Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kontroversi "Asian Values" dan Perannya dalam Pembangunan Ekonomi di Asia

13 Juni 2024   00:03 Diperbarui: 13 Juni 2024   09:05 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Asian Values (Sumber: https://kesbangpol.kulonprogokab.go.id/)

Baru-baru ini, pernyataan Pandji Pragiwaksono, seorang komedian dan podcaster ternama Indonesia, mengenai Asian values dalam podcast Total Politik menuai kontroversi.

Di episode itu, Pandji (2024) secara lugas mengkritik nilai-nilai Asia seperti kolektivisme, kepatuhan pada otoritas, dan pengorbanan individu demi kepentingan kelompok sebagai penghambat kemajuan dan inovasi. 

Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di jagat maya mengenai relevansi dan validitas konsep Asian values, khususnya dalam konteks pembangunan ekonomi.

Tulisan ini tidak ingin terjebak pada hiruk-pikuk kontroversi itu, tapi mencoba melihat arti penting atau peran Asian Values dalam jalan dalam pembangunan ekonomi.

Sejatinya, peran Asian values dalam membentuk trajektori pembangunan di Asia (Timur) telah lama menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi.

Beberapa pakar berpendapat bahwa nilai-nilai Asia seperti etos kerja, penghargaan pada pendidikan, penghormatan pada hierarki, semangat komunal, dan orientasi jangka panjang berkontribusi signifikan pada keberhasilan ekonomi. 

Praktek Asian values dapat ditemukan di negara-negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Kemajuan ekonomi negara-negara itu diyakini menempuh jalan berbeda dibandingkan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat (AS) atau Inggris sebagai pencetus revolusi industri.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai Asia (Asian values) memang telah berperan penting dalam membentuk trajektori pembangunan di Asia Timur, termasuk Singapura.

Konsep ini sering dianggap sebagai analog dari "Spirit of Capitalism" yang berakar pada nilai-nilai Protestanisme seperti yang diajukan oleh sosiolog Max Weber (2002). 

Lebih lanjut, Weber berargumen bahwa etika Protestan, khususnya Calvinisme, mendorong etos kerja keras, disiplin, dan asketisme yang menjadi fondasi kapitalisme modern di Eropa Barat (Thompson, 2001).

Nilai-nilai Konfusianisme, seperti penekanan pada pendidikan, kerja keras, hemat, dan loyalitas pada kelompok, telah menjadi kunci keberhasilan ekonomi di Asia Timur. 

Sementara itu, di Jepang, ajaran-ajaran Zen Buddhisme dan Shintoisme juga dianggap telah membentuk etos kerja dan harmoni sosial yang mendukung modernisasi ekonomi negara tersebut (Weber, 2002).

Namun demikian, pandangan itu juga tidak lepas dari kritik. Beberapa ahli mempertanyakan simplifikasi hubungan antara nilai-nilai budaya dengan perkembangan ekonomi, serta menggarisbawahi pentingnya faktor-faktor struktural seperti kebijakan industri, peran negara, dan dinamika geopolitik (Zakaria, 1994). 

Terlepas dari perdebatan akademis ini, tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai budaya telah menjadi salah satu variabel penting dalam memahami keberhasilan pembangunan di Asia Timur, meski tentu saja bukan satu-satunya faktor penjelas.

Kritik datang dari Amartya Sen, ekonom peraih Nobel asal India. Sen (1999) memperingatkan bahwa generalisasi nilai-nilai Asia bisa menyesatkan mengingat keragaman budaya dan tradisi intelektual di benua ini.

Bagi Sen, nilai-nilai seperti kerja keras, semangat wirausaha, dan penghargaan pada pendidikan bukanlah monopoli budaya Asia, melainkan dapat ditemui dalam peradaban lain.

Lebih jauh, konsep Asian values juga dikritik sebagai alat legitimasi bagi rezim otoriter di Asia. Fareed Zakaria (1994), seorang pakar hubungan internasional, menyatakan bahwa para pemimpin non-demokratis kerap menggunakan dalih "nilai-nilai Asia" untuk membenarkan pemerintahan yang represif atas nama stabilitas dan harmoni sosial. 

Pada tataran praktis, keberhasilan ekonomi Asia Timur tidak bisa disangkal juga diwarnai oleh praktik-praktik yang bertentangan dengan stereotip Asian values. Aktivisme buruh di Korea Selatan dan gerakan pro-demokrasi di Taiwan dan Hong Kong menjadikan nilai-nilai itu mendapatkan otokritik.

Inkompatibilitas nilai-nilai Asia memuncak pada krisis finansial Asia 1997-1998 menunjukkan bahwa model pembangunan Asia Timur tidak kebal terhadap kerapuhan dan kontradiksi.

Akibatnya, pertanyaan mengenai kompabilitas Asian values dengan demokrasi dan hak asasi manusia menjadi sangat relevan. Pertanyaan dan malpraktek itu mengembalikan kita pada kontroversi Pandji di awal tulisan ini.

Terlepas dari kontroversi tersebut, pengalaman Singapura seringkali diangkat sebagai contoh bagaimana nilai-nilai Asia dapat mendukung pembangunan ekonomi yang pesat.

Lee Kuan Yew, mendiang Perdana Menteri Singapura, acapkali mengaitkan keberhasilan negaranya dengan warisan budaya Konfusianisme yang menekankan stabilitas, disiplin, dan pragmatisme. 

Pemerintah Singapura dikenal efektif dalam mengimplementasikan kebijakan pro-pertumbuhan seperti perencanaan industri strategis, pengembangan infrastruktur, dan investasi di bidang pendidikan dan pelatihan.

Konsep Asian values sering dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan ekonomi di Asia Timur, khususnya di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. 

Para pendukung gagasan ini berpendapat bahwa nilai-nilai khas Asia seperti kerja keras, penghematan, penekanan pada pendidikan, loyalitas pada keluarga dan negara, serta prioritas pada kepentingan kolektif di atas individu, telah menjadi fondasi bagi kemajuan ekonomi yang mengesankan di kawasan tersebut (Hofstede & Bond, 1988).

Singapura, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, adalah salah satu contoh yang paling sering dikutip. Lee berpendapat bahwa nilai-nilai Konfusianisme seperti kebajikan, keharmonisan sosial, dan penghormatan pada otoritas, telah memungkinkan Singapura untuk membangun konsensus nasional, menjaga stabilitas politik, dan mengerahkan energi kolektif untuk pembangunan ekonomi. 

Lee juga menekankan etos kerja yang kuat, disiplin sosial, dan sistem meritokrasi sebagai kunci keberhasilan Singapura. Argumen serupa juga diterapkan pada negara-negara Asia Timur lainnya. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, sering dikaitkan dengan budaya kerja keras, loyalitas korporat, dan penekanan pada harmoni kelompok, yang dianggap telah mendorong pertumbuhan industri dan inovasi teknologi mereka (Landes, 1998). 

Lalu, Taiwan dan Hong Kong juga dikaitkan dengan nilai-nilai seperti kewirausahaan, kehematan, dan investasi dalam pendidikan, yang dipandang sebagai pendorong kemakmuran ekonomi mereka.

Namun, konsep Asian values sebagai penjelas tunggal keberhasilan ekonomi Asia Timur juga menuai kritik. Amartya Sen (1999) berargumen bahwa narasi ini mengabaikan keragaman budaya dan politik di Asia, serta peran faktor-faktor lain seperti kebijakan industri, investasi asing, dan kondisi geopolitik. Ia juga memperingatkan bahwa konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan otoritarianisme dan mengekang kebebasan individu.

Meski demikian, gagasan Asian values tetap berpengaruh dalam wacana pembangunan di Asia. Banyak pemimpin politik di kawasan ini masih merujuk pada nilai-nilai Asia sebagai keunggulan komparatif dan sumber ketahanan budaya (Thompson, 2001). Namun, di era globalisasi dan perubahan sosial yang pesat, relevansi dan keberlanjutan konsep ini terus menjadi bahan perdebatan.

Keberhasilan ekonomi Asia Timur bagaimanapun juga tidak dapat direduksi menjadi produk dari satu set nilai budaya yang homogen. Keberhasilan itu adalah hasil interaksi yang rumit antara faktor-faktor budaya, politik, ekonomi, dan global. 

Meski nilai-nilai Asia mungkin telah memainkan peran dalam membentuk etos dan praktik pembangunan di kawasan tersebut, namun nilai-nilai itu juga bukannyq tanpa kritik.

Akhirnya, kemampuan untuk memilih nilai-nilai yang baik dan sesuai dengan konteks nasional atau perkembangan jaman menjadi sangat penting dan relevan, termasuk Asian values.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun