Survei Mafindo juga menemukan bahwa hanya 29,2% masyarakat memiliki tingkat partisipasi politik offline yang tinggi. Dalam Pilkada 2024, misalnya, banyak daerah melaporkan rendahnya kehadiran pemilih di acara-acara kampanye atau diskusi publik.Â
Contoh yang lebih nyata aadalah rendahnya partisipasi mahasiswa pada Pilkada serentak 2024. Tidak lebih dari 10 mahasiswa dari total 35 orang di kelas saya yang datang ke TPS.Â
Alasan pertama adalah mereka tinggal di luar kota. Panitia pemilihan di tempat asal mereka tidak memberitahukan bagaimana mereka sebaiknya berpartisipasi pada Pilkada 2024.
Alasan lainnya adalah tidak ada menkanisme bagi mereka untuk bisa mencoblos calon kepala daerah pilihan mereka di tempat mereka kuliah.
Anda bisa membayangkan berapa pemilih yang tidak memberikan hak pilih mereka. Jika tiap kelas ada 35 mahasiswa, saya mengajar 5 kelas berisi mahasiswa yang berbeda, maha setidaknya 150 mahasiswa tidak datang ke TPS.
Memang jumlahnya hanya 150 mahasiswa, tapi bisa dikalikan atau ditambah dengan kelas-kelas lain di berbagai kampus di seluruh Indonesia.Â
Rendahnya partisipasi offline ini dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk apatisme politik, kurangnya akses informasi yang kredibel, atau bahkan kelelahan akibat paparan informasi politik yang berlebihan di media sosial. Di sinilah peran literasi hoaks dalam pemilu menjadi amat penting.
Literasi Hoaks
Literasi hoaks melibatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali, menganalisis, dan memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau membagikannya. Dalam konteks Pilpres dan Pilkada 2024, literasi hoaks tidak hanya membantu masyarakat menghindari jebakan disinformasi tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil tindakan politik yang lebih bermakna.
Untuk menjembatani kesenjangan antara partisipasi online dan offline, langkah strategis diperlukan. Pertama, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media harus meningkatkan edukasi literasi digital, khususnya di kalangan pemilih muda. Program seperti Tular Nalar dapat diperluas untuk menjangkau lebih banyak komunitas, dengan fokus pada simulasi pemilu yang mencakup verifikasi informasi.
Kedua, penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus lebih aktif memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan informasi resmi. Kampanye berbasis media sosial yang interaktif, seperti live streaming diskusi atau konten edukatif tentang hoaks, dapat menjadi sarana untuk menarik perhatian generasi digital sekaligus mengarahkan mereka ke partisipasi offline.