Sohibku lahir di kota yang sama, kota kabupaten di Jawa Timur, dulu dijuluki sebagai kota minus karena daerahnya agak kurang subur, petani hanya dapat bertani pada musim hujan saja sehingga sawahnya disebut sawah tadah hujan. Cuacanya tidak terlalu panas karena dikelilingi bukit bukit, Sehingga anginnya yang turun dari bukit bukit terasa nyaman.
Rumah sohibku tidak terlalu jauh dengan rumahku. Perkenalan dengan sohibku dipertemukan dalam suatu kegiatan kerohanian yang selanjutnya kami sering main bareng.
Kadang kadang kalau diajak main kerumahnya saya paling suka, ibuknya sangat ramah dan perhatian, sebelum pulang selalu disuruh makan dengan lauk yang enak , kalau dibandingkan menu dirumahku sering hanya tempe di jatah satu satu, sayur papaya kadang nasinya nasi jagung atau gaplek.
sohibku senangnya membaca komik silat, biasanya setelah temanku membaca, dipinjamkan ke saya baru dikembalikan ke persewaannya, karena saya tidak punya uang untuk sewa sendiri.
Komik silat yang paling kami sukai adalah komik berjudul “panji tengkorak” ceritanya sangat menarik dan sering menjadi bahan perbincangan.
Sohibku tidak seperti teman-temanku yang suka main kelereng , setiap saya ajak main kelereng selalu menolak, bermain gitar merupakan kesukaannya , saya sering minta diajari memainkannya dan dengan sabar sohibku mengajari namun saya kurang lancar dan cepat pindah pindah kunci.
Suatu hari ada tugas dari sekolah untuk membuat lukisan diatas kanvas yang harus dilengkapi bingkainya, saya sudah mencoba berulang kali menggambar kuda, tetapi selalu tidak memuaskan disebabkan bentuk kepalanya tidak seperti kuda. Akhirnya dengan dibantu sohibku lukisan menjadi berbentuk kuda dan bagus .
Dengan kejadian ini teman teman tahu kalau sohibku memiliki kemampuan melukis, kami sering mendorong dan menyemangati sohibku untuk memperdalam melukis, tetapi responnya landai landai saja, ia beralasan melukis tidak bisa menghasilkan uang untuk mencukupi hidup berkeluarga jawabnya.
Kami memberikan argumentasi, “ Lho kalau sudah terkenal seperti pelukis Affandi, Raden Saleh, dengan melukis dapat menghasilakan duit, tetapi jawabnya , Apakah saya dapat mencapai seperti mereka, biasanya setelah mentok dengan jawaban ini kami terdiam.
Pada saat SMA kami memasuki satu sekolahan tetapi berbeda jurusan, setelah SMA, masa itu saat mulai gencar gencarnya naksir lawan jenis tetapi karena kami pemalu , jadi hanya bisa saling cerita dengan sohibku, cerita tentang cewek favorite yang ditaksir, bagaimana melakukan pendekatan, saat itu belum ada seminar dan info bagaimana berpacaran yang baik jadi referensi yang digunakan majalah majalah remaja .
Untuk melakukan Tindakan ke lawan jenis tidak berani, hanya berteori , namun mengasyikkan bisa menghabiskan waktu sampai berjam jam hanya cerita cewek yang kami sukai.
Pada suatu sore sohibku datang ke rumahku naik sepeda, turun dari sepeda dan hanya mengucapkan “ibukku meninggal” , kemudian pulang ,sohibku tidak dengan mudah mengekspresikan kesedihannya.
Aku melayat dan ikut mempersiapkan kebaktian penguburannya. Semenjak kejadian ibunya meninggal, sohibku ini jarang pulang kerumah, dia main dari satu teman ke teman lainnya.
Setelah masa dukanya berlalu, aku sering memberikan dorongan dan semangat untuk mengembangkan bakat melukisnya sambil untuk menghibur dia.
Pada suatu waktu tanpa diduga atau memberikan kabar lebih dulu, Sohibku datang ke rumahku dengan membawa gulungan kertas,setelah kubuka adalah suatu lukisan dengan cat air, aku memandang lukisan itu sungguh terkesan dan yang paling menarik bola mata dari lukisan tersebut Nampak hidup, mengngagumkan.
Beberapa hari kemudian ibuku membelikan pigura, oleh ibukku dipasang didinding rumah Sambil mengucapkan terima kasih, Peristiwa ini saya ceritakan kesohibku tetapi reaksinya biasa biasa saja , tidak nampak kegembiraan.
Setelah lulus SMA sohibku bertekat tidak ingin menjadi seorang pelukis, ia melanjutkan studinya ke kota Solo, untuk meneruskan cita citanya supaya dapat menjamin secara finansial untuk masa depannya.
Walaupun berbeda kota untuk kuliah , Persahabatan dan komunikasi dengan sohibku tetap berlangsung ,setiap liburan kami pasti pulang kekota kelahiran kami untuk saling cerita pengalaman masing masing yang menambah keakrapan kami, manakala selesai liburan dengan rasa berat kami saling berpisah untuk Kembali kekota dimana kami kuliah.
Pada akhirnya, sohibku menyelesaikan sarjana muda hukumnya, kemudian mencari kerja di Bandung ikut bergabung kerja dengan teman kami yang pemborong, setelah bekerja beberapa tahun, sohibku tidak kerasan karena usaha pemborong teman kami mulai kesulitan proyek .
Sohibku pindah ke Mataram ikut kakaknya untuk bekerja di salah satu rumah sakit daerah. Mengingat umurnya sudah leawat, sohibku hanya dapat diangkat sebagai pegawai Honorer daerah di bagian dapur untuk mengantarkan makanan ke para pasien Rumah sakit.
Komunikasi dengan sohibku masih tetap terjaga. Bila aku bertugas ke Mataram, saya sempatkan mampir kesohibku tersebut dan disela tugasku kami jalan dan makan bareng.
Aku masih terus mendorong dan memberikan semangat sohibku untuk mulai melukis lagi. Dengan segala keterbatasan pada akhirnya sohibku mulai melukis dengan peralatan yang terjangkau sesuai penghasilannya yaitu dengan membeli cat air dan kanvasnya menggunakan bekas film ronsen yang sudah dibuang di tempat kerjanya untuk digunakan sebagai kanvasnya.
Ternyata melukis menimbulkan gairah dan semangat hidup sohibku karena saat kami berbicara melalui tilpon sohibku nadanya gembira dan bersemangat kalau bicara tentang lukisan.
Beberapa karya lukisannya diberikan kepadaku dan kusimpan , impianku kalau sudah punya rumah sendiri akan ku pigora dan kugantungkan di rumahku dengan diberi pencahayaan yang cukup aku membayangkan betapa indahnya lukisan lukisan karya sohibku tersebut untuk dinikmati.
Sohibku menikah dengan seorang gadis asli Mataram dan mempunyai 2(dua) anak,perjodohan dengan isterinya dibantu oleh salah satu tokoh masyarakat setempat kemudian dinikahkan di KUA, resepsi pernikahannya dilaksanakan secara sederhana dengan mengundang tetangga terdekat dirumah kakaknya untuk makan Bersama.
Sohibku mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi masalah keluarganya, bila kesulitan keuangan, isterinya Kembali ke orang tuannya dan sohibku masih tinggal dengan kakaknya.
Sohibku tidak pernah mengeluh atau menyalahkan nasib dalam menghadapi kehidupan. Dijalaninya dengan ikhlas, bila aku berbicara lewat telepon dengan sohibku, tidak pernah menceritakan kesulitannya , masih bisa tertawa tawa dan malah memberikan nasihat nasihat kepada saya seperti jaman SMA dulu untuk menghadapi hidup dengan sederhana dan realistis
Setelah pensiun dari Rumah Sakit , sohibku berjualan ikan hias dipinggir jalan . Kami masih sering berkomunikasi melalui tllpon jadulnya yang kadang kadang baterenya mati sendiri, kami masih bisa cerita cerita masa lalu kita dan tertawa gembira. Hidup ini dapat dilalui dengan sederhana dan gembira . Inspiring true life, Jakarta coffe house Menteng pukul 15.00wib.