Suatu ketika, pasukan kerajaan Karomit menyelenggarakan perlombaan ketangkasan ilmu keprajuritan. yang terbuka untuk umum di ibukota kerajaan. Mereka yang menjadi juara diberi kesempatan mengikuti pendidikan keprajuritan bersama pasukan kerajaan. Devito menjadi salah satu anggota panitia perlombaan tersebut.
”Sudah saatnya kau memperlihatkan siapa dirimu sejatinya, Pevita,” kata Devito.
”Apakah seorang perempuan boleh mengikutinya, Kak?” tanya Pevita.
”Tentu saja. Kau boleh bersaing dengan siapa pun di sana. Tapi kusarankan kau mengikuti lomba ketangkasan memanah sambil berkuda saja dahulu. Lain waktu kau bisa mencoba yang lain.”
Pevita bersedia menuruti saran kakaknya. Ia pun berupaya keras mempersiapkan diri menampilkan yang terbaik yang dia miliki. Sekian hari kemudian tibalah saat perlombaan. Sebagai satu-satunya peserta perempuan, Pevita mendapat sambutan hangat dari para penonton. Sayang, ia tersisih lebih dahulu di babak awal. Pevita kecewa dan tidak mengira bahwa peserta lainnya jauh lebih baik ketimbang dirinya.
“Kau tak perlu terlalu kecewa, Pevita. Masih banyak waktu untukmu berlatih dan mencobanya lagi esok hari. Kau mesti lebih kerap berlatih tanding. Aku percaya, mendiang Ayah pasti bangga melihatmu berani tampil hari ini,” ucap Devito menghibur hati adiknya.
“Ya, Kak. Paling tidak aku jadi bisa mengukur kemampuanku sendiri. Ternyata aku belum seberapa dibanding mereka.”
”Tapi kau juga tetap pantas bangga karena menjadi yang paling cantik di antara seluruh peserta lomba.” Pevita tersenyum lebar dan merasa mendapat angin segar mendengarkan kata Devito. Ia berjanji akan berlatih lebih giat lagi saat pulang nanti.
Tanpa diketahui oleh Pevita, ada seorang pemuda tampan yang begitu terkesan melihat semangat perjuangannya saat mengikuti perlombaan. Sang pemuda mencari tahu siapa gerangan si gadis, hingga akhirnya menemukan Pevita tengah berlatih pedang tak jauh dari tempat tinggalnya.
”Penampilanmu kemarin hebat, Putri. Tapi permainan pedangmu hari ini buruk sekali,” sapa sang pemuda pada Pevita.
”Maaf Tuan, saya tak mengenal Anda. Lagi pula Anda tahu apa tentang permainan pedang?” sahut Pevita setengah ketus melihat lelaki yang wajahnya tertutup tudung di kepalanya. Ketika pemuda itu memperlihatkan raut mukanya, Pevita seperti kehilangan kata-kata. Seperti ada kharisma yang memancar dari sosok yang berdiri di dekatnya dan bisa membuatnya berdiri terpaku. Sikap Pevita pun melembut, hingga ia bisa berbincang akrab dengan pemuda yang mengaku bernama Fa tersebut. Ketika Devito datang, Pevita begitu heran karena kakaknya ternyata mengenal dengan baik sang pemuda.