Di era globalisasi yang semakin kompleks ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema antara liberalisasi ekonomi dan nasionalisme ekonomi.Â
Kasus kebijakan nikel Indonesia menjadi contoh nyata dari tantangan ini. Kebijakan itu merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam domestik.Â
Masalahnya adalah bahwa kebijakan hilirisasi nikel itu berbenturan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas global. Kebijakan itu ditandai dengan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 yang dipandang sebagai bentuk nasionalisme ekonomi.Â
Seperti disepakati oleh Dani Rodrik (2018), nasionalisme ekonomi tidak selalu buruk. Kebijakan itu dapat menjadi katalis untuk kebijakan industri yang efektif dan pembangunan ekonomi yang inklusif.Â
Dalam konteks ini, Indonesia melalui hilirisasi nikel berupaya mengubah pola ekonominya dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi produsen produk olahan bernilai tinggi.
Repotnya, kebijakan ini berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan yang dianut oleh WTO. Selanjutnya, hilirisasi nikel itu memicu sengketa dengan Uni Eropa.Â
Stiglitz (2017) mengakui aturan perdagangan global sering kali membatasi ruang kebijakan negara berkembang untuk mengejar strategi industrialisasi mereka.Â
Akibatnya muncul pertanyaan tentang sejauh mana aturan perdagangan internasional dapat mengakomodasi kebutuhan pembangunan negara-negara berkembang.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan strategi nasionalisme ekonomi dalam menghadapi tekanan liberalisasi global. China, misalnya, telah lama menerapkan kebijakan nasionalis ekonomi yang kuat melalui program "Made in China 2025".Â
Wübbeke et al. (2016) menjelaskan bahwa China menggunakan berbagai instrumen kebijakan, termasuk subsidi, perlindungan pasar, dan transfer teknologi yang dipaksakan, untuk mendorong pengembangan 'juara nasional' dalam industri strategis.
India juga menerapkan pendekatan serupa melalui kebijakan "Make in India". Chacko (2015) menguraikan kebijakan ini mencerminkan bentuk nasionalisme ekonomi yang berupaya menyeimbangkan keterbukaan terhadap investasi asing dengan perlindungan dan promosi industri domestik.Â
Sementara itu, Rusia di bawah kepemimpinan Putin telah menerapkan apa yang Rutland (2008) sebut sebagai state capitalism. Rusia telah menggunakan kontrol negara atas sumber daya alam strategis dan industri kunci sebagai alat untuk memperkuat posisi ekonomi dan geopolitiknya.
Lalu, Brasil, selama era Lula dan Rousseff, menerapkan kebijakan yang oleh Ban (2013) disebut sebagai new developmentalism. Kebijakan itu menggabungkan elemen-elemen kebijakan industri yang terarah dengan keterbukaan selektif terhadap pasar global.Â
Tidak ketinggalan, Korea Selatan juga telah lama dikenal dengan model pembangunan yang dipimpin negara (state developmentalism). Amsden (1992) menggambarkan bagaimana Korea Selatan menggunakan kombinasi proteksi pasar domestik, subsidi ekspor, dan kebijakan industri yang terarah untuk membangun industri nasionalnya."
Meskipun strategi nasionalisme ekonomi ini telah menunjukkan keberhasilan di beberapa negara, kritik terhadap pendekatan ini juga perlu dipertimbangkan. Bhagwati (2004) memperingatkan bahwa proteksionisme berlebihan dapat menghambat inovasi dan efisiensi, serta mengisolasi ekonomi dari manfaat perdagangan global.Â
Oleh karena itu, negara-negara seperti Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan nasionalis ekonominya tidak kontraproduktif dalam jangka panjang. Dalam kasus Indonesia, kebijakan hilirisasi nikel tampaknya telah menunjukkan hasil positif.Â
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa kebijakan ini telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk nikel olahan dari US$ 1,1 miliar pada 2014 menjadi US$ 20,9 miliar pada 2021 (CNBC Indonesia, 2024).Â
Namun, sebaliknya, kebijakan ini juga menghadapi tantangan dalam bentuk gugatan dari Uni Eropa di WTO. Menariknya, meskipun awalnya bersikeras dengan gugatannya, Uni Eropa (UE) belakangan menunjukkan sikap yang lebih lunak dan membuka peluang negosiasi.Â
Perubahan sikap ini mencerminkan kompleksitas hubungan ekonomi global dan pentingnya diplomasi ekonomi.Â
Lalu, Keohane dan Nye (2012) menggambarkan bagaimana dunia yang saling bergantung itu menempatkan diplomasi dan negosiasi sebagai mekanisme penting dalam menyelesaikan konflik kepentingan ekonomi.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan tata kelola perdagangan global. Menurut Dani Rodrik (2011), ada kebutuhan kerangka perdagangan internasional yang lebih fleksibel. Kerangkan ini memungkinkan negara-negara untuk mengejar strategi pembangunan mereka sendiri sambil tetap terlibat dalam ekonomi global.Â
Pandangan ini mungkin menjadi relevan dalam konteks negosiasi Indonesia-Uni Eropa. Dalam menghadapi dilema ini, Indonesia perlu mengembangkan strategi yang lebih nuansa.Â
Salah satu pendekatan yang mungkin adalah yang disebut Wade (2003) sebagai "nasionalisme ekonomi terbuka." Kebijakan ini membuat negara mengejar kebijakan industri strategis sambil tetap terbuka terhadap perdagangan dan investasi asing.Â
Pendekatan ini dapat membantu Indonesia menyeimbangkan tujuan pembangunan nasional dengan komitmen internasionalnya. Helleiner (2002) mencatat bahwa bentuk-bentuk kontemporer dari nasionalisme ekonomi sering kali lebih halus dan selektif dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, mencerminkan realitas ekonomi global yang saling terhubung.Â
Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara perlu mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dalam menerapkan kebijakan ekonomi nasionalis mereka. Kasus kebijakan nikel Indonesia menggambarkan kompleksitas tantangan yang dihadapi negara berkembang dalam menyeimbangkan nasionalisme ekonomi dan liberalisasi di era globalisasi.Â
Sementara itu, kebijakan nasionalis dapat mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan semacam ini perlu diimplementasikan dengan cara yang tidak sepenuhnya bertentangan dengan aturan perdagangan internasional.Â
Negosiasi yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Uni Eropa mungkin akan menghasilkan preseden penting tentang bagaimana konflik semacam ini dapat diselesaikan di masa depan. Proses negosiasi itu juga mengungkapkan bagaimana sistem perdagangan global dapat lebih mengakomodasi kebutuhan pembangunan negara-negara berkembang.Â
Dalam proses ini, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya perlu terus mencari keseimbangan antara melindungi kepentingan nasional dan berpartisipasi dalam ekonomi global yang semakin terintegrasi.Â
Referensi:
1. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240702170717-4-551205/selesaikan-sengketa-di-wto-ri-uni-eropa-tawar-menawar, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240613161615-4-546414/kacau-uni-eropa-5-komoditas-ri-ini-digugat-di-wtoÂ
6. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240620080116-4-547683/sempat-gugat-ri-di-wto-uni-eropa-mulai-melunak, tuliskan beberapa ide judul esai berkaitan dengan studi ekonomi politik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H