Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kerumitan dan Ketidaksepahamannya

8 Juli 2017   22:05 Diperbarui: 8 Juli 2017   22:27 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berlin: The Art of Reunification

Rasanya tumpah anggur semalam

Basah di taplak, memperkarat telenan

Membuang diam, kurampas, dan kuganti kerumitan

Hanya itu sejelas jelas nasib yang rumit setelah kutukartambah sisanya

Nasib buruk katanya tidak untuk dilahirkan, ini pesimis, makanya ia mati tragis

Ditelan sepi, dihunus rasa geram yang menjadi jadi, "rasanya ternyata begini," kata ku semalam dengan sengaja kutumpah semuanya

Justru ini anehnya, tukang damprat itu tak pernah mati hingga hari ini,

"Masih saja tak ingat kau?" Makanya banyak baca, biar mudah nebak, dan sulit ditebak

Kunamai dengan sifat, hanya itu yang sebenarbenarnya nyata, tentang tumpah ruah semalam

Perkara nama, hati apalah daya, ia tak beruang mengapa kerap minta sisa jarak menagih jatah, tanpa uluk salam pula

Kulunasi pada akhirnya, kuganti dan kugadai dengan sifat kerumitan

Ini sejelas jelasnya definisi, ku tandaskan biar memperjelas status ontologi; apa itu hasutan? Apa itu kemurnian. Tentu kau paham, karena ini sempat menjadi yang kita maksudkan

Atau justru jauh dari pemahaman, karena memang kau tak benar-benar sama dalam merumuskan makna

Ah? Sebagai itikad, Hitler-pun demikian, "manisku."

Apa masih ada sisa rasa benci yang masih tertinggal karena tak tuntas mencabut akar,

setelah kata "kejam" menandai sejarah dari sisa umurnya, padahal ia hanyalah pegawai negeri petugas partai.

Ia tak pernah punya ukuran menguji perkara-perkara silogisme; ide, tanda dan adanya ada

Ia sama seperti nasibku semalam

Atau sebaliknya. Juga nasib yahudi, yang sempat berteman sejenak, sesingkat sejarah menulisnya

Lucunya, dengan Jerman saat kanselir masih bergeming pada Nazi bersemboyan demagog, "der fuhrer!"

Hanya bersisa sejumlah manusia, agar bercerita tentang hebatnya panser, santet, bom kimia, berondong senapan, bergentayangan mengganti tugas kabut bebarengan dengan deru kapal terbang USS pada cucu mereka setelah pulang, dari perang, pembantaian, dan rasa iba ampunan Tuhan

Maksudku,

kan kutiru dia, bukan pada bumper berbulu dibawah hidungnya, tanda fasis mengakar, menderu meluka meradang menggorok tenggorokan. Nasib Berlin, ku takut dipisah dua.

Anggur yang harganya 3 batang rokok, dipayungi cahaya lampu jalan temaram ramah,

tapi kata Rendra, dengan berbisik, "hsssssttt?" mereka tengah bertengkar dengan malam,

ku beli dengan sisa uang hasil rampasan dompet teman, siapa tahu bermanfaat jadi hangat disisa malam

Eh, malah memilukan

Dalam gramatika bahasa dan belantara tanda; huruf, simbol, nada yang mana lagi?

Kau kan tahu bukan abang yang memaksa adanya, tapi Dia, yang memberi kerumitan ini menjadi benar tanpa tanda

"Kerumitan" itu bukan sengaja kau dan aku cipta. Tapi, entah apa itu, "kerumitan" datang ditengah-tengah kehangatan cerita, yang tak pernah selesai akan sampai mana ujungnya

Apakah tuhan, dengan "huruf T" kecil, sedang iseng. Dan kau hendak memungkirinya mirip seperti kanselir terhadap partai Nazi, menolak nas dan garis tanda-Nya

 Ah, makin rumit Dia si pemberi hidayah dan Dia sebagai si pemberi kesesatan tak teselamatkan.

Apa benar Dia adalah kerumitan itu sendiri? Jangan-jangan hanya selarik rasa ingin untuk memungkasi hal yang, tak termaknai," kata Schleimacher

Tentu kita patut menguji, tanpa menolak konsekuensi yang mengular dibelakangnya, tentang jurang dan ceruk-ceruk rasa sakit yang sepakat kita harus hindari

Tetap masih tak bergeming untuk mencabut selasar perkara ini atas kerumitan, "tentang apa itu?" kata Derrida, "maknanya putuskan sendiri. Dan kau harus berani" Hanya sisa-sisa dari yang telah lama kugadai agar tak terlasut kering perkara-perkara tua dan suci ditengah tengah kegaduhan, mereka gunakan, secara kolektif, tanpa pernah sadar itu profane

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun