India juga menerapkan pendekatan serupa melalui kebijakan "Make in India". Chacko (2015) menguraikan kebijakan ini mencerminkan bentuk nasionalisme ekonomi yang berupaya menyeimbangkan keterbukaan terhadap investasi asing dengan perlindungan dan promosi industri domestik.Â
Sementara itu, Rusia di bawah kepemimpinan Putin telah menerapkan apa yang Rutland (2008) sebut sebagai state capitalism. Rusia telah menggunakan kontrol negara atas sumber daya alam strategis dan industri kunci sebagai alat untuk memperkuat posisi ekonomi dan geopolitiknya.
Lalu, Brasil, selama era Lula dan Rousseff, menerapkan kebijakan yang oleh Ban (2013) disebut sebagai new developmentalism. Kebijakan itu menggabungkan elemen-elemen kebijakan industri yang terarah dengan keterbukaan selektif terhadap pasar global.Â
Tidak ketinggalan, Korea Selatan juga telah lama dikenal dengan model pembangunan yang dipimpin negara (state developmentalism). Amsden (1992) menggambarkan bagaimana Korea Selatan menggunakan kombinasi proteksi pasar domestik, subsidi ekspor, dan kebijakan industri yang terarah untuk membangun industri nasionalnya."
Meskipun strategi nasionalisme ekonomi ini telah menunjukkan keberhasilan di beberapa negara, kritik terhadap pendekatan ini juga perlu dipertimbangkan. Bhagwati (2004) memperingatkan bahwa proteksionisme berlebihan dapat menghambat inovasi dan efisiensi, serta mengisolasi ekonomi dari manfaat perdagangan global.Â
Oleh karena itu, negara-negara seperti Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan nasionalis ekonominya tidak kontraproduktif dalam jangka panjang. Dalam kasus Indonesia, kebijakan hilirisasi nikel tampaknya telah menunjukkan hasil positif.Â
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa kebijakan ini telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk nikel olahan dari US$ 1,1 miliar pada 2014 menjadi US$ 20,9 miliar pada 2021 (CNBC Indonesia, 2024).Â
Namun, sebaliknya, kebijakan ini juga menghadapi tantangan dalam bentuk gugatan dari Uni Eropa di WTO. Menariknya, meskipun awalnya bersikeras dengan gugatannya, Uni Eropa (UE) belakangan menunjukkan sikap yang lebih lunak dan membuka peluang negosiasi.Â
Perubahan sikap ini mencerminkan kompleksitas hubungan ekonomi global dan pentingnya diplomasi ekonomi.Â
Lalu, Keohane dan Nye (2012) menggambarkan bagaimana dunia yang saling bergantung itu menempatkan diplomasi dan negosiasi sebagai mekanisme penting dalam menyelesaikan konflik kepentingan ekonomi.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan tata kelola perdagangan global. Menurut Dani Rodrik (2011), ada kebutuhan kerangka perdagangan internasional yang lebih fleksibel. Kerangkan ini memungkinkan negara-negara untuk mengejar strategi pembangunan mereka sendiri sambil tetap terlibat dalam ekonomi global.Â