Tapi yang jadi masalah adalah, para tetangga atau jemaat yang kadang-kadang saja keistiqomahan untuk hadir ikut nderes, kadang-kadang istiqomah pula untuk absen nderes-nya karena kecapekkan menuntaskan tugas mengabdi diri pada negara sebagai pegawai negeri atau karena serangan masuk angin akibat terlalu lama duduk diruang ber-AC kantor, itu biasanya tak tahu menau tentang pembahasaan dari gejala, tanda, istilah dari mbah kiai yang rumahnya bertetangga dengan mereka.
Mempercakapkan tentang pendidikan gaya santri pesantrenan yang tak sengaja digunakaan secara substansial dalam managemen ketakmiran langgar Al-Muhajirin, karena langgar tersebut bukanlah pesantren, para jemaat yang telah lama nderes berjibaku mengais ilmu dari kealiman seorang kiai, mendadak hatinya tergetar dengan gemuruh nada denyutan yang menyampaikan pesan bahwa, "saya kok merasakan diri saya mirip santri. "Yang tentunya wajib beramarmakruf dan tentunya nahi mungkar secara sosiologi di lingkungan masyarakat desa, paska ilmu dari nderes kitab ditransformasikan setiap malam dengan kontinuitas ikhtiar, konsistensi tinggi yang presisi.Â
"Model pendidikan macam apa ini? Gak kenal saya," tanya seorang berparadigma modern, yang tak melihat apakah disitu ada kurikulumnya, ada Satuan Acara Pendidikan (SAP-nya), silabusnya, jadwal pertemuan tiap harinya, ada absensinya, ada standar kompetensinya, ada ujian tiap semesternya, ada iuran tiap bulannya, ada rapot tiap awal dan akhir semesternya.
Tidak ada yang bisa membantah untuk sekedar menjawab argumen itu, biar si penanya kenyang dianggap kritis, dianggap aktif dan dianggap progresif bagi semua peserta diskusi. Karena toh apapun jawabannya, si penanya tak pernah mau berendah hati untuk menerima argumen-argumen irrasional yang ia sering hujat itu.Â
Bahwa cara belajar pesantren tak membutuhkan itu semua, pada akhirnya. Karena argumen itu bersumber dari paradigma yang menempatkan alat indera sebagai penentu ilmu pengetahuan yang mutlak dan sah masuk ke dalam diri manusia itu sendiri. Artinya, prasyarat ilmu adalah dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, dan dihirup aromanya berdasarkan tugas pokok alat indera manusia.Â
Tanpa itu, akhirnya tindak-tanduk dari seorang santri yang mengenyam hidup dan belajar di pesantren tak terkecuali tindak-tanduk dari mbah kiai di siang bolong itu menjadi kudapan hangat oleh mereka yang bermaterialisme cara berfikirnya, dimaknai sebagai perilaku yang irrasional untuk dikuliti atas dasar pemaknaan, kebaikan dan kebenarannya.
Namun apakah kita pernah berfikir jika cara berfikir materialisme itu syarat akan kecacatan metodis? Apakah tak pernah berfikir jika cara berfikir materialisme itu sarat akan kekeliruan penafsiran? Bagaimana jika cara berfikir materialisme digunakan menjembatani pembahasaan kita akan perilaku yang kalian sebut aneh dari mbah kiai.Â
Betapa tak lagi penting sandal, alas kaki, pelindung sikil dan hal ihwal penangkal kotoran yang cara pakainya dibuntel ditelapak kaki. Kok bisa-bisanya kiai menanggalkannya untuk suatu alasan yang tak pernah kita ketahui kejelasannya. Jawaban dari cara berfikir demikian adalah gejala dari seorang kiai yang demikian aneh perilakunya tergolong sebagai abnormalitas sosial jika dilihat berdasarkan status ontologi kesehatan mental manusia.Â
Atau dalam penafsiran yang cukup arogan, paradigma materialisme akhirnya terjebak pada hipotesis dari gejala kiai yang nyeker sebagai seorang gila yang tak ada bedanya dengan mereka yang korup, mereka yang sakti menggandakan uang, atau mereka yang ahli perbendaan pusaka-pusaka yang sarat akan kekuatan metafisika di pinggiran kabupaten Banyuwangi atau Lamongan.
Materialisme tak ubahnya sesuatu hal yang memberatkan kita dikemudian hari mengakibatkan manusia menjadi gampang tersedak atau angop dibuatnya. Kalau tidak percaya, buktikan saja! Betapa sering meterialisme membuat kita tersedak karena ketergantungan dan angop me-manunggaling-kan benda-benda menjadi ghirrohself esteem dalam diri manusia belakangan ini.
Di abad modern yang nyaris tak mungkin kita pisahkan batas post dan most modernnya, unsur kebendaan yang mampu disetubui oleh panca indera adalah ukuran dari segala sesuatunya, akhirnya menjadikan, jika tidak demikian, apa yang jenengan perbincangkan dimeja diskusi, warung kopi atau dimeja perlemen, adalah bernilai mitos, kabur, berandai-andai, pada tingkat keparahan paling akut dianggap sebagai kegilaan semata.