”Tidakkah kau tahu siapa lelaki yang bersamamu ini? Dialah Pangeran Di-mifa, putra mahkota Bifet, kerajaan tetangga kita,” kata Devito, yang mengenal Di-mifa ketika pernah bersama-sama menjadi bagian dari pasukan gabungan Bifet dan Karomit.
Pevita sangat terperanjat menyadari tengah berbincang dengan seorang pangeran. Sesungguhnya hatinya tengah sangat bersuka cita karena merasa sudah jatuh hati pada sosok mengesankan itu. Mungkinkah sang pangeran merasakan hal yang sama dengan Pevita?
***
Sejak terkesan melihat Pevita di saat pertama, Di-mifa justru merasa telah berjumpa dengan pasangan jiwanya. Kendati ayahnya merupakan raja Bifet, Di-mifa yakin ayahnya tidak akan mempermasalahkan putranya memilih gadis dari rakyat biasa sebagai calon pendamping hidupnya.
”Apakah seorang pangeran tidak harus menikahi putri raja, Fa?” tanya Pevita kepada Di-mifa.
”Tentu saja tidak, Pevita. Kau tahu, ibuku bahkan sama sekali bukan keturunan bangsawan. Namun beliau mampu menjadi permaisuri raja yang mendapat kemuliaan dan penghormatan tulus dari rakyat kami, karena sikapnya yang baik dan hatinya yang selalu bersih.”
”Tapi bukankah aku berbeda dengan gadis lainnya? Aku bahkan tak bisa bersikap lembut. Aku justru suka berkuda, memanah, atau bahkan bermain pedang. Apa yang membuatmu suka kepadaku, Fa?”
”Justru karena perbedaan itu ciri khas yang membuatmu cantik di mataku. Hai, bagaimanapun kau adalah perempuan yang pasti tetap memiliki kelembutan, Pevita.”
”Benarkah demikian? Tapi memang aku merasa sikapku jadi berbeda ketika berada di dekatmu, Pangeran.”
Kedua sejoli itu tersenyum bersama sarat keceriaan. Di-mifa lantas berterus terang bahwa ia adalah seniman sejati yang tak terlampau suka dengan kekerasan.
”Samudraku adalah kesenian. Sedangkan bermain pedang hanyalah anak sungai yang bermuara ke samudra jua. Aku dapat memandangnya sebagai seni bermain pedang. Namun sungguh kunikmati jika kulukis keindahan dunia atau kulantunkan syair lagu. Kau tak keberatan jika hanyut bersama di samudraku?”