Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sejarah dan Dinamika Kebijakan Luar Negeri Indonesia Sejak Reformasi 1998

7 Juli 2024   23:06 Diperbarui: 7 Juli 2024   23:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reformasi 1998 menandai titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia, termasuk dalam kebijakan atau politik luar negerinya. Perubahan dari rezim otoriter Orde Baru ke era demokratisasi membawa dampak signifikan terhadap orientasi, prioritas, dan pendekatan Indonesia dalam hubungan internasional. 

Esai ini akan mengeksplorasi sejarah dan dinamika politik luar negeri Indonesia sejak reformasi 1998, dengan fokus pada perubahan-perubahan utama, tantangan-tantangan yang dihadapi, dan arah kebijakan di masa depan.

Transisi Demokratis dan Reorientasi Kebijakan Luar Negeri

Pasca jatuhnya rezim Suharto, Indonesia mengalami transisi demokratis yang berpengaruh besar terhadap kebijakan luar negerinya. Demokratisasi telah membawa perubahan mendasar dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia, dengan melibatkan lebih banyak aktor dan membuka ruang bagi partisipasi publik. 

Perubahan ini mencerminkan transformasi dari pendekatan top-down yang terpusat pada era Orde Baru menjadi proses yang lebih inklusif dan partisipatif. Salah satu perubahan signifikan adalah penekanan yang lebih besar pada diplomasi berbasis nilai. 

Indonesia berusaha memproyeksikan citra sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia, menggunakan pengalaman demokratisasinya sebagai 'soft power' dalam hubungan internasional. Hal ini terlihat dari inisiatif Indonesia dalam mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan, seperti melalui Bali Democracy Forum yang diluncurkan pada 2008.

Kebangkitan Peran Regional dan Global

Era reformasi juga ditandai dengan kebangkitan peran Indonesia di panggung regional dan global. Acharya (2015) menyatakan Indonesia telah mengambil peran lebih aktif dalam ASEAN, berusaha memposisikan diri sebagai primus inter pares di antara negara-negara Asia Tenggara. 

Ini tampak nyata pada beberapa inisiatif Indonesia untuk mendorong integrasi ASEAN yang lebih dalam dan perannya dalam penyelesaian konflik regional seperti di Myanmar. Di tingkat global, Indonesia semakin asertif dalam forum-forum multilateral. Bergabungnya Indonesia dengan G20 pada 2008 menandai pengakuan internasional atas statusnya sebagai kekuatan ekonomi yang sedang bangkit. 

Keanggotaan G20 memberikan Indonesia platform untuk memperjuangkan kepentingan negara berkembang dan menjembatani kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Tantangan dan Dilema Kebijakan

Meskipun demikian, politik luar negeri Indonesia pasca-reformasi tidak lepas dari tantangan dan dilema. Salah satu isu utama adalah menyeimbangkan antara kepentingan domestik dan tanggung jawab internasional. Tuntutan domestik seringkali berbenturan dengan aspirasi Indonesia untuk memainkan peran global yang lebih besar. 

Hal ini terlihat misalnya dalam kebijakan Indonesia terhadap isu Laut China Selatan, di mana Jakarta harus berhati-hati menyeimbangkan kepentingan nasionalnya dengan perannya sebagai mediator di ASEAN.

Tantangan lain adalah dalam hal konsistensi kebijakan. Perubahan kepemimpinan pasca-reformasi seringkali membawa pergeseran dalam prioritas kebijakan luar negeri. Anwar (2020) menjelaskan bahwa setiap presiden cenderung membawa penekanan yang berbeda dalam politik luar negeri, yang kadang-kadang mengorbankan kontinuitas kebijakan. 

Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pendekatan antara era Susilo Bambang Yudhoyono yang menekankan "thousand friends, zero enemy" dengan era Joko Widodo yang lebih berfokus pada diplomasi ekonomi.

Dinamika Hubungan dengan Kekuatan Besar

Pasca-reformasi, Indonesia juga harus menavigasi hubungannya dengan kekuatan-kekuatan besar dalam konteks persaingan geopolitik yang semakin intens. Khususnya, kebangkitan China dan persaingannya dengan Amerika Serikat telah menjadi faktor penting dalam kalkulasi politik luar negeri Indonesia. 

Menurut Emmers (2014), Indonesia mengadopsi pendekatan hedging, berusaha memaksimalkan keuntungan ekonomi dari hubungan dengan China sambil tetap mempertahankan hubungan keamanan yang kuat dengan AS. Strategi ini tercermin dalam kebijakan "bebas-aktif" yang terus dipertahankan Indonesia. 

Weatherbee (2016) menguraikan bahwa prinsip bebas-aktif semakin ditantang oleh realitas geopolitik kontemporer yang menuntut posisi yang lebih jelas. Tantangan ini semakin terlihat dalam isu-isu seperti Laut China Selatan dan Indo-Pasifik, di mana Indonesia harus berhati-hati menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan.

Isu-isu Non-tradisional dan Soft Power

Era reformasi juga ditandai dengan meningkatnya perhatian Indonesia terhadap isu-isu keamanan non-tradisional. Perubahan iklim, terorisme, dan pandemi global menjadi fokus penting dalam agenda kebijakan luar negeri Indonesia. 

Indonesia semakin aktif dalam kerja sama internasional untuk menangani isu-isu transnasional, melihatnya sebagai cara untuk meningkatkan profil globalnya (Heiduk (2016).

Selain itu, Indonesia juga semakin menyadari pentingnya soft power dalam diplomasi. Indonesia telah berusaha memanfaatkan kekuatan budaya, nilai-nilai demokrasi, dan pengalaman pembangunannya sebagai aset diplomatik. 

Kecenderungan itu terlihat dari upaya-upaya untuk mempromosikan Islam moderat dan toleransi beragama di forum-forum internasional. Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia baik di tingkat domestik dan internasional melalui kegiatan interfaith dialogue.

Sejak reformasi 1998, politik luar negeri Indonesia dapat dikatan telah mengalami transformasi signifikan. Dari fokus pada konsolidasi demokrasi dan pemulihan citra internasional di awal era reformasi, Indonesia kini berusaha memposisikan diri sebagai kekuatan menengah yang berpengaruh di tingkat regional dan global. 

Namun, tantangan-tantangan baru tentu saja terus muncul, menuntut adaptasi dan inovasi dalam pendekatan diplomatik Indonesia. Ke depan, Indonesia akan terus menghadapi dilema dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan dan tuntutan. 

Tantangan-tantangan yang dihadapi dan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil tidak hanya membentuk posisi Indonesia di panggung internasional, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah negara demokrasi baru dapat beradaptasi dan berkembang dalam sistem internasional yang kompleks.

 Masa depan politik luar negeri Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengelola kompleksitas hubungan internasional sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasarnya (Sukma, 2020).

Dalam konteks ini, fleksibilitas dan pragmatisme, dikombinasikan dengan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai demokrasi dan multilateralisme, akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk menavigasi lanskap geopolitik yang semakin kompleks.

Dengan demikian, sejarah dan dinamika politik luar negeri Indonesia sejak reformasi 1998 mencerminkan perjalanan sebuah negara dalam menemukan kembali identitas dan perannya di dunia yang berubah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun