Semua orang memanggilnya Pak Mus. Konon nama panjangnya adalah Mustajab bin Mujarab. Mungkin ia keturunan tukang obat atau dukun, sehingga namanya seperti itu. Tiada orang yang tahu persis berapa usianya sebenarnya, mungkin sekitar tujuh puluh tahun. Entah mengapa ia selalu merahasiakannya, padahal untuk orang seusianya, Pak Mus masih terbilang gagah. Belum lama sejak istri ketiganya meninggal, Pak Mus sudah sibuk berburu wanita lagi. Orang tua satu ini memang tipe pria yang tak bisa hidup tanpa wanita. Meski usianya tak lagi muda, meski anak cucunya sudah seabrek banyaknya, tapi untuk menikmati kesenangan duniawi, hasratnya masih sangat besar. Maka langsung saja lirik kiri kanan, tanya ke sana kemari, ada tidak kiranya wanita yang mau dijadikan istrinya.
“Pokoknya yang penting usianya di bawah 50 tahun, gadis atau janda ndak masalah buatku,” tegas Pak Mus.
Gaya sekali, maunya punya istri baru yang jauh lebih muda ketimbang dirinya.
Sebulan setelah menduda, Pak Mus kerap berkunjung ke sebuah tempat hiburan terkemuka di kotanya, menyaksikan pertunjukan musik dangdut yang menyajikan penyanyi-penyanyi muda yang cantik lagi seksi. Pak Mus selalu mengajak Pak Andre sahabatnya. Setelah beberapa episode menyaksikan hal-hal yang menyegarkan di tempat tersebut, ada dua penyanyi yang membuat Pak Mus bernafsu. Meski sudah ingin menuntaskan hasrat birahinya lagi, tapi ia paling tak mau melakukannya di luar nikah.
“Aku tahu diri, aku itu sudah tua. Kalau bisa menghindari dosa, ya mending kuhindari. Pokoknya kalau aku mau begituan lagi, ya mesti sama istriku. Jadi aku mesti nikah lagi dulu, baru ehem-ehem. Heheheh…” sahut Pak Mus terkekeh, ketika Pak Andre menawarinya untuk menyewa saja wanita yang siap menjadi pemuas hasrat pria.
“Lebih baik orang tahu aku menikah lagi. Aku malah bangga, orang pasti akan memuji kehebatanku, lha wong sudah tua gini kok masih laku juga,” lanjutnya.
Pak Andre tersenyum simpul mendengar seloroh sahabat tuanya itu. Dalam hatinya ia memuji sekaligus bersumpah serapah terhadap sahabatnya itu,
“Sialan Pak Mus, memang hebat kamu kalau sampai bisa menikah lagi, padahal usiamu sudah uzur, ganteng juga tidak kamu itu!”
Untuk menindaklanjuti ketertarikannya, pada suatu malam saat jeda pertunjukan, Pak Mus meminta tolong pengelola orkes supaya ia bisa dipertemukan dengan dua penyanyi yang telah menggoda imannya. Pengelola orkes membawa kedua penyanyinya ke kafe tempat Pak Mus biasa menyaksikan pertunjukan. Salah satu penyanyi itu mendekati meja tempat Pak Mus dan Pak Andre duduk. Seorang wanita berusia 20-an yang berwajah ayu, berambut sebahu, berkulit sawo matang, tubuhnya yang sintal terbalut baju ketat, membuat kedua pria itu menelan ludah menatapnya.
Pak Andre pun membuka pembicaraan,
“Selamat malam, Mbak Elsa. Nama saya Andre dan ini teman saya, namanya Pak Mus. Beliau ini penggemar Mbak Elsa dan ingin kenal lebih dekat. Tentu saja kalau Mbak tidak keberatan, lho.”
Penyanyi bernama panggung Elsa Rodrigo itu pun mengulurkan tangannya.
“Selamat malam juga, Pak. Saya senang bisa ketemu dengan penggemar saya seperti Bapak. Tapi kenal lebih dekat itu piye maksudnya?” tanya Elsa dengan logat Jawanya yang medok sambil mengernyitkan dahi.
Pak Mus pun angkat bicara, “Langsung saja ya jeng Elsa, saya ini sudah jatuh cinta pada sampeyan…”
Tanpa tedeng aling-aling Pak Mus spontan mengungkapkan perasaannya. Elsa terhenyak mendengarnya dan langsung memotong kata-kata pak tua itu,
“Nuwun sewu ya, Pak. Saya ini sudah menikah dan punya anak. Saya jelas akan menolak mentah-mentah kalau Bapak mau menjadikan saya sebagai istri. Sebagai istri resmi pun saya emoh, apalagi kalau saya jadi istri simpanan!”
Elsa yang selalu kemayu di atas panggung itu sekejab berubah menjadi wanita yang garang, nada bicaranya tegas dan agak tinggi.
“Begini-begini saya ini setia lho, Pak!” lanjut Elsa setengah berteriak.
Untuk menetralisasi suasana, Pak Andre pun kembali menjalankan perannya sebagai moderator pertemuan,
“Waduh, maaf sekali ya Mbak Elsa. Kami tidak tahu kalau Anda sudah berkeluarga. Mohon maafkan kesalahan teman saya yang sudah kesusu mengungkapkan perasaannya ini.”
Elsa pun segera bangkit dari kursinya, sementara Pak Mus terlihat salah tingkah. Ia tak mengira bahwa salah satu penyanyi favoritnya itu bisa bersikap sedemikian rupa. Pengelola orkes tampaknya melihat gelagat yang kurang baik. Ia pun menghampiri Pak Mus sambil mengajak Helda Angela, penyanyi lain kesukaan Pak Mus.
“Saya mohon maaf kalau penyanyi saya tadi tak sopan kepada bapak-bapak. Kalau saya tahu Bapak itu jatuh cinta sama Elsa, saya bisa kasih tahu dulu bahwa dia itu sudah berkeluarga. Jadi, yang seperti tadi tak akan terjadi. Nah, ini Helda minta saya menemaninya menghadap bapak-bapak. Helda ini baru kelas 2 SMA, Pak. Jadi terus terang saja belum kepikiran kalau harus segera jadi manten. Mungkin itu yang bisa saya katakan pada Anda berdua,” jelas pengelola orkes. Sejak peristiwa itu, Pak Mus tak pernah datang lagi ke tempat hiburan tersebut.
***
Pak Mus pernah tiga kali menikah. Pernikahan pertama menghasilkan dua anak perempuan. Dengan dalih ingin memiliki anak lelaki dan karena memang ia telah kembali jatuh cinta, Pak Mus berniat menikah lagi. Maksud hatinya mau berpoligami, tapi apa daya sang istri pertama tak mau dimadu. Akhirnya mereka pun bercerai dan Pak Mus pun menikah lagi tak lama setelahnya. Pernikahan keduanya adalah hari-hari terindah dalam hidupnya. Anak laki-laki yang didambakannya, akhirnya dimilikinya jua. Setelah lebih 30 tahun menikah untuk kedua kalinya, Pak Mus mesti kehilangan istri tercintanya yang meninggal karena sakit. Tapi dalam waktu kurang dari setahun kemudian, ia sudah menikah lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini dinikahinya seorang janda beranak dua. Namun tak lebih dari empat tahun saja usia pernikahan ketiga Pak Mus, istrinya lagi-lagi pergi mendahuluinya menghadap Ilahi.
***
Pada sebuah Minggu pagi Pak Mus menghadiri pernikahan anak salah satu temannya. Ternyata ada seorang wanita yang menarik perhatiannya. Wajahnya tak terlalu ayu, tapi penampilannya cukup mengkilap dengan gaun yang memperlihatkan lengan dan betisnya yang mulus. Pak Mus berpikir untuk melakukan pendekatan dan saat makan adalah saat yang paling tepat. Kebetulan sekali, kursi di samping wanita itu kosong. Pak Mus pun bergegas mendudukinya.
Sembari menyantap makanannya, ia membuka pembicaraan,
“Anda hubungannya apa dengan yang jadi manten? Kalau saya teman bapaknya manten perempuan.” Pak Mus lebih berhati-hati dan tak mau terburu-buru mengungkapkan rasa sukanya.
“Saya sepupu jauhnya manten perempuan,” jawab si wanita singkat.
Perbincangan Pak Mus dan kenalan barunya pun berlangsung asyik. Wanita bernama Intan itu tinggal sendiri di Jogja, sementara keluarganya tinggal di Palu. Ia baru saja lulus dari sebuah universitas dan sedang mencari pekerjaan. Pak Mus menyodorkan kartu namanya, sembari menawarkan pekerjaan di kantornya.
“Kantor saya itu administrasinya sedang kacau. Nah, mumpung sekarang kamu lagi cari kerja, kamu datang saja besok ke tempat saya. Ndak usah pake tes, kamu bisa langsung kerja.”
Gayung pun bersambut, Intan setuju dengan tawaran itu. Ia yakin Pak Mus orang baik, setidaknya ia tahu bahwa pak tua itu adalah teman pamannya.
Esoknya Intan datang ke kantor Pak Mus dan langsung bekerja. Ia senang bisa bekerja sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya saat kuliah. Pak Mus malah lebih senang bisa bertemu dengan orang yang disukainya dan bercengkrama lebih lama lagi. Untuk merebut hati Intan, ia mengajak gadis itu makan siang di restoran. Hal itu hampir dilakukannya tiap hari.
Dua minggu kemudian, Pak Mus merasa sudah saatnya ia mengungkapkan perasaannya. Ia pun mengajak Intan ke sebuah restoran masakan Cina. Setelah mereka berdua menghabiskan hidangan, Pak Mus mulai serius bicaranya.
“Kamu kan pernah cerita soal tipe laki-laki yang jadi idaman kamu. Nah, misalnya ndak ketemu-ketemu terus piye, Nduk?” tanya Pak Mus.
“Ya, kalo nggak ketemu juga ya nggak apa-apa. Semoga saja dia nggak jauh dari tipe idaman saya,” sahut Intan, seolah menjawab pertanyaan seorang ayah.
“Gini lho, Bapak ini kan duda. Meski sudah tua, Bapak masih pengen nikah lagi. Yah, mungkin karena selama ini selalu ada istri yang melayani dan mendampingi Bapak tiap hari. Jadi rasanya ada bagian hidup Bapak yang hilang ketika istri Bapak ndak ada.”
“Lalu kersanipun Bapak apa?”
“Kamu mau ndak jadi istri Bapak?” bisik Pak Mus sambil memajukan kepalanya.
Intan begitu kaget, tak dikiranya sama sekali ada kata-kata tersebut siang hari itu. Gadis itu hanya diam, bingung, dan matanya berkaca-kaca. Wajahnya tertunduk sejenak, sambil mengatur nafasnya, ia mendongakkan kepalanya.
Dengan agak terbata Intan mencoba menjawab,
“Maaf, terus terang saya kaget sekali Bapak berkata seperti itu pada saya. Sebelumnya sama sekali nggak kepikiran, saya diterima kerja karena ada maksud tertentu dari Bapak. Mungkin saya terlalu lugu, makanya saya nggak tahu. Saya jelas nggak bisa menerima permintaan Bapak. Saya belum siap menikah sekarang! Dan saya ingin nanti menikah dengan orang yang benar-benar saya cintai.”
Intan mencoba berhati-hati menata rangkaian kata yang keluar dari mulutnya. Ia tak ingin melukai hati orang tua itu. Ia sadar Pak Mus sudah berbaik hati kepadanya, meski tentu saja tiada rasa cinta Intan sedikit pun kepadanya. Pak Mus hanya manggut-manggut sambil bertopang dagu. “Yo wis, ndak apa-apa. Sebetulnya Bapak sudah ngira kamu bakal ndak mau. Kamu malu to kalo jadi istri Bapak? Ya wajarlah, mungkin bapakmu saja umurnya lebih muda dari Bapak. Tapi kamu masih mau kerja di tempat Bapak, to?”
“Maaf, dengan peristiwa barusan, saya memutuskan untuk keluar sekarang juga. Terima kasih, Bapak sudah memberi saya pekerjaan, walau cuma sebentar. Semoga Bapak segera mendapat istri lagi. Permisi Pak, saya pergi,” tutup Intan yang lantas bangkit dari kursi, lalu beranjak pergi, meninggalkan Pak Mus yang kecewa lagi.
***
Keterangan untuk beberapa kata dalam bahasa Jawa :
- mending = lebih baik
- wong = orang
- piye = bagaimana
- medok = kental (khusus untuk logat)
- sampeyan = anda
- tedeng aling-aling = basa-basi
- nuwun sewu = mohon maaf
- emoh = enggan
- kemayu = genit
- kesusu = tergesa-gesa
- nduk/genduk = panggilan sayang untuk anak perempuan
- kersanipun = kehendaknya, maunya
- yo wis = ya sudah
# Cerpen ini pernah dimuat di salah satu koran terbitan Sumatra pada tahun 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H