Setelah era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) berakhir pada 20 Oktober 2024, Indonesia akan menghadapi tantangan baru dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya. Tantangan itu terutama terkait hubungan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global, seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan China.Â
Sebagai salah satu negara "in-between" atau negara berkembang yang tidak secara otomatis berafiliasi dengan blok ekonomi tertentu, Indonesia memiliki posisi yang unik namun juga dilematis di tengah fragmentasi ekonomi global. Posisi ini cenderung berbeda dengan pemerintahan Sukarno yang cenderung ke Uni Soviet dan/atau China. Berbeda pula dengan pemerintahan Suharto yang mendekat ke AS.
Presiden terpilih Prabowo Subianto telah lama menegaskan posisi Indonesia di antara dua kekuatan besar itu. Bagi Prabowo, Indonesia harus menjadi jembatan bagi AS dan China (the Jakarta Post, 17/8/2021).
Selama beberapa dekade terakhir, negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mendapatkan keuntungan dari diversifikasi hubungan perdagangan mereka. Data menunjukkan bahwa porsi perdagangan dengan China meningkat hampir tiga kali lipat, sementara porsi perdagangan dengan negara-negara maju menurun.Â
Namun yang menarik, volume perdagangan secara keseluruhan tetap tumbuh kuat, termasuk dengan negara-negara maju. Artinya, Indonesia dan negara berkembang lainnya sebenarnya masih berdagang lebih banyak dengan semua pihak dibandingkan era sebelumnya.
Namun, tren geopolitik global mengarah pada pembentukan blok-blok ekonomi yang lebih terintegrasi secara internal dan cenderung lebih tertutup terhadap pihak luar. Jika kecenderungan ini berlanjut, Indonesia mau tidak mau harus mulai mempertimbangkan untuk memilih afiliasi yang lebih kuat dengan salah satu blok, entah itu blok Barat (AS-Eropa) atau blok China.
Beberapa faktor ini akan mempengaruhi pilihan Indonesia, seperti:
1. Geografi. Secara geografis, Indonesia lebih dekat dengan China. Namun kedekatan dengan Australia juga memberi akses ke blok Barat.
2. Sumber daya alam. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh semua pihak, memberinya daya tawar dalam hubungan ekonomi.
3. Kondisi ekonomi masing-masing blok. Prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan menjadi pertimbangan penting.Â
4. Akses pasar yang ditawarkan. Seberapa besar peluang ekspor yang dibuka oleh masing-masing blok.
5. Insentif ekonomi dan non-ekonomi. Tawaran investasi, bantuan pembangunan, hingga jaminan keamanan.
Melihat tren pada saat ini, blok Barat masih memiliki daya tarik yang kuat bagi Indonesia. Porsi perdagangan dengan AS dan Eropa masih signifikan.Â
Meskipun pertumbuhan ekonomi China lebih tinggi selama beberapa dekade terakhir, namun tren perlambatan ekonomi China belakangan ini menjadi pertimbangan tersendiri.Â
Di sisi lain, blok Barat terutama Uni Eropa berpotensi menawarkan akses pasar yang lebih besar dibanding AS atau China yang cenderung semakin proteksionis. Inisiatif seperti EU Global Gateway, juga menunjukkan keinginan Eropa untuk lebih terbuka pada kerja sama dengan negara berkembang.
Namun demikian, pilihan ideal bagi kebijakan luar negeri Indonesia tetaplah untuk tidak harus memilih secara eksklusif salah satu blok. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap menjaga hubungan ekonomi yang seimbang dengan berbagai pihak.Â
Pilihan untuk berafiliasi terlalu erat dengan salah satu blok berpotensi membatasi ruang gerak ekonomi dan diplomatik Indonesia di masa depan. Karena itu, pemerintahan pasca-Jokowi perlu mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai "negara tengah" yang bisa bermitra dengan semua pihak.Â
Dengan posisi itu, Indonesia dapat mengambil peran strategis, misalnya: mendorong penguatan institusi multilateral seperti WTO untuk menjaga sistem perdagangan global yang terbuka; berperan aktif dalam inisiatif regional seperti RCEP untuk menyeimbangkan pengaruh blok-blok ekonomi besar; meningkatkan daya saing ekonomi domestik agar tidak terlalu bergantung pada satu mitra dagang.Â
Selain itu, Indonesia berpeluang memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global di sektor-sektor strategis; memanfaatkan potensi sumber daya alam secara optimal untuk meningkatkan daya tawar; memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dengan sesama negara berkembang sebagai penyeimbang; dan, membangun kapasitas diplomasi ekonomi untuk bernegosiasi dengan berbagai pihak.
Tantangan
Tentu saja, upaya mempertahankan posisi "negara tengah" ini akan menghadapi tantangan besar. Tekanan dari kekuatan-kekuatan besar untuk memilih sisi kemungkinan akan semakin kuat.Â
Misalnya melalui penegakan ekstrateritorial sanksi ekonomi atau pembatasan rantai pasok.
Namun dengan pendekatan yang tepat, Indonesia masih memiliki peluang untuk memaksimalkan manfaat dari hubungan dengan berbagai pihak sembari meminimalkan risiko ketergantungan berlebihan pada satu blok.Â
Kunci utamanya adalah meningkatkan kekuatan ekonomi domestik dan pengaruh diplomatik regional.
Pada akhirnya, pilihan Indonesia pasca Jokowi akan sangat bergantung pada dinamika geopolitik global dan kebijakan masing-masing blok ekonomi besar. Jika fragmentasi ekonomi global semakin tajam, Indonesia mungkin terpaksa memilih afiliasi yang lebih erat dengan salah satu blok.Â
Selama masih ada ruang untuk berdiplomasi, Indonesia harus terus berupaya mempertahankan posisinya sebagai "negara tengah" yang bisa bermitra dengan semua pihak demi kepentingan nasionalnya sendiri.
Sumber:
https://www.ft.com/content/87c2edd1-0608-4785-893c-215e5a3bcaba
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H