framing media? Bagaimana mereka bekerja bukan menyebarkan hoax. Tapi lebih kepada lihai memilih informasi yang menguntungkan kelompoknya untuk di-fabrikasi sedemikian rupa dan akhirnya jadi sebuah "kebenaran" yang dipaksakan dengan pola terus menerus diulang-ulang sampai khalayak serasa mau muntah karena bosan ditambah minim pilihan. Teori Joseph Goebbels mendapat tempat dihati pemuja kebohongan. Joseph brengsek ini pernah bilang : 1000 kebohongan yang terus disemburkan berulang-ulang akan jadi "kebenaran"Â
Semestinya kita sama-sama eling. Pekerjaan wartawan pasti beresiko besar. Harus bernyali. Karena tugasnya mengumpulkan serpihan kebenaran, yang terserak di berbagai narasumber. Kadang kebenaran yang dibutuhkan untuk dimasukan dalam narasi berita berada di pangkuan bandit kelas kakap, dan kita mau tak mau harus mengambilnya. Mafia lah namanya. Pasti pembaca pernah merasakan bukan? Ditelepon seraya dimaki-maki kata kasar, diancam dibunuh, dibuntuti oleh setan suruhan yang anehnya gemar merokok. Bahkan serasa dikawal gratis kemana gerak-gerik kita sepanjang waktu ada bayangan mengikuti. Sampai akhirnya karena sudah sampai titik jenuh dikuntit, akhirnya jadi lengah dan disitulah terjadi tragedi atas nama mengungkap fakta kebenaran.Â
Opini itu bebas, tapi Fakta itu suci.Â
Dihimbau pada seluruh insan pers dimanapun berada. Bersuaralah atas nama kebenaran. Jika kita tak suka pada pribadinya itu adalah hak preogratif dari kalian masing-masing. Tapi mohon setidaknya bela profesi mulia milik kita saat mendapat ancaman. Jangan cuma karena setitik perbedaan, pada akhirnya karma berlaku, dan masing- masing kita merasakan jadi korban.Â
Federasi Jurnalis Internasional telah mencatat, pada tahun 2022 setidaknya ada 67 orang wartawan yang tewas di seluruh dunia. Jumlah ini bukanlah angka yang statis, karena kalender 2023 baru saja menginjak bulan februari. Diprediksi bisa terus bertambah. Dengan modus beragam cara, para wartawan meregang nyawa karena berita. Tidaklah seorang wartawan itu berani menyabung nyawa mereka, kecuali ada fakta yang harus diungkap ke publik lewat artikelnya. Walaupun pada akhirnya harus ditebus dengan nyawa mereka. Jika hilangnya nyawa wartawan dianggap hal biasa oleh publik, mungkin itu dapat dimaklumi. Karena bukan satu informasi saja yang menyerbu ke gadget kita. Tapi mirisnya lagi, jika rekan pewarta lain menganggap itulah resiko jika berani melawan arus, serta barter dari pilihan beroposisi pada kebatilan.Â
Jika pers sudah ikut serta dalam pesta menggarong hak-hak rakyat, berpura-pura tuli dan buta ketika terjadi perampokan SDA yang dilakukan oleh koleganya, bahkan tega mempraktekan teori framing untuk mengcounter fakta yang diungkap. Pers tadi dengan dalih apapun setidaknya sudah membuat benak masyarakat terkena racun disinformasi, maka pers ikut serta sebagai barisan yang berada di barisan yang batil.Â
Dalam hemat penulis dapat dirangkum sebagai berikut : "Setiap wartawan harus bernyali, gunanya untuk menunjukkan arah investigasi. Terpenting adalah, untuk mencegah anasir khianat dalam dirinya,"(LH)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H