Bahasa Rusia di Antara Kita
Esok paginya, sesi presentasi dimulai. Sebelum giliran Mas Dab, peserta dari Eropa Timur dan Asia Tengah bergantian berbicara. Mereka berasal dari negara-negara yang dulunya bagian dari Uni Soviet.Â
Meski masing-masing negara kini memiliki identitas nasional yang kuat, menariknya, mereka masih menggunakan Bahasa Rusia untuk berkomunikasi di antara mereka.
Mas Dab mengamati dengan rasa penasaran. Tidak hanya berbicara, konon, dokumen resmi dan buku-buku referensi mereka juga masih banyak yang berbahasa Rusia.Â
Salah satu peserta, Mikhail dari Kazakhstan, sempat bercerita bahwa di kampusnya, setengah koleksi perpustakaan masih ditulis dalam Bahasa Rusia.
"Bahasa ini tetap jadi jembatan kami, walaupun identitas kami sudah berbeda," kata Mikhail.
Mas Dab jadi teringat bagaimana Bahasa Indonesia juga menjadi perekat di antara ribuan pulau dengan ratusan bahasa daerah. Sebuah konsep yang serupa tetapi lahir dari konteks yang sangat berbeda.
Ketika tiba giliran Mas Dab, Professor Kovacs, moderator sesi, memperkenalkannya dengan hangat. "And now, we welcome Dab from Indonesia with his presentation about nationalism in archipelagic context."
Mas Dab menarik napas panjang sebelum melangkah ke depan. "Good morning, everyone," katanya dengan logat Jawa yang khas. "Today, I will talk about how Indonesia, with more than seventeen thousand islands, managed to build a sense of unity through nationalism."
Presentasi itu mengalir dengan lancar. Mas Dab menjelaskan konsep gotong royong sebagai salah satu inti dari kebersamaan di Indonesia. Meskipun logat Jawanya masih kentara, dia tidak lagi merasa minder.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, Emily dari Oxford memberikan komentar. "I love your pronunciation of 'mutual cooperation.' It feels more... authentic, like the concept itself."