Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengatasi Kebuntuan ASEAN dalam Penyelesaian Krisis Myanmar

13 Agustus 2024   08:25 Diperbarui: 13 Agustus 2024   08:50 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih dalam momentum perayaan ke-57 tahun ASEAN, organisasi regional di Asia Tenggara ini tampaknya belum mampu mengatasi kebuntuan dalam penyelesaian krisis Myanmar. Sejak kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021, ASEAN sebenarnya telah merespon secara terukur dan bijak. 

Terukur dalam pengertian bahwa ASEAN telah membentuk skema regional seperti 5 Poin Konsensus. Lalu, bijak dalam artian respon ASEAN itu juga bentuk negosiasi antara perbedaan internal di antara negara-negara anggotanya dengan kecenderungan demokratisasi global. 

Salah satu kecenderungan itu adalah keberadaan sebuah pemerintahan yang dibentuk secara demokratis melalui sebuah pemilihan umum. Krisis Myanmar sebagai akibat dari kudeta militer tentunya berlawanan dengan kecenderungan global itu.

Keberlanjutan krisis Myanmar hingga 2024 tentu saja merupakan sebuah keprihatinan bersama. Kebuntuan yang dialami ASEAN dalam menangani situasi di Myanmar mencerminkan permasalahan yang lebih mendasar terkait kohesivitas regional di antara negara-negara anggotanya. 

Esai ini akan menganalisis bagaimana rendahnya kohesivitas regional di ASEAN telah berkontribusi pada ketidakmampuan organisasi ini dalam mendorong penyelesaian krisis Myanmar.

Krisis Myanmar

Kudeta militer di Myanmar pada 2021 telah mengakibatkan krisis berkepanjangan. Beberapa indikator krisis itu meliputi kekerasan pemerintaham junta militer,  pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakstabilan politik (International Crisis Group, 2023). 

ASEAN, sebagai organisasi regional utama di Asia Tenggara, telah berupaya untuk memediasi konflik ini melalui berbagai inisiatif, termasuk Konsensus Lima Poin yang disepakati pada April 2021.

Namun, hingga tahun 2024, kemajuan dalam implementasi konsensus tersebut sangat terbatas, dan situasi di Myanmar tetap rentan terhadap kekerasan, baik fisik maupun struktural. Pemerintahan militer melakukan banyak kekerasan fisik, seperti penangkapan dan penembakan kepada penduduk. Di tingkat struktural, junta militer menunda pelaksanaan pemilihan umum beberapa kali.

Beberapa peneliti dalam studi ASEAN menjelaskan penyebab kebuntuan itu. Chong (2022), misalnya, menelisik bahwa kegagalan ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar mencerminkan keterbatasan struktural organisasi ini. Penyebabnya adalah prinsip non-intervensi dan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. 

Lalu, Jones (2022) menyoroti adanya perbedaan pendekatan di antara negara-negara anggota ASEAN telah menghambat respon yang efektif terhadap situasi di Myanmar. Perbedaan sikap itu berujung pada kohesivitas regional ASEAN. 

Kohesivitas regional 

Kohesivitas regional dapat didefinisikan sebagai tingkat keterpaduan dan solidaritas di antara negara-negara dalam suatu kawasan (Acharya, 2014). 

Dalam konteks ASEAN, rendahnya kohesivitas regional tercermin dalam beberapa aspek. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki kepentingan nasional yang beragam, yang sering kali bertentangan satu sama lain. 

Dalam kasus Myanmar, misalnya, Thailand dan Vietnam cenderung lebih berhati-hati dalam mengkritik junta militer Myanmar karena kepentingan ekonomi dan keamanan mereka (Chongkittavorn, 2023). 

Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia telah mengambil sikap yang lebih tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar (Parameswaran, 2022).

Kedua, disparitas ekonomi dan politik di antara negara-negara ASEAN juga berkontribusi pada rendahnya kohesivitas regional. Negara-negara seperti Singapura dan Indonesia memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan ASEAN. Sedangkan, negara-negara seperti Kamboja dan Laos sering kali memiliki suara yang lebih lemah (Emmers, 2021).

Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan ketegangan dan kurangnya rasa kepemilikan bersama terhadap inisiatif regional. Beberapa kesepakatan regional hanya berhenti di meja-meja perundingan ASEAN, tetapi tidak mendapat penguatan nasional dalam bentuk pelaksanaan kebijakan regional di negara-negara anggota.

Ketiga, keragaman sistem politik di ASEAN, mulai dari demokrasi hingga otoritarianisme, juga mempersulit pencapaian konsensus dalam isu-isu sensitif seperti krisis Myanmar. Negara-negara dengan sistem politik yang lebih terbuka cenderung mendorong pendekatan yang lebih tegas terhadap junta Myanmar, sementara negara-negara dengan sistem yang lebih otoriter cenderung menghindari kritik terbuka (Tan, 2023).

Terakhir, intervensi dan pengaruh kekuatan eksternal, terutama Amerika Serikat dan Cina, juga mempengaruhi kohesivitas ASEAN. Beberapa negara anggota cenderung lebih dekat dengan AS, sementara yang lain lebih condong ke Cina. Perbedaan orientasi ini dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap isu-isu regional, termasuk krisis Myanmar (Acharya, 2023).

Rendahnya kohesivitas regional di ASEAN memiliki implikasi langsung terhadap upaya penyelesaian krisis Myanmar. Meskipun ASEAN telah menyepakati Konsensus Lima Poin sebagai kerangka kerja untuk menyelesaikan krisis Myanmar, implementasinya tetap lemah. 

Hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya mekanisme penegakan dan perbedaan interpretasi di antara negara-negara anggota mengenai bagaimana konsensus tersebut harus diterapkan (Chongkittavorn, 2023).

Perbedaan pendekatan di antara negara-negara ASEAN juga telah menghalangi organisasi ini untuk memberikan tekanan yang efektif terhadap junta militer Myanmar. Sementara beberapa negara mendukung sanksi dan isolasi diplomatik, yang lain lebih memilih pendekatan yang lebih lunak (Parameswaran, 2022). 

Rendahnya kohesivitas juga membatasi kemampuan ASEAN untuk berkoordinasi secara efektif dengan aktor eksternal seperti PBB, AS, dan Cina dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Perbedaan pandangan di antara negara-negara anggota mengenai peran aktor eksternal telah menghambat pendekatan yang koheren (Jones, 2022).

Kegagalan ASEAN dalam menangani krisis Myanmar secara efektif telah mengikis kredibilitas organisasi ini, baik di mata masyarakat kawasan maupun komunitas internasional. Hal ini dapat berdampak negatif pada kemampuan ASEAN untuk menangani tantangan regional di masa depan (Emmers, 2021).

Terobosan

Menghadapi tantangan ini, beberapa langkah terobosan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kohesivitas regional ASEAN. ASEAN perlu memperkuat mekanisme institusionalnya untuk memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih efektif dan implementasi kebijakan yang lebih kuat. Ini dapat mencakup pembentukan badan pengawas independen untuk memantau implementasi kesepakatan regional (Tan, 2023).

Diperlukan juga dialog yang lebih intensif di antara negara-negara anggota ASEAN untuk menjembatani perbedaan dan membangun pemahaman bersama mengenai isu-isu kritis seperti krisis Myanmar. Forum-forum informal dapat memainkan peran penting dalam proses ini (Acharya, 2023). 

ASEAN perlu bekerja keras untuk mengembangkan identitas regional yang lebih kuat yang melampaui perbedaan nasional. Ini dapat dicapai melalui peningkatan pertukaran budaya, pendidikan, dan people-to-people contact di antara negara-negara anggota (Chong, 2022).

Selain itu, ASEAN harus meningkatkan keterlibatannya dengan masyarakat sipil dan aktor non-pemerintah dalam upaya penyelesaian krisis regional. Hal ini dapat membantu memperluas perspektif dan meningkatkan legitimasi upaya ASEAN (Jones, 2022).

Pada ulang tahunnya yang ke-57, ASEAN menghadapi tantangan besar dalam menyelesaikan krisis Myanmar. Rendahnya kohesivitas regional telah menjadi hambatan signifikan dalam upaya organisasi ini untuk menangani situasi tersebut secara efektif. 

Namun, krisis ini juga dapat dilihat sebagai peluang bagi ASEAN untuk mereformasi diri dan memperkuat kohesivitas regionalnya. Dengan meningkatkan dialog intra-regional, memperkuat mekanisme institusional, dan mengembangkan identitas ASEAN yang lebih kuat, organisasi ini dapat meningkatkan kemampuannya untuk menangani tantangan regional seperti krisis Myanmar. 

Hal ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas ASEAN dalam menyelesaikan krisis saat ini, tetapi juga akan memperkuat posisinya sebagai aktor regional yang penting dalam menghadapi tantangan di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun