Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Presentasi di Budapest Pakai Bahasa Inggris Medhok

20 Desember 2024   11:36 Diperbarui: 20 Desember 2024   11:36 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istana Budapest dan Jembatan Rantai Szechenyi, https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSMzuN7FnKZxf26xfftymvSFHMsuW7OoPGXSA&usqp=CAU

"Wah, besok presentasi...?" Mas Dab bergumam lirih sembari menggaruk kepala memelototi jadwal short course di Central European University (CEU). Sebuah kampus baru yang berdiri setelah ambriknya Uni Soviet dan Hungaria melepaskan diri.

CEU seolah menjadi lambang 'kemerdekaan' berpikir dan berekspresi rakyat Hubgaria dari cengkeraman Uni Soviet. Kampus itu makin mentereng karena didirikan oleh pengusaha global George Soros melalui Open Society Institute.  

Lima hari sudah dia berada di Budapest, dan kini giliran dia untuk bicara di depan peserta dari berbagai negara soal nasionalisme di Indonesia.

Mas Gondhes, sesama peserta dari Indonesia, cuma nyengir dari seberang meja kantin. "Wis, santai wae, Mas."

"Yo, ndak bisa, Mas. Ini forum internasional dan banyak native speaker. Lha aku? Medhok banget Inggrisku!" Mas Dab tertawa kecut. 

Dari 20 peserta, mayoritas berasal dari Eropa dan Amerika, dengan Bahasa Inggris lancar dan elegan. Sementara itu, aksen Jawa Mas Dab selalu ikut nimbrung di setiap kata yang dia ucapkan.

Sore itu, kereta membawa mereka kembali ke penginapan di pinggiran Budapest. Di dalam gerbong, Mas Dab sibuk membaca ulang catatan rencana presentasinya. "The concept of nationalism in Indonesia... cannot be separated from... historical context..." gumamnya, mencoba berbicara selancar mungkin.

Mas Gondhes menyikutnya. "Mas, yang penting ki isine. Kemarin, si Emily yang dari Oxford malah ngomong presentasimu authentic!"

"Authentic bagaimana-e? Wong ngomong 'thank you' malah jadi 'tengkyu' kok!" Mereka berdua tertawa. Di luar jendela kereta, Jembatan Rantai Budapest berdiri megah, menghubungkan dua sisi kota yang penuh sejarah.

Malam itu di penginapan, Mas Dab akhirnya memutuskan untuk berhenti memaksakan aksen. "Ya, yang penting substansinya nyampai," gumamnya sambil memandangi catatan terakhir.

Bahasa Rusia di Antara Kita

Esok paginya, sesi presentasi dimulai. Sebelum giliran Mas Dab, peserta dari Eropa Timur dan Asia Tengah bergantian berbicara. Mereka berasal dari negara-negara yang dulunya bagian dari Uni Soviet. 

Meski masing-masing negara kini memiliki identitas nasional yang kuat, menariknya, mereka masih menggunakan Bahasa Rusia untuk berkomunikasi di antara mereka.

Mas Dab mengamati dengan rasa penasaran. Tidak hanya berbicara, konon, dokumen resmi dan buku-buku referensi mereka juga masih banyak yang berbahasa Rusia. 

Salah satu peserta, Mikhail dari Kazakhstan, sempat bercerita bahwa di kampusnya, setengah koleksi perpustakaan masih ditulis dalam Bahasa Rusia.

"Bahasa ini tetap jadi jembatan kami, walaupun identitas kami sudah berbeda," kata Mikhail.

Mas Dab jadi teringat bagaimana Bahasa Indonesia juga menjadi perekat di antara ribuan pulau dengan ratusan bahasa daerah. Sebuah konsep yang serupa tetapi lahir dari konteks yang sangat berbeda.

Ketika tiba giliran Mas Dab, Professor Kovacs, moderator sesi, memperkenalkannya dengan hangat. "And now, we welcome Dab from Indonesia with his presentation about nationalism in archipelagic context."

Mas Dab menarik napas panjang sebelum melangkah ke depan. "Good morning, everyone," katanya dengan logat Jawa yang khas. "Today, I will talk about how Indonesia, with more than seventeen thousand islands, managed to build a sense of unity through nationalism."

Presentasi itu mengalir dengan lancar. Mas Dab menjelaskan konsep gotong royong sebagai salah satu inti dari kebersamaan di Indonesia. Meskipun logat Jawanya masih kentara, dia tidak lagi merasa minder.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, Emily dari Oxford memberikan komentar. "I love your pronunciation of 'mutual cooperation.' It feels more... authentic, like the concept itself."

Professor Anderson, pembicara tamu yang terkenal dengan buku-bukunya tentang nasionalisme, menambahkan. "Indeed, the way you present it with your local accent highlights the diversity in how nationalism is understood across the world."

Mas Dab tersenyum lega. Ketakutannya selama ini ternyata tidak beralasan. Logatnya justru membuat presentasinya terasa lebih nyata dan membumi.

Pelajaran dari Budapest

Sore itu itu tidak terasa dingin di tengah perjalanan menyeberangi Szechenyi Chain Bridge (Jembatan Rantai  Szechenyi) yang menghubungkan kota Buda dan Pest. Akhir musim dingin di awal Maret 2008 memang beda. Jam 18.00, lampu-lampu jembatan benar-benar menunjukkan identitas ikoniknya di antara jembatan-jembatan lainnya.

Mas Dab dan Mas Gondhes berjalan pulang melewati Jembatan Rantai lagi ke kampus CEU. Mereka berfoto sejenak di sekitar Katedral Budapest yang populer dikenal sebagai Basilika Santo Stefanus.

Langkah mereka lebih ringan setelah keberhasilan presentasi tadi. Matahari sore memantulkan kilau emas di atas Sungai Danube, menciptakan pemandangan yang indah.

"Piye, Mas? Sudah kubilqng, medhok itu ndak masalah, malah otentik" kata Mas Gondhes sambil nyengir.

Mas Dab tertawa. "Iyae. Yang penting isinya, bukan logatnya ."

Setelah lima hari penuh diskusi, Mas Dab membawa pulang lebih dari sekadar catatan akademis. Dia belajar bahwa bahasa, logat, dan aksen bukanlah penghalang, melainkan jendela untuk saling memahami. 

Bahkan di antara peserta dari negara-negara bekas Uni Soviet, Bahasa Rusia yang dulunya simbol kekuasaan kini menjadi alat untuk menjembatani perbedaan.

Di Budapest, Mas Dab menemukan kenyataan bahwa perbedaan tidak hanya harus diterima, tetapi juga dirayakan. Aksen, bahasa, dan budaya adalah bagian dari cerita yang lebih besar tentang bagaimana manusia saling terhubung.

Di bawah sinar lampu jalan yang mulai menyala, Mas Gondhes tiba-tiba berkata, "Eh, Mas, Profesor Anderson ngajak kita makan bareng, lho."

"Wah, apik kuwi!" jawab Mas Dab dengan semangat. "Nanti aku praktekkan medhokku pas ngobrol. Biar dia makin paham konteks nasionalisme ala Indonesia!"

Sore itu di Budapest, Mas Dab bukan hanya seorang peserta short course. Dia adalah seorang pembelajar, seorang pendongeng, dan seorang pembawa cerita tentang bagaimana aksen Jawa bisa menjadi bagian dari bahasa Inggris di sebuah dialog global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun