Mohon tunggu...
Lukita perwita sari
Lukita perwita sari Mohon Tunggu... Auditor - MAHASISWI PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAl UNIVERSITAS POTENSI UTAMA

bio harus diisi tapi gatau

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Amerika Serikat terkait Perang Dagang antara Amerika-China

23 Januari 2020   09:11 Diperbarui: 23 Januari 2020   09:23 3588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: US. International Trade Commission (USITC) Data Web

 Menurut data yang diperoleh Amerika Serikat merupakan negara dengan tingkat ekonomi dan teknologi yang  terkuat di dunia dengan GDP mencapai US$ 19,39 triliun per kapita pada tahun 2017, yang merupakan seperempat dari GDP nominal dunia ( Statista, 2018).

 Pendapatan per kapita Negara Amerika sendiri merupakan pendapatan per kapita tertinggi yang ada di dunia. Amerika Serikat merupakan negara produsen minyak bumi yang terbesar di urutan ketiga dan juga produsen gas alam terbesar urutan kedua di dunia. Sedangkan China sendiri memiliki GDP perkapita yang mencapai US$ 12,24 triliun pada tahun 2017 dibawah Amerika Serikat.

Amerika Serikat sebagai Negara yang menganut liberalisme jelas mempercayai bahwa perdagangan bebas merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuannya, salah satunya adalah melalui kerjasama. 

Kerjasama Internasional dapat diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Rezim Internasional sebagai hasil dari kerja sama Internasional adalah seperangkat instrumen yang dapat digunakan negara untuk mencapai tujuan masing-masing Negara tersebut(Poletti, 2017).

Kerjasama Internasional akan terjadi ketika aktor-aktor Internasional saling menyesuaikan perilaku dan sikap terhadap preferensi masing-masing melalui proses koordinasi kebijakan (Clackson, 2011). 

Pada dasarnya, kerjasama seharusnya mengarah pada hasil yang akan diperoleh negara-negara yang terlibat. Kerja sama Internasional haruslah melibatkan dua aktor atau lebih. Pemahaman mengenai adanya common interest digunakan sebagai dasar dalam kerja sama Internasional (Hasenclever et all, 2007).

Menurut kaum liberal, menggunakan instrumen militer (hard power) tidak lagi menjadi yang penting di era modern ini sehingga kerjasama antar negara akan menjadi perhatian dunia, meskipun sebelumnya dianggap sebagai hal yang tidak mungkin terjadi. 

Fenomena tersebut memperkuat perspektif kaum liberal yang mengambil pandangan positif tentang sifat manusia. Sebagai salah satu teori utama hubungan internasional, liberalisme percaya bahwa kebebasan, kerjasama, dan perdamaian membawa manusia kepada kemajuan dunia Internasional sehingga perang bisa terhindarkan (Jackson & Sorensen, 2013). 

Namun, karena dianggap terlalu idealis, teori ini menyempurnakan diri ke arah yang lebih modern dan disesuaikan dengan jaman agar  bisa lebih diterima dunia secara luas dan meninggalkan kesan khayalan. Istilah neoliberalisme kemudian muncul sebagai pendekatan liberal yang diperbaharui dengan menggunakan ide dari kaum liberal klasik (Jackson & Sorensen, 2013).

Neoliberalisme sendiri dianggap sebagai teori yang lebih ampuh dari pada teori pendahulunya, yaitu liberalisme. Cakupan dari neoliberalisme juga bertambah luas, yaitu mengenai keamanan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. 

Teori neoliberalisme erat kaitannya dengan kerjasama Internasional yang bercirikan adanya interdependensi kompleks, karena ada banyak bentuk hubungan antara masyarakat selain dari pemerintah. Neoliberalisme mengangkat tema mengenai eksistensi organisasi dan kerja sama Internasional yang didasarkan pada ekonomi (Martin, 2007). 

Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional, dan institusi dianggap penting sebagai penghubung antara aktor satu dan yang lainnya. Dalam kajian kerja sama internasional, fokus utama dari paham neoliberalisme adalah ekonomi politik internasional dan isu lingkungan. Dapat dilihat bahwa neoliberalisme sangat dekat dengan praktik ekonomi politik yang membawa arah kesejahteraan bagi negara (Thompson, 2015

Kerjasama Internasional dipilih oleh kaum neoliberalisme karena dianggap lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak penggunaan Instrumen militer yang berpotensi menimbulkan collateral damage (Powell, 1991). 

Tradisi liberal dalam The Rise of Trading States menyebutkan bahwa sistem perekonomian terbuka akan membuat naiknya pertumbuhan ekonomi negara, tanpa harus melibatkan instrumen militer (Rosecrance, 1986). Ketika perekonomian tumbuh, maka seluruh negara akan merasakan keuntungan, sehingga kerja sama menjadi sangat dibutuhkan, terutama dalam bidang ekonomi.

Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Donald Trump memiliki slogan "America First" (BBC, 2017). Melalui slogan tersebut, tersirat keinginan Amerika Serikat  untuk menjadi yang terbaik dan menjadi negara nomor satu di dunia. 

Namun, China menjadi salah satu rival Amerika Serikat dalam mewujudkan keinginan tersebut, mengingat kemajuan pesat yang sedang dialami China. Hal ini menjadikan kedua negara saat ini dikenal dengan negara great power, terutama dalam konteks kapasitas militer dan kemampuan ekonomi yang sangat kuat. Dalam bidang militer, Amerika Serikat menghabiskan alokasi dana setidaknya US$ 610 miliar, sedangkan China hanya US$228 miliar (Forces.eu, 2016). 

Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih menjadi yang terbaik dalam bidang militer, sehingga kekhawatiran Amerika Serikat terhadap China dianggap sebagai hal yang tidak perlu. 

Namun, dalam bidang ekonomi, AS merasa terancam oleh Cina. Secara historis, AS memiliki predikat sebagai negara dengan ekonomi terkuat selama 140 tahun. Namun, predikat ini menjadi terancam oleh keberadaan Cina, karena pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Cina berkembang lebih tinggi dibanding AS (Desjardin, 2015).

Amerika Serikat dibawah pimpinan Donald Trump memiliki kebijakan yang berorientasi untuk mengembangkan ekonominya di bidang perdangangan. Oleh karena itu Amerika Serikat tidak akan segan segang untuk menyingkirkan sesuatu yang dirasa akan menghalangi tujuannya tersebut. 

Disisi lain dengan masuknya China sebagai salah satu anggota dariWTO membuat China membuka diri dan melebarkan perekonomiannya dengan melakukan perdangangan Internasional. 

Seiring berjalannya waktu perekonomian China mulai merambat naik dan sangat berdampak bagi kemajuan dibidang lainnya sehingga semakin menguatkan posisi China dalam dunia Internasional, hal ini tentu saja membuat Amerika merasa bahwa China akan mengancam pengaruhnya di dunia perekonomian. Hal ini kemudian yang dianggap sebagai pemicu pecahnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Perang dagang diartikan sebagai situasi situasi dimana sebuah negara atau kawasan saling berupaya merugikan perdagangan masing--masing. Dalam situasi ini biasanya suatu negara mengambil kebijakan yang dapat menghambat perdagangan sebagai hukuman bagi negara lain yang dianggap merugikan kemudian langkah tersebut biasanya mendorong negara lain tersebut untuk menanggapi dengan tindakan balasan. 

Kebijakan yang sering digunakan dalam situasi ini biasanya berupa memberlakukan kuota impor, meningkatkan tarif bea masuk, pembatasan investasi, meremehkan atau memanipulasi lebih rendah mata uang negara lain untuk menghindari barang--barang asing dan melindungi perusahaan lokal.

Terdapat beberapa penyebab perang dagang antara Amerika Serikat dan China, diantaranya:

  • Defisit Neraca Dagang Amerika Serikat

Perang dagang ini bermula ketika Presiden Donald Trump memutuskan dan menandatangi kebijakan kenaikan tarif terhadap barang dari China, yaitu baja sebesar 25% dan untuk alumunium 10%. (Marrison, 2019). 

Presiden Donald Trump merasa bahwa globalisasi saat ini merugikan Amerika Serikat. Praktek perdagangan Internasional yang dilakukan China dengan mitra dagang lainnya pun dianggap tak adil. Hal ini dikarenakan China terus menerus mengalami surplus dan meraup keuntungan yang paling besar (CNN Indonesia, 2018)

Oleh karena itu, sebagai perwujudan pemenuhan janji Presiden Donald Trump untuk menekan defisit maka dilakukan peningkatan restriksi impor dengan realisasi kebijakan:

  • Pengenaan bea masuk impor  sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminum
  • Mengenakan tarif tambahan 25%untuk produk teknologi China
  • Menaikkan target tarif impor bagi China sebesar US$ 100 Miliar.

Terdapat 2 negara yang menyumbang deficit barang terbesar Amerika Serikat pada tahun 2017, salah satunya adalah China.

5 Besar Negara Penyumbang Defisit Amerika Serikat Tahun 2017 (US$ Miliar)

Seiring berjalannya waktu, intensitas perdagangan antar kedua negara menjadi semakin intens dan besar, hal ini juga dikarenakan Amerika Serikat membutuhkan barang murah untuk bahan produksi. 

Namun, perdagangan yang dengan China lambat laun membuat defisit neraca dagang Amerika Serikat semakin melonjak, dan China lah negara penyumbang nomor satu dalam defisit perdagangan barang Amerika Serikat. 

Seperti yang terlihat dalam tabel diatas, peringkat pertama diduduki oleh China senilai US$ 375,2 Miliar, selanjutnya Meksiko senilai US$71 Miliar, Jepang senilai US$69 Miliar, Jerman senilai US$64 Miliar, dan Vietnam senilai US$38 Miliar. 

Defisit neraca dagang dari China bukanlah hal pertama bagi Amerika Serikat hal ini terus berlarut-larut hingga pada awal kepemerintahan Presiden Donald Trump defisit tersebut menjadi yang terbesar sepanjang sejarah.

Berikut tabel defisit perdagangan Amerika Serikat terhadap China tahun 2000-2017 dalam US$ Miliar yang tersaji pada grafik dibawah ini.

Defisit Perdagangan Amerika Serikat terhadap China Tahun 2000-2017 (US$ Miliar)

Sumber: US. International Trade Commission (USITC) Data Web.
Sumber: US. International Trade Commission (USITC) Data Web.
Amerika Serikat sendiri sudah berupaya mengurangi defisit perdagangannya dengan China yang naik menjadi US$ 375,2 miliar pada tahun 2017 dari US$ 347 miliar pada tahun 2016.

Sebelumnya pada pemerintahan Presiden Barack Obama, defisit perdagangan Amerika Serikat terhadap China pada tahun 2013 sebesar US$ 319 miliar; pada tahun 2014 naik menjadi US$ 345 miliar; pada tahun 2015 semakin naik menjadi US$ 367 miliar; dan pada tahun 2016 defisit perdagangan bisa ditekan menjadi US$ 347 miliar; namun di tahun pertama Presiden Donald Trump, defisit perdagangan tersebut kembali naik menjadi US$ 375 miliar (Marrison, 2018).

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa China sudah cukup lama merugikan Amerika Serikat, sehingga pada tahun 2017 ketika defisit China mencapai yang terbesar selama 17 tahun terakhir maka sebagai bukti janji kampanyenya, Presiden Donald Trump menaikkan tariff bea masuk terhadap produk Chinayang memicu perang dagang.

  • Pencurian Hak Kekayaan Intelektual oleh Tiongkok

Pada tanggal 8 Maret 2018 Commission on the Theft of American Intellectual Property (komisi Pencurian Hak Kekayaan Intelektual Amerika Serikat) telah mengusulkan kepada Presiden Trump untuk melakukan tindakan tegas atas pencurian hak kekayaan intelektual serta pemaksaan pengalihan teknologi milik Amerika Serikat yang terjadi di China. 

Adanya laporan ini setelah data lembaga tersebut mencatat 87% Amerika Serikat telah kehilangan hak kekayaan intelektual terkait terjadi di China setiap tahunnya. 

Karena adanya pencurian hak kekayaan intelektual yang dilakukan oleh China ini telah menyebabkan kerugian bagi Amerika Serikat sebanyak US$ 600 Miliar setiap tahunnya. 

Laporan ini menyebutkan China adalah gembong dari isu tersebut. Dari barang-barang bermerk palsu yang dijual di Amerika Serikat dan disita pemerintah, 87% barang itu berasal dari Tiongkok (Epoch Time Id, 2019).

Tuduhan atas adanya pencurian Hak Kekayaan Intelektual yang dilakukan oleh China ini adalah berawal dari kekhawatiran perusahaan-perusahaan Amerika Serikat mengenai praktik dagang yang tidak adil yang dilakukan oleh China untuk semata-mata mensukseskan rangkaian goals dalam kebijakan Made in China 2025. 

Hingga pada agustus 2017 utusan dari USTR yakni Robert Lightthizer melakukan penyelidikan atas dugaan pencurian kekayaan intelektual yang meliputi paten-paten perangkat lunak, aplikasi telepon seluler, dan teknologi lainnya.  Diperkirakan kerugian Amerika Serikat mencapai US$ 50 Miliar (Clark, Shelly, 2019).

Berikut ini beberapa tuduhan yang dilayangkan oleh Amerika Serikat terhadap China untuk tuduhan pencurian kekayaan hak intelektual yang meliputi:

  • Perusahaan-perusahaan China memaksa mereka menjalin kemitraan yang kemudian mencuri teknologi dan pada akhirnya memutuskan kemitraan.
  • Perusahaan-perusahaan China menggunakan dana pemerintah untuk mencuri inovasi dan rahasia teknologi dari Amerika Serikat.
  • China menggunakan cyber intrusions ke dalam jaringan perdagangan Amerika Serikat untuk melakukan spionase dagang.

Menurut penyelidikan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang beroperasi di China tidak memiliki hak cipta yang sama seperti perusahaan-perusahaan lokal (Berita Satu, 2019).

Dari adanya penyeledikian yang telah dilakukan oleh tim 301 dari USTR telah menyebabkan hubungan antara Amerika Serikat dan China mengalami ketegangan. 

Hal tersebut terlihat dari adanya tarif impor yang diberlakukan oleh AS terhadap barang impor dari China 25%. Serangan balasan yang serupa dilakukan oleh China terhadap Amerika Serikat yakni memberlakukan tarif  25% terhadap barang impor dari Amerika Serikat. Dari adanya hal ini akhirnya muncul sebuah istilah yang disebut dengan perang dagang.

Peningkatan pengaruh China semakin tak terelakkan, China telah menjadi pusat gravitasi baru di dunia Internasional dan hal tersebut menjadi sebuah kondisi yang harus diterima oleh Amerika Serikat. Selain mempunyai ambisi yang sangat besar, China juga didukung oleh kekuatan ekonomi sehingga upaya strategi rebalancing Amerika Serikat semakin sulit. 

Terjadinya perang dagang yang sesungguhnya akan melibatkan banyak negara dan mempengaruhi perekonomian global. Volume perdagangan dunia akan melambat dan itu sangat tidak diharapkan terjadi karena akan berpengaruh kepada semua negara. Perang dagang akan mempengaruhi rantai pasokan global sehingga banyak perusahaan harus menghitung lagi jalur produksi, distribusi, dan biayanya. 

Dalam kondisi tersebut setiap negara, perusahaan, hingga konsumen harus siap dengan kondisi perekonomian baru. Globalisasi dan neoliberalisme saat ini telah membuat saling keterhubungan akan segala sesuatu yang tidak bisa ditepis lagi. Penghapusan hambatan-hambatan yang menjadi produk dari usungan neoliberalisme dalam ekspansi pasar internasional menjadi pemicu berkembangnya globalisasi ekonomi yang semakin besar.

Penulis melihat bahwasannya Amerika Serikat berusaha untuk mempertahankan hegemoninya di dunia Internasional, oleh karena itu Amerika Serikat membuat kebijakan yang bisa melindungi kepentingannya tersebut. 

Namun disisi lain masuknya China sebagai salah satu Negara yang telah bergabung dalam organisasi WTO membuat China juga ikut ambil bagian dalam perannya sebagai Negara anggota dan menjadikan ketentuan ketentuan yang ada di dalamnya sebagai senjata untuk meluncurkan kepentingannya dengan menjalin kerjasama Internasional dan menjadikannya sebagai salah satu Negara dengan Ekonomi yang maju. 

Perang dagang antara Amerika dan China menjadi hal yang tidak bisa dihindari, dan fenomena ini juga kemungkinan akan dialami oleh Negara Negara lain yang memiliki potensi untuk membuat negaranya menjadi salah satu bagian dari ekonomi terbesar dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun