Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soal Penyebutan "Sumber" Dalam Pemberitaan serta Penjelasan Hak Koreksi, Hak Jawab, dan Hak Tolak

14 Maret 2023   21:25 Diperbarui: 14 Maret 2023   21:29 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangkalpinang --- Belakangan ini, setelah masifnya era android di tanah air. Jagat jurnalistik tanah air makin hiruk pikuk saja, entah dengan berjejalnya situs berita, silang pendapat dalam ranah pemberitaan, hingga yang kadang membuat jeri serta repot adalah bentuk laporan resmi ke institusi Kepolisian. Tentunya teman-teman kepolisian pun sebelum menetapkan surat perintah peyelidikan, biasanya didahului dengan mengumpulkan beberapa bukti awal dari dugaan tindak pidana.

Sampai disini, publik pun akan mafhum jika peristiwa selanjutnya kemudian bergerak kearah permintaan keterangan saksi-saksi atas dugaan tindak pidana tadi. Gamblangnya, sebut saja unsur dugaan pencemaran nama baik yang lazimnya dibuat oleh pihak-pihak setengah matang alias tidak paham kaidah jurnalistik, tapi keukeuh menepuk dada sebagai wartawan. Sebagian kata jempolan atau hebat pun dipaksakan ke publik. Dengan menuding, atau memfitnah pihak lain sebagai "anak kecil" misalnya. Tuduhan yang sumir serta memperjelas dangkalnya isi otak yang bersangkutan. Salah memilih profesi itu sial, sudah salah memilih lantas mengambinghitamkan seseorang itu dungu, demikian penulis menyadur kalimat dari filsuf millenial, Rocky Gerung.     

Sebagai penawar racun berupa fitnah berbisa dari oknum-oknum yang mengaku sebagai wartawan tapi nihil ilmu tadi, maka terbitlah UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diyakini banyak praktisi pers tanah air bagaikan sebongkah pohon rindang yang memberi rasa sejuk. Di tengah derasnya informasi berbentuk berita, serta dengan muatan menambah pintar oknum wartawan lihai bercakap tak pandai menulis  tadi. Dalam era informasi paperless seperti sekarang, media massa perlahan lebih dikenal juga kadang menakutkan tatkala sudah masuk dalam alam maya. Alias berbentuk portal berita online. Yang dibentengi dengan susunan redaksi yang jelas, nama penanggung jawab yang benar-benar disepakati antara perusahaan yang memberi tugas dengan si penerima amanah tadi. Kemudian, alamat yang bisa ditelusuri jika di belakangan hari terjadi hal-hal yang berpotensi masuk ke ranah pidana. Terakhir, website berita ini pun "harus" jantan dan tetap bisa diakses oleh publik saat sajian berita bertipikal hot news jadi bahan perbincangan publik.

Kadang hati penulis ngakak so hard melihat tingkah serta gaya arogan sebagian oknum-oknum yang mencederai profesi wartawan itu sendiri. Bayangkan saja, sudah posting berita bertendensi fitnah karena cuma katanya katanya, diperparah lagi dengan sifat banci alias memadamkan web berita atau di-shutdown. Alhasil publik pun dibuat bingung dengan kondisi seperti ini. Apakah memang demikian jatidiri profesi wartawan? Yang jika publik teliti lagi, sebenarnya itu cuma ulah segelintir oknum non kompeten yang hawa nafsunya begitu tinggi laksana Burj Khalifa di kota Dubai sana, hehehe.  

Walaupun typical media seperti contoh tadi atau yang dimaksud oleh De Fleur & Rokeach, bertolak belakang dengan yang ada di mazhab high-taste content, yakni isi media yang bersifat kritis yang disampaikan dengan "in better taste", misalnya seperti musik serius, drama canggih, diskusi politik dan acara lain yang sifatnya sebagai lawan dari low-taste content sebelumnya. Dengan skema hit and run. Setelah fitnah padamlah webnya. 

Mungkin niatnya sih ingin juga ikut bersaing, dan tanpa dipungkiri, justru faktor velocity atau kecepatan meramu berita dengan unsur 5W+1H namun tanpa dibarengi dengan akurasi yang tajam, pada akhirnya kelak menjadi perangkap tersendiri untuk teman media yang masih berkutat pada rating atau klik bait. Judulnya bombasme, bahkan ada yang berani merubah dari narasi awal. Tujuannya tentu mencari jumlah berapa hitter yang berhasil dikumpulkan oleh satu judul berita. Belum puas, berita tadi dibelah sampai empat judul, dengan maksud menggiring pembaca kedalam labirin pelanggan. Semuanya dikemas dalam bahasa pop, nuansa post modern dan tentunya ditingkahi ornamen google ads sebagai barometer kesuksesan sebuah kanal berita.

Namun bukan itu juga yang mau dibahas disini. Pada contoh kasus di banyak tempat, pelaporan ke ranah hukum oleh pihak yang merasa dirugikan dari viralnya sebuah berita. Bersumber dari tidak akuratnya sumber informasi awal. Bayangkan saja, sudah dinasehati terang benderang apa itu posisi "sumber" dalam koridor HAK TOLAK yang jadi andalan sebagian teman yang tidak teliti membaca detil isi Kode Etik Jurnalistik. 

Gini jok, adalah benar seorang sumber berita jika dinilai secara subjektif oleh wartawan, menyangkut faktor keamanan diri sumber berita serta merta masuk kedalam domain HAK TOLAK. Meski begitu, narasi dalam berita tidak bisa melampaui kewenangan aparat hukum untuk menjelaskan kepemilikan status barang misalnya. Kalau hanya berdasarkan sumber tanpa di-imbangi oleh narasumber lain sebagai pembanding yang dapat jelas disebut nama, keberadaan serta sosoknya nyata bukan samar, dipastikan berita tadi bernuansa fitnah. 

Penulis berita harus benar-benar memastikan keterangan sumber, walaupun pemberi informasi tidak mau menyebutkan siapa sumber tersebut saat berita dibuat. Akan jadi catatan penting penulis berita tersebut, dengan memberi kode (red), misalnya di akhir tulisan. Semata-mata bahwa informasi yang disampaikan tersebut hanya berdasar satu versi saja dan wajib ditindaklanjuti dengan running news berikutnya. Celakanya, si pemilik web berita secara anomali malah men-shutdown web tadi, sehingga pintu HAK JAWAB, HAK KOREKSI tertutup rapat dan akibatnya dapat disebut sebagai bukan produk jurnalistik. Karena ketentuan umum seperti susunan redaksi (dibuat diam-diam dan serampangan), tidak tercantumnya pedoman media siber, alamat redaksi yang mirip lagu hits artis Ayu Tingting, sampai kejahatan mematikan web saat berita viral. Sudah jatuh tertimpa PC namanya.      

Tahapan membuat berita

Sebelum masuk lebih dalam lagi ke intisari artikel, ada beberapa poin penting yang wajib diketahui oleh teman-teman yang baru saja bergabung di jagat jurnalistik atau dunia media. 

Yang pertama tentunya adalah menyangkut kegiatan yang wajib dilakukan sebelum para insan pers menulis sebuah berita, seperti menemukan angle berita baik berupa peristiwa atau daftar berita yang didasarkan pada hasil rapat redaksi. Banyak kantor media menyebutnya sebagai proyeksi berita . 

Proyeksi berita umumnya disusun oleh seorang redaktur berkualifikasi wartawan madya, dengan sepengetahuan pemimpin redaksi dengan jenjang wartawan utama. 

Para teman wartawan yang sedang dalam semangat tinggi, tentunya kadang bingung harus diapakan semangat yang meletup-letup didalam dada tersebut. Pingin gerak, kadang belum tahu arah mau kemana. 

Sebagai penambah informasi, biasakan dalam menemui narasumber yang akan diwawancarai, teman-teman punya dasar pijakan sesuai dengan aturan dalam UU Pers No . 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik. 

Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik.

Yang dimaksud dengan cara-cara profesional adalah:

a.    menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b.    menghormati hak privasi;

c.    tidak menyuap;

d.    menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e.    pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f.     menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g.    tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; (contoh : maen tulis nama tapi ybs tidak tahu menahu)

h.    penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

 HAK TOLAK dalam pemberitaan 

Setiap wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan (Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik). Namun begitu, dalam kaidah penulisan yang dikenal, penyebutan "sumber" selalu diikuti dengan narasumber penyeimbang yang sosoknya dapat diketahui dengan jelas. 

HAK JAWAB dan HAK KOREKSI

Apa beda hak jawab dan hak koreksi?

Perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi terletak wewenang pada pihak yang melakukannya. Hak Jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.

Apa yang dimaksud dengan hak koreksi?

Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Apakah setelah pelaksanaan hak jawab, pihak yang dirugikan dapat tetap mengajukan gugatan?

