Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kendari: Kota Nikel dengan Mimpi Besar

25 Januari 2025   14:49 Diperbarui: 25 Januari 2025   14:49 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSZvCSe3sETNG07tkBLa-kZYk_GGO4KbUngkKJAYP1BfX2p403ZRgLgnfI&s=10

Januari 2024, pesawat dari Makassar mendarat mulus di Bandara Haluoleo. Mas Dab disambut udara panas khas Sulawesi Tenggara, dan wajah familiar mas Mun, teman kuliahnya yang kini menjadi dosen di Universitas Haluoleo menyambutnya dengan sumringah. 

"Selamat datang di kota nikel," sambut mas Mun dengan logat Jawa yang masih kental meski sudah sepuluh tahun menetap di Kendari.

Perjalanan dari bandara ke pusat kota memberikan gambaran pertama tentang Kendari. Kota ini tidak sebesar Makassar atau Manado, tapi ada geliat pembangunan yang tak bisa diabaikan. 

Hotel-hotel baru bermunculan, mal-mal mulai berdiri, dan yang paling mencolok: dealer mobil-mobil berjajar di jalan utama.

"Efek nikel, mas," jelas Bang Anto, driver Gojek yang mengantarkan mas Dab ke Pantai Nambo keesokan harinya. 

"Di Morowali sama Konawe memang lebih banyak tambangnya, tapi Kendari dapat limpahan ekonominya." Bang Anto bercerita bagaimana dia beralih dari ojek konvensional ke ojek online karena peningkatan penumpang, terutama pekerja tambang yang pulang-pergi dari Kendari.

Di sepanjang Teluk Kendari, mas Dab melihat deretan restoran seafood yang mulai buka. "Dulu nelayan cuma jual ke pasar tradisional," lanjut Bang Anto. 

"Sekarang banyak eksekutif tambang yang makan di sini. Nelayan jadi punya pasar baru." Cerita Bang Anto menegaskan bagaimana industri ekstraktif mengubah dinamika ekonomi lokal.

Sore harinya, mas Mun mengajak ke Kawasan Mandonga, pusat kuliner Kendari. Di antara hidangan laut dan pisang epe, mereka membahas transformasi kota ini. 

"Dulu mahasiswa dari luar Sulawesi jarang yang mau kuliah di sini," kata mas Mun. "Sekarang banyak yang tertarik, terutama jurusan tambang dan lingkungan."

Tapi di balik cerita sukses, ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Di warung kopi Jalan Saranani, mas Dab bertemu Pak Hamid, aktivis lingkungan lokal. 

"Kita harus hati-hati dengan euphoria nikel ini," ujarnya. "Jangan sampai lupa bahwa Kendari punya potensi lain yang perlu dikembangkan."

Pak Hamid menunjuk ke arah Teluk Kendari yang mulai tercemar. "Lihat, dampaknya sudah mulai terasa. Nelayan tradisional makin jauh mencari ikan." 

Namun dia juga mengakui bahwa dana dari industri nikel, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi modal pembangunan berkelanjutan.

Hari berikutnya, mas Dab mengunjungi Taman Wakatobi di pusat kota. Taman yang terawat ini menjadi bukti bahwa Kendari tak hanya mengandalkan nikel. 

"Kami sedang mendorong pariwisata urban," jelas mas Mun. "Ada banyak spot Instagram-able diminati anak muda."

Di Pantai Nambo, mas Dab melihat potensi wisata yang belum tergarap maksimal. Pasir putihnya tidak kalah dengan pantai-pantai terkenal di Indonesia timur. 

"Tantangannya adalah menyeimbangkan pembangunan industri dengan preservasi alam," kata mas Mun.

Malam terakhir di Kendari, mas Dab diajak makan pisang epe di pedestrian Teluk Kendari. Lampu-lampu kota memantul di air, menciptakan pemandangan yang mempesona. Para pedagang kaki lima berbaur dengan karyawan tambang yang baru pulang kerja, menggambarkan dualisme ekonomi yang khas.

"Kendari itu seperti gadis muda yang baru menyadari potensinya," tutur mas Mun. "Tantangannya adalah bagaimana tetap rendah hati sambil terus berkembang." 

Mas Dab mengangguk, teringat cerita-cerita yang dia dengar selama tiga hari terakhir.

Dalam penerbangan pulang, mas Dab merenungkan Kendari dan dinamikanya. Kota ini adalah mikrokosmos dari dilema pembangunan Indonesia: bagaimana memanfaatkan sumber daya alam tanpa mengorbankan keberlanjutan, bagaimana membangun ekonomi modern tanpa kehilangan identitas lokal.

Kendari memang bukan Bangkok atau Singapore, tapi kota ini punya ceritanya sendiri. Cerita soal kota kecil yang bermimpi besar, masyarakat yang beradaptasi dengan perubahan, dan juga harapan akan masa depan yang lebih baik. 

Bagi mas Dab, perjalanan ini adalah pelajaran bahwa pembangunan bukan hanya soal angka-angka ekonomi, tapi juga tentang bagaimana sebuah komunitas menavigasi perubahan sambil mempertahankan ruh-nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun