Perkiraan yang meleset tersebut disebabkan karena pada tahun 1940, Japan National Railway (JNR) telah melakukan berbagai persiapan seperti membeli izin pembangunan jalur, menggali terowongan, dan meratakan beberapa rute yang akan digunakan untuk membangun jalur kereta cepat.
Sumber dana pembangunan kereta cepat tersebut salah satunya didapatkan dari pinjaman World Bank sebesar US$ 80 juta. Jumlah itu hanya menutup kurang dari 9% dari total kebutuhan biaya pembangunan.Â
Sisa kebutuhan biaya diambil dari hasil penjualan obligasi JNR dan pinjaman dari pemerintah Jepang.
Hingga akhirnya, pada tahun 1964, kereta cepat pertama di Jepang dan di dunia mulai beroperasi. Namun, operasional kereta cepat tersebut rupanya tidak menyelesaikan masalah yang muncul sebelumnya.
Laporan keuangan JNR menunjukkan bahwa tahun 1963 menjadi tahun terakhir perusahaan kereta api milik negara itu menghasilkan keuntungan. Di tahun-tahun berikutnya, tidak ada catatan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.
Hal itu menimbulkan masalah baru yaitu potensi kegagalan pembayaran utang yang sebelumnya digunakan untuk membiayai proyek kereta cepat.Â
Bahkan, hingga tahun 1972, JNR sudah mendapatkan kerugian hingga 10 miliar Yen (jika dibandingkan nominal uang hari ini).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerugian dari JNR. Pertama, JNR mengoperasikan kereta di 4 pulau utama di Jepang. Mayoritas pendapatan diterima dari operasional di Pulau Honshu (pulau utama di Jepang).Â
Pulau Honshu memang menjadi pulau terpadat dengan 80% populasi Jepang tinggal di sana.
Dengan adanya fakta tersebut, artinya pendapatan terbesar dari JNR berasal dari Pulau Honshu. Sementara untuk pulau lainnya, bisa saja perusahaan hanya memperoleh keuntungan sedikit atau justru tidak mendapatkan keuntungan sama sekali.Â
Di sisi lain, para politikus Jepang bersikeras untuk tidak menutup jalur yang membebani posisi keuangan perusahaan.