Naiknya Donald Trump ke kursi kepemimpinann di Gedung Putih menjadi babak baru dalam politik ekonomi global. Retorika populis “America First” bakal mendasari berbagai kebijakan Trump untuk memulai kembali agenda proteksionis.
Perang dagang jilid dua tidak hanya menargetkan Tiongkok, tetapi juga negara-negara mitra dagang seperti Meksiko, Kanada, dan Jerman (CNBC Indonesia, 2024). Kebijakan ini pada dasarnya dibentuk untuk melindungi industri domestik AS, tetapi konsekuensinya melampaui batas-batas nasional.
Bagi Trump, perdagangan internasional merupakan medan persaingan, bukan kolaborasi. Kebijakan tarifnya yang agresif bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan negara-negara mitra.
Meski begitu, strategi ini justru diyakini menimbulkan disrupsi besar dalam rantai pasok global. Sebagai contoh, perang dagang dengan China atau Tiongkok pada 2018–2020 telah memukul sektor teknologi, manufaktur, dan pertanian, baik di AS maupun di negara lain.
Proteksionisme Trump mencerminkan pandangannya bahwa globalisasi telah merugikan pekerja dan industri Amerika. Dalam pidatonya, Trump sering menyalahkan perjanjian perdagangan, seperti NAFTA (yang kemudian direvisi menjadi USMCA).
Trump meyakini perjanjian-perjanjian itu sebagai penyebab hilangnya lapangan kerja di sektor manufaktur AS.
Sebaliknya, pandangan ini malah dianggap mengabaikan kompleksitas globalisasi. Zakaria (2020) mencatat bahwa hilangnya pekerjaan manufaktur lebih banyak disebabkan oleh otomatisasi daripada perdagangan internasional.
Dengan demikian, kebijakan Trump yang berfokus pada tarif dan renegosiasi perjanjian perdagangan tidak dapat sepenuhnya memulihkan lapangan kerja yang hilang.
Di sisi lain, perang dagang juga memengaruhi dinamika geopolitik. Dengan menargetkan China sebagai rival utama, Trump berusaha menahan kebangkitan ekonomi dan teknologinya.
Graham Allison (2020) menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari Thucydides’ Trap, di mana kekuatan dominan (AS) merasa terancam oleh kekuatan yang sedang bangkit, yaitu Tiongkok. Perang dagang ini bukan hanya tentang defisit perdagangan, tetapi juga tentang supremasi teknologi.