Hoaks dan disinformasi telah menjadi fenomena yang tak terpisahkan dari proses demokrasi modern, terutama di era digital. Dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Indonesia, ancaman hoaks tidak hanya memengaruhi persepsi publik tetapi juga partisipasi politik masyarakat.Â
Tingkat literasi hoaks masyarakat menjadi faktor krusial yang dapat menentukan seberapa efektif demokrasi berfungsi. Namun, ada tantangan besar: meskipun partisipasi politik di ranah online meningkat, keterlibatan masyarakat di ranah offline cenderung stagnan atau bahkan menurun.Â
Penjelasan awal itu memicu pertanyaan, seperti: bagaimana literasi hoaks dapat menjembatani kesenjangan itu dan mendorong partisipasi politik yang lebih bermakna?
Dominasi Partisipasi Politik Online
Era digital memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskursus politik. Survei terbaru Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), misalnya, menggambarkan bahwa 62,7% masyarakat aktif dalam partisipasi politik online, seperti berbagi berita, memberikan komentar, atau menyatakan dukungan di media sosial.Â
Aktivitas ini, meskipun mudah dan efisien, seringkali bersifat dangkal dan tidak selalu mencerminkan partisipasi politik yang substantif.
Pada konteks Pilpres 2024, banyak pengguna media sosial terjebak dalam perang informasi yang tidak selalu faktual. Narasi partisan, berita palsu, dan manipulasi data kerap mendominasi percakapan publik.Â
Meskipun masyarakat mungkin aktif di dunia maya, tindakan ini belum tentu berkontribusi langsung pada pengambilan keputusan politik yang bijaksana, seperti menggunakan hak pilih secara sadar atau berpartisipasi dalam diskusi politik yang konstruktif di komunitas nyata.
Rendahnya Partisipasi Politik Offline
Sebaliknya, partisipasi politik offline, seperti menghadiri kampanye, menjadi relawan, atau bahkan sekadar mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS), menunjukkan tren yang lebih rendah.Â
Survei Mafindo juga menemukan bahwa hanya 29,2% masyarakat memiliki tingkat partisipasi politik offline yang tinggi. Dalam Pilkada 2024, misalnya, banyak daerah melaporkan rendahnya kehadiran pemilih di acara-acara kampanye atau diskusi publik.Â
Contoh yang lebih nyata aadalah rendahnya partisipasi mahasiswa pada Pilkada serentak 2024. Tidak lebih dari 10 mahasiswa dari total 35 orang di kelas saya yang datang ke TPS.Â
Alasan pertama adalah mereka tinggal di luar kota. Panitia pemilihan di tempat asal mereka tidak memberitahukan bagaimana mereka sebaiknya berpartisipasi pada Pilkada 2024.
Alasan lainnya adalah tidak ada menkanisme bagi mereka untuk bisa mencoblos calon kepala daerah pilihan mereka di tempat mereka kuliah.
Anda bisa membayangkan berapa pemilih yang tidak memberikan hak pilih mereka. Jika tiap kelas ada 35 mahasiswa, saya mengajar 5 kelas berisi mahasiswa yang berbeda, maha setidaknya 150 mahasiswa tidak datang ke TPS.
Memang jumlahnya hanya 150 mahasiswa, tapi bisa dikalikan atau ditambah dengan kelas-kelas lain di berbagai kampus di seluruh Indonesia.Â
Rendahnya partisipasi offline ini dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk apatisme politik, kurangnya akses informasi yang kredibel, atau bahkan kelelahan akibat paparan informasi politik yang berlebihan di media sosial. Di sinilah peran literasi hoaks dalam pemilu menjadi amat penting.
Literasi Hoaks
Literasi hoaks melibatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali, menganalisis, dan memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau membagikannya. Dalam konteks Pilpres dan Pilkada 2024, literasi hoaks tidak hanya membantu masyarakat menghindari jebakan disinformasi tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil tindakan politik yang lebih bermakna.
Untuk menjembatani kesenjangan antara partisipasi online dan offline, langkah strategis diperlukan. Pertama, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media harus meningkatkan edukasi literasi digital, khususnya di kalangan pemilih muda. Program seperti Tular Nalar dapat diperluas untuk menjangkau lebih banyak komunitas, dengan fokus pada simulasi pemilu yang mencakup verifikasi informasi.
Kedua, penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus lebih aktif memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan informasi resmi. Kampanye berbasis media sosial yang interaktif, seperti live streaming diskusi atau konten edukatif tentang hoaks, dapat menjadi sarana untuk menarik perhatian generasi digital sekaligus mengarahkan mereka ke partisipasi offline.
Ketiga, partai politik dan kandidat harus mengurangi ketergantungan pada kampanye negatif dan meningkatkan transparansi dalam komunikasi mereka. Pendekatan ini dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses politik, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk berpartisipasi lebih aktif.
Pilpres dan Pilkada serentak 2024 adalah momen penting bagi demokrasi Indonesia. Namun, demokrasi tidak akan berhasil tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Literasi hoaks adalah kunci untuk menghubungkan partisipasi online yang melimpah dengan keterlibatan offline yang lebih substansial.
Melalui literasi yang lebih baik, masyarakat dapat terhindar dari jebakan hoaks dan disinformasi, membuat keputusan politik yang lebih baik, dan mengambil peran aktif dalam proses demokrasi, baik di dunia maya maupun di TPS. Literasi hoaks bukan hanya alat untuk melawan informasi palsu, namun merupakan pondasi untuk membangun demokrasi yang sehat dan inklusif.
***
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H