Tapi di balik cerita sukses, ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Di warung kopi Jalan Saranani, mas Dab bertemu Pak Hamid, aktivis lingkungan lokal.Â
"Kita harus hati-hati dengan euphoria nikel ini," ujarnya. "Jangan sampai lupa bahwa Kendari punya potensi lain yang perlu dikembangkan."
Pak Hamid menunjuk ke arah Teluk Kendari yang mulai tercemar. "Lihat, dampaknya sudah mulai terasa. Nelayan tradisional makin jauh mencari ikan."Â
Namun dia juga mengakui bahwa dana dari industri nikel, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi modal pembangunan berkelanjutan.
Hari berikutnya, mas Dab mengunjungi Taman Wakatobi di pusat kota. Taman yang terawat ini menjadi bukti bahwa Kendari tak hanya mengandalkan nikel.Â
"Kami sedang mendorong pariwisata urban," jelas mas Mun. "Ada banyak spot Instagram-able diminati anak muda."
Di Pantai Nambo, mas Dab melihat potensi wisata yang belum tergarap maksimal. Pasir putihnya tidak kalah dengan pantai-pantai terkenal di Indonesia timur.Â
"Tantangannya adalah menyeimbangkan pembangunan industri dengan preservasi alam," kata mas Mun.
Malam terakhir di Kendari, mas Dab diajak makan pisang epe di pedestrian Teluk Kendari. Lampu-lampu kota memantul di air, menciptakan pemandangan yang mempesona. Para pedagang kaki lima berbaur dengan karyawan tambang yang baru pulang kerja, menggambarkan dualisme ekonomi yang khas.
"Kendari itu seperti gadis muda yang baru menyadari potensinya," tutur mas Mun. "Tantangannya adalah bagaimana tetap rendah hati sambil terus berkembang."Â
Mas Dab mengangguk, teringat cerita-cerita yang dia dengar selama tiga hari terakhir.