Ada stand sushi, kedai Korea, warung Chinese food, dan... mas Dab tidak percaya dengan penglihatannya. "itu... warung nasi goreng Indonesia?" tanyanya heran.
"Iya! Enak lho! Ibu yang masak orang Manado," jelas Min-sun yang ternyata pelanggan setia warung tersebut.
Mereka memutuskan untuk memesan makanan masing-masing. Yuki dengan sushi set-nya, Min-jun dengan bibimbap, dan mas Dab tentu saja langsung menuju warung Indonesia.
"Nasi goreng satu, bu. Pedes ya," pesan mas Dab dalam bahasa Indonesia yang langsung disambut senyum lebar si ibu.
"Waduh, kangen masakan Indonesia ya, mas? Jarang ada mahasiswa Indonesia dari luar Selandia Baru yang presentasi di sini," kata ibu itu ramah.
Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah Sky Tower. "Oh iya, hari ini ada festival budaya Maori!" seru Yuko.
Dari jendela food court, mereka bisa melihat sekelompok pria Maori melakukan tarian haka. Gerakan mereka yang energetik dan penuh semangat membuat beberapa pengunjung food court beranjak ke jendela.
"Keren ya cara mereka melestarikan budaya," komentar mas Dab. "Di Melbourne, jarang ada pertunjukan budaya Aborigin di tempat umum seperti ini."
"Namanya juga Aotearoa," Min-sun tersenyum. "Di sini, budaya Maori dianggap sebagai bagian integral kehidupan sehari-hari."
Pesanan mereka pun datang. Sambil menikmati makanan masing-masing, diskusi tentang multikulturalisme di berbagai negara mengalir.Â
Dari nasi goreng ke sushi, dari kimchi ke haka, semua berbaur menjadi satu. "Omong-omong, besok kalian ada acara?" tanya Yuko. "Komunitas mahasiswa Asia mau mengadakan festival budaya kecil-kecilan di Albert Park."