Bahkan Thailand, yang menjadi lawan di final, mengakui kehebatan Indonesia. Pengakuan ini bukan hanya pujian atas prestasi olahraga, tetapi juga penghargaan terhadap karakter bangsa Indonesia.
Kemenangan ini juga menjadi momen penting dalam konteks geopolitik Asia Tenggara. Di tengah berbagai ketegangan politik dan ekonomi di kawasan, sepak bola menjadi arena netral di mana negara-negara dapat bersaing secara damai. Piala AFF U-19 menjadi bukti nyata bagaimana olahraga dapat menjembatani perbedaan dan membangun persahabatan antar bangsa.
Namun, di balik gemerlap kemenangan, tersimpan tanggung jawab besar. Indonesia kini dipandang sebagai kekuatan baru sepak bola Asia Tenggara. Ekspektasi ini bukan hanya tentang prestasi di lapangan, tapi juga tentang peran Indonesia yang lebih besar dalam diplomasi regional.Â
Barangkali pernyataan Pramoedya Ananta Toer bisa dipinjam, "orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Begitu juga, prestasi sepak bola ini harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi Indonesia di kancah internasional.
PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia, harus mampu menerjemahkan kemenangan ini menjadi kebijakan jangka panjang. Pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas kompetisi domestik, hingga program pembinaan usia muda yang berkelanjutan menjadi kunci untuk mempertahankan momentum ini.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga harus jeli memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan diplomasi yang lebih luas. Kemenangan Garuda Muda bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.Â
Pertukaran pemain, pelatih, bahkan penyelenggaraan turnamen bersama bisa menjadi langkah konkret untuk memperkuat posisi diplomasi  Indonesia di kawasan. Prestasi ini malah bisa menjadi katalis bagi promosi nilai-nilai Indonesia ke dunia internasional.Â
Semangat pantang menyerah, kreativitas, dan keramahan yang ditunjukkan tim Indonesia selama turnamen adalah cerminan dari karakter bangsa. Ini adalah soft power yang tak ternilai harganya dalam diplomasi modern.
Tangis haru striker Garuda Muda, Jens Raven, menjadi simbol diplomasi Indonesia. Setelah 11 tahun vakum trofi juara, 45.000 penonton ikut terharu dalam kemenangan diplomasi sepak bola Indonesia di tingkat ASEAN.Â
Namun, di tengah euphoria kemenangan, kita juga harus waspada terhadap potensi nasionalisme yang berlebihan. Sepak bola, dengan segala emosi yang menyertainya, bisa menjadi pedang bermata dua.Â
Di satu sisi, sepak bola terbukti menyatukan bangsa. Di sisi lain, ada fakta menyakitkan bahwa sepak bola juga memicu sentimen negatif jika tidak dikelola dengan bijak.Â