Professor Anderson, pembicara tamu yang terkenal dengan buku-bukunya tentang nasionalisme, menambahkan. "Indeed, the way you present it with your local accent highlights the diversity in how nationalism is understood across the world."
Mas Dab tersenyum lega. Ketakutannya selama ini ternyata tidak beralasan. Logatnya justru membuat presentasinya terasa lebih nyata dan membumi.
Pelajaran dari Budapest
Sore itu itu tidak terasa dingin di tengah perjalanan menyeberangi Szechenyi Chain Bridge (Jembatan Rantai  Szechenyi) yang menghubungkan kota Buda dan Pest. Akhir musim dingin di awal Maret 2008 memang beda. Jam 18.00, lampu-lampu jembatan benar-benar menunjukkan identitas ikoniknya di antara jembatan-jembatan lainnya.
Mas Dab dan Mas Gondhes berjalan pulang melewati Jembatan Rantai lagi ke kampus CEU. Mereka berfoto sejenak di sekitar Katedral Budapest yang populer dikenal sebagai Basilika Santo Stefanus.
Langkah mereka lebih ringan setelah keberhasilan presentasi tadi. Matahari sore memantulkan kilau emas di atas Sungai Danube, menciptakan pemandangan yang indah.
"Piye, Mas? Sudah kubilqng, medhok itu ndak masalah, malah otentik" kata Mas Gondhes sambil nyengir.
Mas Dab tertawa. "Iyae. Yang penting isinya, bukan logatnya ."
Setelah lima hari penuh diskusi, Mas Dab membawa pulang lebih dari sekadar catatan akademis. Dia belajar bahwa bahasa, logat, dan aksen bukanlah penghalang, melainkan jendela untuk saling memahami.Â
Bahkan di antara peserta dari negara-negara bekas Uni Soviet, Bahasa Rusia yang dulunya simbol kekuasaan kini menjadi alat untuk menjembatani perbedaan.
Di Budapest, Mas Dab menemukan kenyataan bahwa perbedaan tidak hanya harus diterima, tetapi juga dirayakan. Aksen, bahasa, dan budaya adalah bagian dari cerita yang lebih besar tentang bagaimana manusia saling terhubung.