Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alerta! Teknik Infiltrasi Aparat ke Dalam Profesi Wartawan adalah Bentuk Subordinate

3 Februari 2023   18:56 Diperbarui: 3 Februari 2023   19:03 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pic by: nbc

Menurut wikipedia a police state is government that exercises power arbitrarily through the power of the police force

Jakarta --- Beberapa waktu yang lalu dunia jurnalistik Indonesia mendapat tamparan keras, ketika tubuhnya disusupi oleh oknum institusi tertentu yang selama 14 tahun menyamar sebagai wartawan. 

Dalam narasi yang akhirnya banyak dipublish oleh media arus utama, disebutkan bahwa oknum tersebut bukanlah tanpa alasan dirinya masuk dalam pusaran dunia jurnalistik selama belasan tahun. Dan ajaibnya oknum ini mampu menyabet kategori kompetensi tingkat madya. 

Artinya adalah, Dewan Pers sudah kecolongan kalau tidak mau dituding tidak cermat apalagi teledor. Setelah menjalani profesi sebagai kontributor daerah untuk televisi nasional, oknum tadi perlahan seiring waktu dan pengalaman yang diperolehnya, mampu diakui oleh khalayak sebagai "wartawan". 

Plot cerita selanjutnya berbalik 180 derajat sewaktu yang bersangkutan mendapat promosi jabatan di tempat aslinya mengabdikan diri. Dilantik sebagai Pejabat pemerintahan setempat setara dengan camat. 

Sontak rekan-rekan seprofesi-nya selama belasan tahun kemarin hampir semaput dibuatnya. Bukan karena iri hati tentunya, bukan juga kaget saat melihat "beliau" -telik sandi yang sesungguhnya sedang jalankan dua fungsi utama intelijen : undercover dan surveillance- memakai atribut resmi saat pelantikan. 

Walaupun terpaksa diliput oleh segenap wartawan disitu dengan hati was-was. Tak pelak lagi, catatan sejarah soal dinamika pers nasional masuki sebuah bab baru bernama infiltrasi. 

Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru dalam dunia intelijen. Jika kita sama-sama mau jujur dan bicara bebas sensor, penulis artikel sudah mengalami hal ini di kurun waktu 2017 yang lalu.

Saat itu memang ada kemiripan terstruktur yang dikerjakan oleh institusi ini di seluruh daerah. Untuk jalankan fungsi undercover-surveillance secara sempurna maka digunakan teknik infiltrasi ke media. 

Bentuknya bermacam-macam. Ada yang cuma memelihara beberapa wartawan yang loyal dan dekat dengan mereka, ada yang "berkontribusi" langsung dengan duduk sebagai donatur sekaligus Dewan Pembina sebuah perusahaan pers daerah, finalnya mereka terus terang masuk kedalam struktur atau jaringan media. 

Mendaftar lewat ID personal, mendapat kartu pers sebagai bekal surveillance dan masuk namanya dalam boks redaksi dengan nama julukan, bukan nama di ktp. Sempurna bukan deception yang mereka lakukan.

Sewaktu beberapa teman di institusi mendadak "mesra" dengan rutin menyapa di pesan whatsapp wartawan, insting jurnalistik penulis yang sudah tahu lebih dahulu arah policy petinggi di Truno sana, cuma membalas pesan tadi dengan nada candaan. 

Hampir seminggu lamanya, penulis diberi tenggat oleh mereka mengulur-ulur kopi darat yang digagas oleh mereka. Ketika timingnya sudah mepet, atasan teman institusi tadi serta merta menelpon langsung dengan nada setengah memaksa untuk bertemu. Karena berdasar pengalaman penulis, jaringan informasi sangatlah penting. 

Akhirnya pertemuan pun terjadi. Dan alhamdulillah mind mapping atasan teman tadi sudah jelas terlihat dan penulis punya antitesis dari teori infiltrasi petinggi- petinggi mereka di pusat yang secara bersamaan sedang menyiapkan jalur sutra menuju istana kekuasaan. 

Singkat cerita mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Kartu pers, fake name di boks redaksi media siber nasional serta -ini yang diincar- keleluasaan masuk ke segala lini sosial setelah sebelumnya terkungkung oleh kategori "kamtibmas" saja. Bukankah di tahun 2017-2019 oposisi sedang kuat-kuatnya? 

Jadi untuk melemahkan sendi-sendi komunikasi jaringan oposisi, dibentuklah sebuah jaringan intelijen yang terdiri dari "wartawan" dengan proses menyusup seperti kisah diatas. Dan bisa disebut pendekatan seperti itu sah-sah saja namun beraroma licik dan menghalalkan segala cara. Artinya, institusi itu sedari 2017 yang lalu otomatis sudah menilai pers sebagai subordinat yang takluk dan berada dalam struktur yang dibuat institusi. 

Teknik infiltrasi yang mudah dilihat kasat mata adalah, media yang mengambil bahan utama liputan press release institusi tadi. Bagian humas tentu senang, karena 95% tugasnya dilakukan dengan sukarela oleh wartawan yang pemikirannya belum sampai ke arah profesi. Mungkin cuma sekedar "kalau ditanya tetangga rumah kerja apa kan bisa jawab" Hehe.

Oligarki Sudah Masuk ke Segala Lini?  

Kaitan antara institusi ini dengan oligarki sepertinya sudah jadi rahasia umum. Betapa seorang tokoh nasional yang dikenal sebagai konglomerat mampu menduduki posisi menentukan, bahkan bisa memberi perintah yang harus dilaksanakan oleh sekelas bintang dua institusi. 

Satuan elit institusi tadi bukan tanpa reason bisa dipilih untuk diduduki oleh -rumor beredar taipan ini adalah double agent MSS RRC- Mister Mayapada. Selain dikenal paling lengkap dan modern persenjataannya, alur perintahnya dikatakan mirip pasukan khusus. 

Taktis, selalu berhasil, senyap dan tentunya mematikan. Seram gak tuh? Nah dengan adanya campur tangan kebijakan oleh konglo tadi, bukan hal yang mengherankan patron 2017 ini masih berlangsung sampai sekarang. Pers dijadikan subordinate institusi, punya kanal berita sendiri, tahu kelemahan dunia pers (salah satunya banyak media yang tak menggaji bulanan wartawan mereka), serta sebagai tempat paling nyaman melakukan kerja-kerja intelijen. 

Di belahan lain, praktek merekrut langsung seorang wartawan tulen sebagai anggota intelijen negara atau negara asing bukanlah hal yang aneh lagi. Beberapa nama wartawan beken diduga merupakan kaki tangan kepentingan intelijen asing. 

Statement ini bisa di tracking mulai dari tulisan, tema pembahasan, momen munculnya narasi pembanding atas sebuah peristiwa hingga ke gaya hidup glamour wartawan antek asing tadi. 

Bagaimana mungkin seorang wartawan punya kendaraan sekelas pejabat menteri di garasi rumahnya, mampu menenteng gadget papan atas dengan merk Iphone terbaru serta Macbook paling mahal? Darimana sumber penghasilannya? Karena, jika benar dirinya seorang wartawan tipe idealis tentunya tidak bisa bergaya hidup hedon seperti itu. Kekayaan wartawan idealis terletak pada mahalnya prinsip hidup yang erat dipertahankannya. 

Tulisannya bernilai miliaran triliun ketika nanti pada waktunya, ada penerbit buku yang mau menjilidnya sebagai historical book yang isinya mencatat seluruh perjalanan bangsa ini. 

Akhirul kata, negara kita masih dalam taraf proses berevolusi untuk jadi negara besar. Perjalanan masih panjang. Pertempuran antara yang HAQ dan yang BATHIL masih berkobar. Nikmati saja, toh artikel ini kan tidak menyebutkan nama pribadi, tempat profesi secara spesifik. Jadi mohon jangan baperan terus lopar lapor untuk membungkam penulis artikel.

Bukankah kita sama-sama memakai UUD 1945 sebagai landasan negara? Coba baca berulang-ulang dalam hati : Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". Sekian. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun