Mohon tunggu...
Lugas Rumpakaadi
Lugas Rumpakaadi Mohon Tunggu... Jurnalis - WotaSepur

Wartawan di Jawa Pos Radar Banyuwangi yang suka mengamati isu perkeretaapian.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Cost Overrun pada Proyek Kereta Cepat Pertama di Dunia

5 November 2021   13:21 Diperbarui: 29 April 2022   21:50 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Cepat di Tokyo, Jepang. (Sumber: Pexels/Justin Brinkhoff)

Negara kita saat ini tengah menghadapi masalah saat melaksanakan proyek kereta cepat pertamanya, yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. 

Jumlahnya bisa dibilang fantastis, bahkan pemerintah pada akhirnya ikut turun tangan demi menyelamatkan proyek yang progresnya dilaporkan sudah mencapai 79% ini.

Cost overrun dalam sebuah proyek biasa dikenal sebagai pembengkakan biaya proyek dalam bahasa awam. Sebuah proyek biasanya sudah memiliki estimasi biaya sebelum mulai dilakukan. 

Estimasi biaya tersebut didapatkan dari studi kelayakan yang dilakukan. Jika pada pelaksanaannya terdapat penambahan kebutuhan biaya yang lebih besar dari estimasi, itulah yang disebut cost overrun.

Pembahasan soal isu cost overrun pada proyek kereta cepat di Indonesia sepertinya sangat asik untuk disimak. Ada pihak yang pro dan ada yang kontra soal upaya penyelamatan proyek yang satu ini.

Hal itulah juga yang akhirnya menarik perhatian saya untuk mengetahui lebih dalam soal proyek kereta cepat pertama di dunia yaitu Tokaido Shinkansen di Jepang. 

Apakah dalam praktiknya proyek ini lancar-lancar saja seperti halnya yang diperlihatkan banyak media? Atau ada kendala yang menyebabkan efek berkelanjutan dan mengubah sesuatu di negara tersebut?

Jepang menjadi negara pertama yang mengembangkan kereta cepat. Kala itu, di tahun 1960-an Jepang membangun jalur kereta cepat pertamanya yang menghubungkan antara wilayah ibukota di Tokyo dan kota metropolitan lain yaitu Osaka.

Selain karena adanya acara olahraga besar yaitu Olimpiade Tokyo saat itu, pembangunan kereta cepat ini juga didasari atas kebutuhan transportasi masyarakat antara Tokyo dan Osaka. Jalur kereta eksisting di antara Tokyo-Osaka bisa dikatakan yang tersibuk.

Jalur kereta cepat yang membentang sepanjang 515 km itu rencananya membutuhkan biaya sebesar 200 miliar Yen. Namun, faktanya estimasi biaya tersebut membengkak hingga dua kali lipatnya sekitar US$17 miliar jika dikonversi pada nilai mata uang saat ini.

Perkiraan yang meleset tersebut disebabkan karena pada tahun 1940, Japan National Railway (JNR) telah melakukan berbagai persiapan seperti membeli izin pembangunan jalur, menggali terowongan, dan meratakan beberapa rute yang akan digunakan untuk membangun jalur kereta cepat.

Sumber dana pembangunan kereta cepat tersebut salah satunya didapatkan dari pinjaman World Bank sebesar US$ 80 juta. Jumlah itu hanya menutup kurang dari 9% dari total kebutuhan biaya pembangunan. 

Sisa kebutuhan biaya diambil dari hasil penjualan obligasi JNR dan pinjaman dari pemerintah Jepang.

Hingga akhirnya, pada tahun 1964, kereta cepat pertama di Jepang dan di dunia mulai beroperasi. Namun, operasional kereta cepat tersebut rupanya tidak menyelesaikan masalah yang muncul sebelumnya.

Laporan keuangan JNR menunjukkan bahwa tahun 1963 menjadi tahun terakhir perusahaan kereta api milik negara itu menghasilkan keuntungan. Di tahun-tahun berikutnya, tidak ada catatan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.

Hal itu menimbulkan masalah baru yaitu potensi kegagalan pembayaran utang yang sebelumnya digunakan untuk membiayai proyek kereta cepat. 

Bahkan, hingga tahun 1972, JNR sudah mendapatkan kerugian hingga 10 miliar Yen (jika dibandingkan nominal uang hari ini).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerugian dari JNR. Pertama, JNR mengoperasikan kereta di 4 pulau utama di Jepang. Mayoritas pendapatan diterima dari operasional di Pulau Honshu (pulau utama di Jepang). 

Pulau Honshu memang menjadi pulau terpadat dengan 80% populasi Jepang tinggal di sana.

Dengan adanya fakta tersebut, artinya pendapatan terbesar dari JNR berasal dari Pulau Honshu. Sementara untuk pulau lainnya, bisa saja perusahaan hanya memperoleh keuntungan sedikit atau justru tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. 

Di sisi lain, para politikus Jepang bersikeras untuk tidak menutup jalur yang membebani posisi keuangan perusahaan.

Faktor kedua, para politikus juga melarang JNR untuk mengambil keuntungan dari produktivitas pekerjanya, serta memaksa untuk tetap membayar gajinya lebih dari dua kali lipat dari kebutuhan jumlah total pegawai.

Faktor terakhir, adalah adanya paksaan dari para politikus untuk membuat dan mengoperasikan jalur di rute yang tidak produktif. Sebagai contoh adalah Joetsu Shinkansen yang menghubungkan Tokyo dan Niigata.

Joetsu Shinkansen merupakan jalur kereta cepat yang mahal dalam proses pembangunannya. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan kebutuhan pembangunan Tokaido Shinkansen. Hal ini disebabkan karena jalur kereta cepat tersebut menembus medan pegunungan.

Proses pembuatan jalur tersebut dilakukan pada masa pemerintahan Perdana Menteri Kakuei Tanaka, yang memiliki kampung halaman di Niigata. Proyek ini diketahui penuh dengan kepentingan politik Tanaka. 

PM Tanaka kemudian dipaksa mundur setelah 2 setengah tahun menjabat karena tuduhan korupsi, menerima suap, dan mengarahkan kontrak pembangunan pemerintah menuju ke prefekturnya.

Hingga tahun 1986, efek dari pembangunan proyek kereta cepat di Jepang belum juga berakhir. 

JNR tercatat memiliki utang sebesar 5 triliun Yen sebagai akibat dari pembangunan kereta cepat di jalur Joetsu dan jalur lainnya. Perusahaan juga mencatatkan utang sebesar 25 triliun Yen untuk operasional kereta cepat.

Jika ditotal, utang perusahaan sudah mencapai 32,1 triliun Yen, termasuk adanya utang lain selain yang disebutkan sebelumnya. Bahkan, perusahaan juga masih memiliki kewajiban 5 triliun Yen pensiunan yang belum terbayarkan.

Apabila ditinjau kembali, JNR terus mengalami kerugian mulai tahun 1964 hingga 1986 sekitar 22 tahun. Sepanjang tahun tersebut, JNR masih dapat mempertahankan perusahaannya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Jawabannya, JNR mempertahankan perusahaan dengan cara berhutang. Sepanjang tahun-tahun tersebut, JNR bisa melakukan pinjaman dengan memberikan jaminan berupa lahan yang dimilikinya. 

Namun, ternyata hal tersebut berdampak juga pada sektor lain dan menimbulkan bubble pada perekonomian, yang terlihat dari melambungnya harga tanah di ibukota negara tersebut.

Akhirnya pada tahun 1986, JNR dinyatakan sudah tidak dapat lagi melanjutkan bisnisnya. Perusahaan sejak awal sudah mengalami kegagalan dalam menghasilkan penerimaan dan gagal dalam membayar kewajiban utangnya.

JNR telah beberapa kali berupaya menaikkan harga tiket kereta cepat yang dijualnya demi mencapai target penerimaan dan membayar kewajibannya. 

Namun, hal tersebut sia-sia dan justru menyebabkan calon penumpang beralih ke moda transportasi darat lainnya yang lebih murah.

Jumlah utang JNR sudah mencapai 30% dari Produk Nasional Bruto Jepang, yang mana jumlah tersebut sudah terlampau tinggi. Bahkan di tahun yang sama, utang pemerintah Jepang sendiri telah menyentuh 50% dari PNB.

Akhirnya pada tahun 1987, pemerintah memutuskan untuk melakukan privatisasi pada operator kereta api yang sudah tidak pernah untung ini. 

Pemerintah membagi JNR menjadi 9 perusahaan swasta berbeda. Tujuh dari sembilan perusahaan tersebut berstatus swasta sementara dua lainnya masih dimiliki pemerintah.

Dampak dari keputusan tersebut adalah banyaknya operator kereta di Jepang yang kita lihat saat ini dengan 3 operator besarnya antara lain Japan Railway (JR) East, Central, dan West. Serta beberapa operator pecahan JNR lainnya seperti JR Hokkaido, JR Kyushu, dan JR Freight.

Privatisasi ini diharapkan mampu membiayai utang masa lalu JNR yang sudah terlampau besar.

Dari pemaparan di atas, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, terutama saat melaksanakan proyek kereta cepat. 

Jepang, yang kelihatannya baik-baik saja, nyatanya harus menanggung utang yang menggunung dan mengharuskan perusahaan untuk diprivatisasi dan dipecah demi membayar utang sebelumnya.

Proyek kereta cepat kita juga memiliki masalah serius dengan cost overrun yang dihadapi. Tidak menutup kemungkinan juga akan bernasib sama seperti proyek kereta cepat yang terjadi di Jepang. 

Mengingat, biaya proyeknya juga dibiayai oleh utang, baik utang kepada China Development Bank (CDB) maupun dengan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

Pemerintah Indonesia pada awal proyek sudah bersikeras untuk tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek ini, sehingga menunjuk PSBI yang mendanai.

Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp3,4 triliun kepada Kereta Api Indonesia (KAI) yang saat ini memimpin proyek kereta cepat ini, kemungkinan adalah salah satu upaya penyelamatan pemerintah terhadap proyek ini. 

Ada 2 kemungkinan yang terjadi apabila pemerintah tidak mengambil keputusan untuk memberikan PMN.

Pertama, proyek kereta cepat yang sudah berjalan 79% ini akan mangkrak. Tentunya ini akan menyebabkan kerugian yang lebih besar lagi, karena proyek mahal ini sama sekali tidak akan menghasilkan keuntungan. 

Belum lagi, jika prasarana kereta cepat yang sudah dibangun harus dikembalikan seperti semula. Tentunya hal ini akan menambah beban finansial bagi stakeholder yang terlibat dalam proyek ini.

Kedua, proyek akan tetap dilanjutkan dengan tambahan dana pinjaman dari CDB. 

Hal ini tentunya akan sangat berbahaya, karena CDB di kemudian hari bisa saja meminta jaminan lebih apabila nantinya proyek kereta cepat tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan dan terus menanggung kewajiban utang seperti halnya JNR. 

Ada spekulasi, CDB bisa saja meminta seluruh aset sarana dan prasarana kereta cepat serta PSBI yang turut membiayai proyek ini sebagai bentuk pelunasan.

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tulisan saya ini hanya dimaksudkan untuk memberikan tambahan pembelajaran dari apa yang pernah terjadi di negara lain. Dalam hal ini Jepang. 

Tidak ada maksud untuk mengubah prinsip pembaca soal setuju atau tidak setuju soal proyek kereta cepat yang saat ini sedang dibangun.

Karena sudah terlanjur dibangun, ada baiknya kita bersama-sama tetap mengawal  proyek ini hingga selesai, mengingat ada uang kita juga yang sudah ikut dalam proyek kereta cepat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun