Sementara itu, Filipina mengambil pendekatan yang lebih pragmatis dan fleksibel. Manila berupaya menyeimbangkan hubungannya dengan China dan Amerika Serikat, sambil tetap mempertahankan klaimnya di Laut China Selatan.Â
Filipina juga aktif memperkuat kerja sama pertahanan dengan sekutu tradisionalnya seperti AS dan Jepang. Di samping itu, Filipina juga tetap membuka ruang dialog dengan Beijing dalam isu-isu ekonomi dan pembangunan.
Pengalaman kedua negara ini memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara Indo-Pasifik lainnya dalam mengembangkan diplomasi strategis mereka. Pertama, arti penting membangun kapabilitas pertahanan mandiri sambil memperkuat aliansi dan kemitraan strategis.Â
Kedua, kedua negara mengembangkan pendekatan yang seimbang antara aspek keamanan dan ekonomi dalam hubungan dengan China. Ketiga, menempatkan diplomasi multilateral sebagai upaya menghadapi tantangan kawasan ini.
Dari pengalaman kedua negara itu, kita bisa melihat diplomasi strategis Indonesia. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peran krusial dalam dinamika ini.Â
Selama ini, Jakarta telah mengambil posisi yang unik dengan mempertahankan prinsip politik luar negeri bebas-aktif, sambil berupaya menjadi kekuatan penyeimbang di kawasan.
Melalui konsep ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP), Indonesia berusaha mempromosikan pendekatan inklusif yang melibatkan semua pemangku kepentingan kawasan, termasuk China.
Namun, tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Asertivitas China di Laut China Selatan, termasuk di perairan Natuna Utara, tampaknya selalu tidak berkaitan dengan kemajuan negosiasi di meja perundingan.Â
Berbagai perundingan di pertemuan ASEAN cenderung diabaikan dengan peningkatan operasi militer China di Laut China Selatan (LCS) dan pembangunan pulau atau karang di LCS.
Kenyataan itu menuntut Indonesia untuk mengembangkan respon alternatif. Jakarta perlu mengombinasikan penguatan kapabilitas pertahanan maritim, diplomasi aktif di forum multilateral, dan engagement ekonomi yang strategis dengan Beijing.