Matahari Auckland masih malu-malu di pertengahan September 2005 ini. Mas Dab baru saja selesai presentasi paper tentang konflik etnis di Indonesia di gedung Faculty of Arts, University of Auckland.Â
Perutnya sudah demo minta diisi sejak tadi. Ini gegara kebiasaan stres, jadi tidak makan sebelum presentasi.Â
"Eh, mas Dab! Mau ikut makan siang nggak?" Suara Yuko, mahasiswa S3 dari Osaka, memecah lamunannya. Di sebelah Yuko ada Min-sun, mahasiswa Korea yang tadi memberikan komentar tajam tentang paper-nya.
"Ayo, makan di mana?" jawab mas Dab sambil membereskan laptop. "Di Food Gallery, Queen Street.Â
Ada food court yang isinya makanan Asia semua. Murah lho, cuma 8-10 dollar," Yuki menjelaskan dengan logat Jepang yang kental.
Mereka bertiga berjalan kaki menyusuri Symonds Street menuju Queen Street. Auckland di musim semi memang indah. Pohon-pohon mulai bertunas dan cuaca tidak sedingin bulan-bulan sebelumnya.
"Mas Dab tahu nggak, di sini komunitas Asia lumayan besar lho," Min-sun membuka percakapan. "Beda sama di Melbourne ya?"
Mas Dab mengangguk. Memang selama satu tahun kuliah di Melbourne, dia jarang menemukan komunitas Asia sekompak di Auckland.Â
Di sini, mahasiswa dan imigran dari Jepang, Korea, dan China seperti membentuk kelompok sendiri. Beberapa kampus merespon dengan membuat jurusan Asian Studies, termasuk bahasanya.
Food Gallery ternyata sebuah food court besar di lantai dua. Aroma berbagai masakan Asia langsung menyergap begitu mereka masuk.Â
Ada stand sushi, kedai Korea, warung Chinese food, dan... mas Dab tidak percaya dengan penglihatannya. "itu... warung nasi goreng Indonesia?" tanyanya heran.
"Iya! Enak lho! Ibu yang masak orang Manado," jelas Min-sun yang ternyata pelanggan setia warung tersebut.
Mereka memutuskan untuk memesan makanan masing-masing. Yuki dengan sushi set-nya, Min-jun dengan bibimbap, dan mas Dab tentu saja langsung menuju warung Indonesia.
"Nasi goreng satu, bu. Pedes ya," pesan mas Dab dalam bahasa Indonesia yang langsung disambut senyum lebar si ibu.
"Waduh, kangen masakan Indonesia ya, mas? Jarang ada mahasiswa Indonesia dari luar Selandia Baru yang presentasi di sini," kata ibu itu ramah.
Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah Sky Tower. "Oh iya, hari ini ada festival budaya Maori!" seru Yuko.
Dari jendela food court, mereka bisa melihat sekelompok pria Maori melakukan tarian haka. Gerakan mereka yang energetik dan penuh semangat membuat beberapa pengunjung food court beranjak ke jendela.
"Keren ya cara mereka melestarikan budaya," komentar mas Dab. "Di Melbourne, jarang ada pertunjukan budaya Aborigin di tempat umum seperti ini."
"Namanya juga Aotearoa," Min-sun tersenyum. "Di sini, budaya Maori dianggap sebagai bagian integral kehidupan sehari-hari."
Pesanan mereka pun datang. Sambil menikmati makanan masing-masing, diskusi tentang multikulturalisme di berbagai negara mengalir.Â
Dari nasi goreng ke sushi, dari kimchi ke haka, semua berbaur menjadi satu. "Omong-omong, besok kalian ada acara?" tanya Yuko. "Komunitas mahasiswa Asia mau mengadakan festival budaya kecil-kecilan di Albert Park."
"Wah, boleh tuh! Sekalian refreshing sebelum balik ke Melbourne," jawab mas Dab antusias. Sore itu, sambil menikmati secangkir flat white di kedai kopi dekat Sky Tower, mas Dab termenung. Auckland memang berbeda.Â
Di sini, berbagai budaya tidak sekadar hidup berdampingan, tapi benar-benar berbaur. Mungkin ini yang membuat presentasinya tadi pagi tentang konflik etnis terasa lebih bermakna.Â
Di tengah dunia yang sering terpecah oleh perbedaan, Auckland seperti memberi contoh bagaimana keberagaman bisa menjadi kekuatan. Besok dia akan menghabiskan hari terakhirnya di Auckland dengan festival budaya Asia.Â
Tapi hari ini, nasi goreng Indonesia, sushi Jepang, dan kimchi Korea yang dinikmati sambil menonton tarian haka sudah cukup memberinya pelajaran tentang indahnya perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H