Nilai-nilai Konfusianisme, seperti penekanan pada pendidikan, kerja keras, hemat, dan loyalitas pada kelompok, telah menjadi kunci keberhasilan ekonomi di Asia Timur.Â
Sementara itu, di Jepang, ajaran-ajaran Zen Buddhisme dan Shintoisme juga dianggap telah membentuk etos kerja dan harmoni sosial yang mendukung modernisasi ekonomi negara tersebut (Weber, 2002).
Namun demikian, pandangan itu juga tidak lepas dari kritik. Beberapa ahli mempertanyakan simplifikasi hubungan antara nilai-nilai budaya dengan perkembangan ekonomi, serta menggarisbawahi pentingnya faktor-faktor struktural seperti kebijakan industri, peran negara, dan dinamika geopolitik (Zakaria, 1994).Â
Terlepas dari perdebatan akademis ini, tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai budaya telah menjadi salah satu variabel penting dalam memahami keberhasilan pembangunan di Asia Timur, meski tentu saja bukan satu-satunya faktor penjelas.
Kritik datang dari Amartya Sen, ekonom peraih Nobel asal India. Sen (1999) memperingatkan bahwa generalisasi nilai-nilai Asia bisa menyesatkan mengingat keragaman budaya dan tradisi intelektual di benua ini.
Bagi Sen, nilai-nilai seperti kerja keras, semangat wirausaha, dan penghargaan pada pendidikan bukanlah monopoli budaya Asia, melainkan dapat ditemui dalam peradaban lain.
Lebih jauh, konsep Asian values juga dikritik sebagai alat legitimasi bagi rezim otoriter di Asia. Fareed Zakaria (1994), seorang pakar hubungan internasional, menyatakan bahwa para pemimpin non-demokratis kerap menggunakan dalih "nilai-nilai Asia" untuk membenarkan pemerintahan yang represif atas nama stabilitas dan harmoni sosial.Â
Pada tataran praktis, keberhasilan ekonomi Asia Timur tidak bisa disangkal juga diwarnai oleh praktik-praktik yang bertentangan dengan stereotip Asian values. Aktivisme buruh di Korea Selatan dan gerakan pro-demokrasi di Taiwan dan Hong Kong menjadikan nilai-nilai itu mendapatkan otokritik.
Inkompatibilitas nilai-nilai Asia memuncak pada krisis finansial Asia 1997-1998 menunjukkan bahwa model pembangunan Asia Timur tidak kebal terhadap kerapuhan dan kontradiksi.
Akibatnya, pertanyaan mengenai kompabilitas Asian values dengan demokrasi dan hak asasi manusia menjadi sangat relevan. Pertanyaan dan malpraktek itu mengembalikan kita pada kontroversi Pandji di awal tulisan ini.
Terlepas dari kontroversi tersebut, pengalaman Singapura seringkali diangkat sebagai contoh bagaimana nilai-nilai Asia dapat mendukung pembangunan ekonomi yang pesat.