Jika hak jawab merupakan pelaksanaan dari penataan Kode Etik Jurnalistik, tidak diragukan lagi, setelah pers melayani hak jawab sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, kasus dianggap tuntas. Selesai. Tidak ada masalah lagi. Tetapi persoalannya muncul ketika hak jawab dikaitkan dengan pelaksanaan dan tafsir dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terhadap pertanyaan, apakah dari segi hukum setelah pelaksanaan hak jawab, pihak yang dirugikan dapat tetap mengajukan gugatan atau tidak, masih ada beberapa pandangan. 

Kelompok pertama, pihak yang berpendapat, setelah adanya pelaksanaan hak jawab, pihak yang merasa dirugikan dinilai tetap dapat mengajukan gugatan. 

Alasannya:

(1) Tidak ada satupun ketentuan yang memberi batasan atau yang melarang pihak yang dirugikan setelah pelaksanaan hak jawab melakukan gugatan. Dengan demikian, walaupun hak jawab sudah dilayani pers, pihak yang merasa dirugikan, jika menginginkan tetap dimungkinkan untuk melakukan gugatan;

(2) Pemahaman bahwa hak jawab justru merupakan prasyarat yang harus dipenuhi lebih dahulu oleh pihak yang dirugikan sebelum melakukan gugatan. Hak menggugat belum muncul sebelum dilaksanakannya hak jawab. Tidak dimungkinkan, jika pihak yang dirugikan ingin menggugat tetapi belum melaksanakan hak jawab. Bagian Kedelapan Hak Jawab. Nah, manakala hak jawab sudah dilaksanakan tidak boleh melakukan gugatan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal.

(3) Hak jawab bukanlah unsur yang peniadaan atau pemaaf adanya pidana.

(4) Hak jawab masuk dua ranah sekaligus, baik etika maupun hukum. Pada ranah etika, dengan sudah dilaksanakan hak jawab, persoalan dianggap selesai pula. Kasusnya ditutup. Tetapi pada ranah hukum, persoalan lain. Pelaksanaan hak jawab tidaklah otomatis menghentikan kasusnya, tetapi justru dapat dipandang sebagai awal munculnya hak yang dirugikan. 

Kelompok kedua, yang berpendapat, baik dalam ranah etika maupun dalam ranah hukum, dengan sudah dilaksanakannya hak jawab, semua persoalan sudah selesai. Dalam ranah etika Kode Etik Jurnalistik, memang mengatur dengan adanya hak jawab persoalan dinilai selesai. Sedangkan dalam ranah hukum, pelaksanaan hak jawab merupakan pemenuhan dari ketentuan perundang-undangan, sehingga dengan telah dilaksanakannya hak jawab berarti ketentuan hukum sudah dipenuhi dan tidak ada pelanggaran yang dilakukan dan oleh karena itu gugatan yang diajukan setelah pelaksanaan hak jawab justru bertentangan dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian apabila hak jawab sudah dilaksanakan maka pihak yang merasa dirugikan sudah tidak memiliki dasar hukum lagi untuk mengajukan gugatan.

Apa sanksi dari pelanggaran hak jawab?

a. Dari segi etika pelanggaran hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan dapat diberi sanksi mulai dari kewajiban mengumumkan pelanggaran hak jawab, permintaan maaf, sampai dinyatakan ada itikad buruk yang dapat dikategorikan sebagai pidana umum.

b. Sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani hak jawab selain dapat diancam sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah).

Bagaimana kekuatan hukum dari Peraturan Dewan Pers?

Dasar dari peraturan Dewan Pers adalah undang-undang, yakni pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata pembentukan UU, lembaga yang oleh UU diberikan kewenangan membuat peraturan, peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh lembaga ini sah, mengikat secara hukum. Dengan demikian peraturan Dewan Pers memiliki dasar hukum dan daya mengikat yang kuat.

Demikianlah sekelumit nasehat terutama bagi diri pribadi, sekaligus berbagi pengalaman yang bisa penulis sampaikan, tentu dengan tujuan baik serta bermaksud memberi nasehat pada dartvadder yang masih tak bergeming untuk merubah style dalam dunia jurnalistik modern seperti sekarang ini. Akhirul kata, sebagai manusia biasa tentu penulis juga banyak kekurangan serta kekhilafan, untuk itu jika ada kalimat serta kata yang tak berkenan mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya. Jayalah pers di tanah air.(*)

LH-Lukman Hakim | wartawan | tinggal di Pangkalpinang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun