Mohon tunggu...
Lugas Rumpakaadi
Lugas Rumpakaadi Mohon Tunggu... Jurnalis - WotaSepur

Wartawan di Jawa Pos Radar Banyuwangi yang suka mengamati isu perkeretaapian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

155 Tahun Perkeretaapian Indonesia dan Pekerjaan Rumah yang Belum Terselesaikan

10 Agustus 2022   11:52 Diperbarui: 15 Agustus 2022   04:01 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokomotif CC 201 83 31 menjemput rangkaian Sritanjung di Depo Ketapang. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tepat 10 Agustus 2022, perkeretaapian Indonesia sudah berusia 155 tahun. Jalur kereta api pertama di Indonesia, terkhusus di Pulau Jawa yang menghubungkan Stasiun Samarang dan Stasiun Tanggoeng, akhirnya dibuka pada tanggal ini di tahun 1867.

Proses pembuatan jalur ini diawali pada 17 Juni 1864 dengan proses pencangkulan pertama di Desa Kemijen oleh operator kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Peresmiannya sendiri dilakukan oleh Mr. Ludolph Anne Jan Wilt baron Sloet van de Beele (Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-52 yang memerintah pada tahun 1861-1866).

Setelah hampir 3 tahun lamanya proyek pembangunan jalur Samarang-Tanggoeng itu, pada 10 Agustus 1867, jalur kereta api dengan lebar sepur standar 1.435 mm itu akhirnya selesai dibangun. Menjadikan Hindia Belanda sebagai pemilik jalur kereta api tertua kedua di Asia setelah India.

Kantor pusat NV NIS di Semarang. (Sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)
Kantor pusat NV NIS di Semarang. (Sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

155 tahun pasca dibukanya jalur kereta api pertama itu, Kereta Api Indonesia (KAI) mengadakan napak tilas dengan menggunakan lokomotif livery Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) atau vintage, CC 201 83 31 dan 8 kereta kelas eksekutif. Kereta api luar biasa (KLB) tersebut akan melakukan napak tilas dari Stasiun Semarang Tawang hingga Stasiun Tanggung.

Meskipun sudah eksis lebih dari 1 abad lamanya, masih banyak permasalahan dan pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia dalam bidang perkeretaapian. Beberapa di antaranya akan coba saya rangkum pada artikel ini.

Panjang Total Jalur Kereta Api yang Menyusut

Mr. L. A. J. W. Baron Sloet van de Beele. (Sumber: Wikipedia/Barend Leonardus Hendriks)
Mr. L. A. J. W. Baron Sloet van de Beele. (Sumber: Wikipedia/Barend Leonardus Hendriks)
Sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, jalur kereta api di Indonesia tercatat pernah mencapai 7.464 km. Jalur tersebut dioperasikan oleh operator milik pemerintah dan swasta dengan perincian 4.089 km jalur milik pemerintah dan 3.375 km lainnya adalah milik swasta.

Namun, saat ini panjang jalur yang tersisa dan masih aktif tinggal 5.042 km saja. Menyusut hingga 2.422 km jika dibandingkan masa kolonial Hindia Belanda pada tahun 1928.

Hal ini berbanding terbalik dengan Jepang yang menjadi negara pemilik jalur kereta api tertua ketiga di Asia. Di mana negara tersebut pada tahun 1949 pernah mengoperasikan jalur sepanjang 197.568 km dan sempat mencapai panjang 214.211 km pada tahun 1981 (belum termasuk jalur kereta cepat). Panjang jalur menyusut menjadi 196.336 km pasca dibubarkannya Japan National Railway (JNR).

Pengembangan moda transportasi di Indonesia memang sempat terhenti, terutama pada masa Orde Baru. Di mana pada masa itu, pemerintah memang tidak memprioritaskan moda transportasi kereta api. Beberapa menyebutkan bahwa ada alasan politis pemerintah yang pada akhirnya menyebabkan terhentinya perkembangan jalur kereta api di Indonesia.

Meskipun demikian, saat ini pemerintah tampaknya mulai serius dalam membangun prasarana perkeretaapian. Dengan mulai adanya beberapa jalur lama yang direaktivasi, seperti jalur Cibatu-Garut, dibangunnya jalur kereta api di Aceh dan Sulawesi, serta jalur kereta cepat Jakarta-Bandung.

Prasarana Perkeretaapian Belum Merata

Peta jalur kereta api di Pulau Jawa. (Sumber: Wikipedia/RaFaDa20631)
Peta jalur kereta api di Pulau Jawa. (Sumber: Wikipedia/RaFaDa20631)

Prasarana perkeretaaapian di Indonesia masih belum merata dan baru tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan baru-baru ini di Sulawesi (meskipun belum aktif beroperasi). Di Pulau Jawa saja, prasarana perkeretaapian baru mencakup beberapa wilayah saja. Belum semua kabupaten dan kota terhubung dengan jalur kereta api.

Sementara itu, di Sumatera, jalur kereta api masih terputus-putus. Baru Divisi Regional (Divre) 3 Palembang dan Divre 4 Tanjungkarang saja yang jalurnya tersambung. Untuk Divre 1 Medan dan Divre 2 Padang, jalurnya masih terpisah.

Di Sulawesi, proses pembangunan jalur masih diupayakan demi terhubungnya Kota Makassar dan Pare-Pare. Walaupun dalam proses pembangunannya masih terdapat permasalahan yang menghambat perkembangan dari pembangunan jalur tersebut.

Di pulau besar lainnya seperti Kalimantan dan Papua hingga kini masih belum terjamah proyek pembangunan jalur kereta api. Untuk Kalimantan sendiri, masih ada wacana pembangunan jalur kereta api di wilayah ibukota baru. Namun, masih belum jelas apakah wacana tersebut akan direalisasikan atau tidak.

Kereta Perkotaan Hanya Dinikmati Beberapa Daerah

KRL Jakarta Kota-Bogor di Stasiun Manggarai. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
KRL Jakarta Kota-Bogor di Stasiun Manggarai. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Beberapa kota besar di Indonesia kini sudah menikmati layanan kereta perkotaan. Beberapa layanan kereta perkotaan yang tersedia antara lain adalah Kereta Rel Listrik (KRL), Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rail Transit (LRT).

Adapun KRL sendiri saat ini baru tersedia di 2 daerah di Indonesia yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Yogyakarata hingga Solo, yang kini diperpanjang hingga Palur. 

Sementara itu untuk MRT baru tersedia di Jakarta. Kemudian LRT baru tersedia di Kota Palembang, Sumatera Selatan dan Jakarta, meskipun saat ini ada juga LRT yang dikembangkan KAI untuk penghubung wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.

Kereta perkotaan belum menjadi prioritas pembangunan di banyak wilayah perkotaan yang ada di Indonesia. Baru beberapa wilayah saja yang bisa merasakan dampak dari transportasi umum berbasis rel ini. Padahal, ada banyak wilayah perkotaan yang kini memiliki masalah kemacetan karena banyaknya kendaraan pribadi.

Elektrifikasi untuk Capai Net Zero Emission

KRL yang menggunakan energi listrik dalam operasionalnya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
KRL yang menggunakan energi listrik dalam operasionalnya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Satu hal yang menarik belakangan ini adalah Indonesia turut berpartisipasi dalam mencapai target nol karbon pada tahun 2060. Namun, prasarana perkeretaapian di Indonesia sendiri hingga sekarang masih belum bisa dikatakan memadai untuk mencapai target tersebut.

Elektrifikasi jalur kereta api adalah istilah untuk menyebutkan peralihan energi yang digunakan untuk operasional kereta api dari awalnya menggunakan bahan bakar fosil seperti high speed diesel (HSD) menjadi listrik. Dengan peralihan tersebut, emisi karbon yang dihasilkan oleh moda transportasi kereta api akan berkurang dan bahkan mencapai nol.

Hingga saat ini, elektrifikasi jalur kereta api baru dinikmati oleh masyarakat di sekitar Jabodetabek dan Yogyakarta-Solo. Sementara untuk jalur lainnya, saat ini masih belum ada pengembangan untuk elektrifikasi.

Sebagian besar energi yang digunakan untuk operasional kereta api di Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil. Meskipun pada praktiknya kini sudah dicampur dengan biodiesel hasil olahan minyak kelapa sawit.

Minimnya Riset dan Pengembangan Sektor Perkeretaapian

Ilustrasi riset dan pengembangan. (Sumber: Photo by Pexels/Abby Chung)
Ilustrasi riset dan pengembangan. (Sumber: Photo by Pexels/Abby Chung)

Negara-negara yang memiliki jalur kereta api juga memiliki prioritas dalam riset dan pengembangan. Hal ini dilakukan untuk mencapai target sarana dan prasarana perkeretaapiannya menjadi lebih andal, efisien, dan berdaya saing.

Namun, tampaknya hal ini masih belum menjadi prioritas bagi Indonesia yang juga memiliki jalur kereta api. Padahal, riset dan pengembangan ini sangat penting dalam menciptakan inovasi baru yang mana pada akhirnya juga akan membuat perkeretaapian itu sendiri menjadi moda transportasi andalan bagi masyarakat.

Perlu adanya ekosistem riset dan pengembangan yang didukung oleh operator, regulator, dan perguruan tinggi. Meskipun mahal dan hasilnya tidak bisa instan digunakan pada jangka pendek, namun pada jangka panjang hasil riset dan pengembangan ini akan menjadi sangat bermanfaat.

Coba bayangkan, apa jadinya perusahaan seperti General Electric, Hyundai Rottem, Electro Motive Diesel, Nippon Sharyo, dan lain sebagainya jika tidak ada dukungan dari riset? Apakah produknya akan ikut mewarnai jalur kereta api di Indonesia hingga saat ini?

Memang, kita memiliki Industri Kereta Api (INKA), yang sudah sangat baik dalam menyediakan produk kereta dan gerbong tak berpenggerak. Namun, INKA juga perlu didukung dengan ekosistem riset yang baik untuk bisa menyediakan produk sarana kereta api yang semakin baik di masa mendatang.

Sarana Perkeretaapian belum Sesuai Ekspektasi

Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat menuliskan artikel mengenai "Kursi Adu Dengkul". Mungkin beberapa juga sudah ada yang membacanya. Namun, buat yang belum, mungkin bisa mampir dulu untuk mendapat insight dalam membaca sub bagian ini.

Sarana perkeretaapian Indonesia terus mengalami perbaikan, terutama setelah KAI dipimpin oleh Ignasius Jonan pada tahun 2009-2014 lalu. Banyak yang berubah terutama dari segi layanan. Jonan memang menghendaki kereta api ke depannya tidak berfokus pada produk, namun layanan.

Hal itu dibuktikan dengan perbaikan layanan kereta api pada kelas ekonomi dan bisnis. Serta, di kemudian hari dilakukan penyederhanaan layanan dari awalnya 3 kelas menjadi 2 kelas saja yaitu eksekutif dan ekonomi saja.

Seiring berjalannya waktu, mulai banyak masukan yang diberikan oleh pelanggan kereta api, terutama pelanggan kelas ekonomi. Seperti yang diketahui bersama saat ini KAI mengoperasikan 3 jenis kereta ekonomi yaitu ekonomi kepasitas 106 penumpang, ekonomi eks Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan ekonomi premium.

Dua dari tiga jenis kereta kelas ekonomi tersebut menggunakan kursi yang berhadapan dan tegak. Namun, pada kereta kelas ekonomi berkapasitas 106 penumpang, jarak antar bangku relatif lebih sempit jika dibandingkan ekonomi eks Kemenhub, yang mana juga menggunakan konfigurasi tempat duduk berhadapan dan tegak.

Pelanggan kereta api menghendaki penggunaan kereta ekonomi 106 penumpang itu dihentikan. Terutama untuk kereta api antar kota yang tarifnya sudah tidak disubsidi oleh pemerintah. 

Menurut mereka, harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan layanan yang didapatkan. Harapannya, kereta kelas ekonomi antar kota yang sudah dicabut subsidinya tidak lagi menggunakan rangkaian kelas ekonomi berkapasitas 106 penumpang ini.

Selain pada kelas ekonomi ada juga kereta kelas eksekutif yang dirasa masih belum memuaskan pelayanannya. Saya pernah menuliskannya pada artikel "Melihat Matahari Terbenam dari Kereta Api Gajayana".

Kereta kelas eksekutif yang dimaksud adalah buatan tahun 2016 atau biasa disebut dengan sebutan new image. Fasilitas foot rest (sandaran kaki), serta peredam kabin belum sepenuhnya baik. Apalagi jika digunakan untuk kereta api dengan jarak yang sangat jauh seperti Gajayana.

Terbuka pada Masukan namun Terhalang Bemper

Ilustrasi media sosial. (Sumber: Pexels/Magnus Mueller)
Ilustrasi media sosial. (Sumber: Pexels/Magnus Mueller)

Sub terakhir ini mungkin tidak se-teknis sub bagian sebelumnya yang saya tulis pada artikel ini. Namun, hal ini juga menurut saya sebaiknya tetap ditulis sebagai bagian dari perbaikan layanan kereta api ke depannya. Karena secara tidak langsung para "bemper" ini juga menjadi penghambat bagi kemajuan layanan perkeretaapian.

KAI saat ini sangat terbuka dalam hal kritik dan saran dari pelanggannya demi menyempurnakan layanan yang ada. Terbukti dari dibukanya berbagai media sosial mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga Tiktok. Lewat media sosial tersebut, KAI menggunakannya sebagai media promosi serta berinteraksi dengan pelanggannya. Termasuk juga sebagai media untuk menyampaikan kritik dan saran.

Tidak terbatas dari media sosial saja, pelanggan kereta api juga bisa menyampaikan kritik dan saran melalui surat elektronik (surel), call centre 121, WhatsApp, hingga kondektur yang bertugas pada saat perjalanan. Bahkan saat ini, Direktur Utama (Dirut) KAI Didiek Hartantyo juga aktif di Twitter dan bisa digunakan untuk menyampaikan keluhan.

Sayangnya, keluhan-keluhan, kritik, dan saran yang disampaikan pelanggan terkadang terhalang oleh "bemper". Bemper ini adalah istilah yang diberikan kepada akun-akun media sosial yang berusaha meng-counter kritik dan saran yang disampaikan pelanggan kereta api.

Di media sosial, saya juga kadang dianggap bemper (padahal saya aktif memberikan kritik dan apresiasi juga jika layanannya bagus). Saya sendiri kadang juga malas menghadapi bemper-bemper yang berkeliaran di sosial media ini. Menurut saya, keberadaan mereka justru memperparah persepsi masyarakat terhadap perseroan.

Benar saja, belakangan beberapa pelanggan ada yang enggan menyampaikan keluhannya lewat media sosial. Mungkin hanya sedikit saja yang berani menyampaikan keluhannya, meskipun juga terkadang dihajar akun bemper ini. Bahkan, pelanggan dan masyarakat umum beranggapan bahwa KAI sangat anti terhadap masukan.

Sebenarnya, tidak semua akun bemper ini bikin kesel, tapi yang paling menjengkelkan adalah jika bahasa yang dipakai terkesan kasar. Hal ini bukannya membuat pelanggan lega menyampaikan keluhan, tapi malah menjadi terintimidasi. Pada akhirnya ini menghambat penyempurnaan layanan di sarana kereta api.

Pesan saya untuk para bemper ini, bolehlah menjadi pengagum, penggemar, pengguna, pegawai atau apapun itu dari moda transportasi kereta api. Namun, perlu diingat bahwa tidak ada layanan yang sempurna. Pasti ada celah kekurangan dari layanan tersebut yang perlu diperbaiki dan itu yang biasanya masyarakat awam lebih jeli dalam melihatnya. 

Terimalah masukan tersebut, dan berilah edukasi dan pengarahan dengan bahasa yang baik jika masukan dari pelanggan mungkin dirasa kurang masuk akal menurut kalian.

Penutup

Lokomotif CC 201 83 31 menjemput rangkaian Sritanjung di Depo Ketapang. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Lokomotif CC 201 83 31 menjemput rangkaian Sritanjung di Depo Ketapang. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada akhirnya, di usia perkeretaapian Indonesia yang sudah mencapai 155 tahun ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Perlu usaha dari pihak-pihak terkait untuk memajukan transportasi berbasis rel ini di masa yang akan datang.

Mungkin masih banyak lagi pekerjaan rumah selain dari apa yang telah saya tuliskan pada artikel ini. Besar harapan kami sebagai pelanggan, penggemar, dan masyarakat untuk bisa mengembangkan kereta api sebagai salah satu transportasi andalan di usianya yang sudah mencapai 155 tahun ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun