Mohon tunggu...
Lukas Budi
Lukas Budi Mohon Tunggu... Lainnya - Biografometrik Nusantara

Biografometrik Nusantara (grafonomi,deteksi kebohogan, tes integritas, )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sohibku Seorang "Pelukis"

7 Oktober 2021   19:00 Diperbarui: 7 Oktober 2021   19:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sohibku lahir di kota yang sama, kota kabupaten di Jawa Timur, dulu dijuluki sebagai kota minus karena daerahnya agak kurang subur, petani hanya dapat bertani pada musim hujan saja sehingga sawahnya disebut sawah tadah hujan. Cuacanya   tidak terlalu panas karena dikelilingi bukit bukit, Sehingga  anginnya yang turun dari bukit bukit   terasa nyaman. 

Rumah sohibku tidak terlalu jauh dengan rumahku.  Perkenalan dengan sohibku dipertemukan dalam suatu kegiatan kerohanian yang selanjutnya kami  sering main bareng. 

Kadang kadang kalau diajak main kerumahnya saya paling  suka, ibuknya sangat ramah dan perhatian, sebelum pulang selalu disuruh  makan dengan lauk yang enak , kalau dibandingkan menu dirumahku sering hanya tempe di jatah satu satu, sayur papaya kadang nasinya nasi jagung atau gaplek.

 sohibku senangnya membaca komik silat, biasanya setelah temanku membaca, dipinjamkan ke saya baru  dikembalikan ke persewaannya,  karena saya tidak punya uang untuk sewa sendiri.  

Komik silat yang paling kami sukai adalah komik berjudul “panji tengkorak” ceritanya sangat menarik dan sering menjadi bahan perbincangan.  

Sohibku tidak seperti teman-temanku yang suka  main kelereng , setiap saya ajak main kelereng selalu menolak,  bermain  gitar merupakan kesukaannya , saya  sering minta diajari memainkannya dan dengan sabar sohibku mengajari  namun  saya  kurang lancar dan cepat pindah pindah kunci.

Suatu hari ada tugas dari sekolah untuk membuat lukisan diatas kanvas yang harus dilengkapi bingkainya, saya  sudah mencoba berulang kali menggambar kuda, tetapi selalu tidak memuaskan disebabkan bentuk kepalanya tidak seperti kuda. Akhirnya  dengan dibantu sohibku lukisan menjadi berbentuk kuda dan bagus . 

Dengan kejadian ini   teman teman tahu kalau  sohibku memiliki  kemampuan melukis, kami sering  mendorong dan menyemangati  sohibku untuk memperdalam  melukis, tetapi responnya landai landai saja, ia beralasan   melukis tidak bisa menghasilkan uang untuk mencukupi hidup berkeluarga jawabnya. 

Kami memberikan argumentasi,  “ Lho kalau sudah terkenal seperti pelukis Affandi, Raden Saleh, dengan melukis dapat menghasilakan duit, tetapi jawabnya , Apakah saya dapat mencapai seperti mereka, biasanya setelah mentok dengan jawaban ini kami terdiam.

Pada saat SMA kami memasuki satu sekolahan tetapi berbeda jurusan, setelah SMA, masa itu saat mulai gencar gencarnya  naksir lawan jenis tetapi karena kami pemalu , jadi hanya bisa saling cerita dengan sohibku,  cerita tentang cewek favorite yang ditaksir, bagaimana melakukan pendekatan, saat itu belum ada seminar dan info bagaimana berpacaran yang baik jadi  referensi yang digunakan majalah majalah remaja . 

Untuk melakukan Tindakan ke lawan jenis  tidak berani, hanya berteori ,  namun   mengasyikkan   bisa menghabiskan waktu sampai  berjam jam  hanya cerita cewek yang kami sukai.

Pada suatu sore sohibku datang ke rumahku  naik sepeda, turun dari sepeda dan hanya  mengucapkan   “ibukku meninggal” , kemudian pulang ,sohibku tidak dengan mudah mengekspresikan kesedihannya. 

Aku melayat dan ikut mempersiapkan kebaktian penguburannya. Semenjak kejadian ibunya meninggal, sohibku ini jarang pulang kerumah, dia  main dari satu teman ke teman lainnya. 

Setelah masa dukanya berlalu, aku sering memberikan dorongan  dan semangat untuk mengembangkan bakat melukisnya sambil untuk  menghibur dia.

 Pada suatu waktu tanpa  diduga atau memberikan kabar  lebih dulu,  Sohibku datang ke rumahku  dengan membawa gulungan kertas,setelah  kubuka adalah suatu lukisan dengan cat air, aku memandang lukisan itu sungguh terkesan dan yang paling menarik bola mata dari lukisan tersebut Nampak hidup, mengngagumkan. 

Beberapa hari kemudian ibuku membelikan  pigura, oleh ibukku dipasang didinding rumah Sambil mengucapkan terima kasih, Peristiwa ini saya ceritakan kesohibku tetapi reaksinya biasa biasa saja , tidak nampak kegembiraan.

Setelah lulus SMA sohibku bertekat tidak ingin menjadi seorang pelukis,  ia melanjutkan studinya ke kota Solo,  untuk meneruskan cita citanya supaya dapat menjamin secara finansial untuk masa depannya. 

Walaupun berbeda kota untuk kuliah ,  Persahabatan dan komunikasi dengan sohibku tetap berlangsung ,setiap liburan kami pasti pulang kekota kelahiran kami untuk saling cerita pengalaman  masing masing yang menambah keakrapan kami, manakala selesai liburan dengan rasa berat kami saling berpisah untuk Kembali kekota dimana kami kuliah.

Pada akhirnya,  sohibku menyelesaikan sarjana muda hukumnya, kemudian mencari kerja di Bandung ikut bergabung  kerja dengan  teman kami yang pemborong, setelah bekerja beberapa tahun,  sohibku tidak kerasan  karena usaha pemborong teman kami mulai kesulitan proyek . 

Sohibku pindah ke Mataram ikut kakaknya untuk bekerja di salah satu rumah sakit daerah. Mengingat  umurnya sudah leawat, sohibku hanya dapat diangkat sebagai pegawai Honorer daerah di bagian dapur untuk mengantarkan makanan ke para pasien Rumah sakit.

Komunikasi dengan sohibku masih tetap terjaga. Bila aku bertugas ke Mataram, saya  sempatkan mampir  kesohibku tersebut dan disela tugasku kami jalan dan makan  bareng. 

Aku masih terus  mendorong dan memberikan semangat sohibku untuk mulai melukis lagi. Dengan segala keterbatasan pada akhirnya sohibku mulai melukis dengan peralatan yang terjangkau sesuai penghasilannya yaitu dengan membeli cat air dan kanvasnya menggunakan bekas  film ronsen yang sudah dibuang di tempat kerjanya untuk  digunakan sebagai kanvasnya.

Ternyata melukis menimbulkan gairah dan semangat hidup sohibku karena saat kami berbicara melalui tilpon sohibku nadanya gembira dan bersemangat kalau bicara tentang lukisan.  

Beberapa karya lukisannya diberikan  kepadaku dan  kusimpan ,  impianku kalau sudah punya rumah sendiri akan ku pigora dan kugantungkan di rumahku dengan diberi pencahayaan yang cukup aku membayangkan betapa indahnya lukisan lukisan karya sohibku tersebut untuk dinikmati.

Sohibku menikah dengan seorang gadis asli Mataram dan  mempunyai 2(dua) anak,perjodohan dengan isterinya  dibantu  oleh salah satu  tokoh masyarakat setempat kemudian dinikahkan  di KUA, resepsi pernikahannya dilaksanakan secara sederhana   dengan mengundang tetangga terdekat dirumah kakaknya  untuk makan Bersama.

Sohibku mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi masalah keluarganya, bila kesulitan  keuangan, isterinya Kembali ke orang tuannya dan sohibku masih tinggal dengan kakaknya. 

Sohibku tidak pernah mengeluh atau menyalahkan nasib dalam menghadapi kehidupan. Dijalaninya dengan ikhlas,  bila aku   berbicara lewat  telepon  dengan sohibku, tidak pernah menceritakan kesulitannya , masih bisa tertawa tawa dan malah   memberikan nasihat nasihat kepada saya seperti jaman SMA dulu untuk menghadapi  hidup dengan sederhana dan realistis

Setelah pensiun dari Rumah Sakit , sohibku berjualan ikan hias dipinggir jalan . Kami masih sering berkomunikasi melalui tllpon jadulnya yang kadang kadang baterenya mati sendiri, kami masih bisa cerita cerita masa lalu kita dan tertawa  gembira. Hidup ini  dapat dilalui dengan sederhana dan gembira . Inspiring true life,  Jakarta coffe house  Menteng pukul 15.00wib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun