Baru-baru ini, pernyataan Pandji Pragiwaksono, seorang komedian dan podcaster ternama Indonesia, mengenai Asian values dalam podcast Total Politik menuai kontroversi.
Di episode itu, Pandji (2024) secara lugas mengkritik nilai-nilai Asia seperti kolektivisme, kepatuhan pada otoritas, dan pengorbanan individu demi kepentingan kelompok sebagai penghambat kemajuan dan inovasi.Â
Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di jagat maya mengenai relevansi dan validitas konsep Asian values, khususnya dalam konteks pembangunan ekonomi.
Tulisan ini tidak ingin terjebak pada hiruk-pikuk kontroversi itu, tapi mencoba melihat arti penting atau peran Asian Values dalam jalan dalam pembangunan ekonomi.
Sejatinya, peran Asian values dalam membentuk trajektori pembangunan di Asia (Timur) telah lama menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi.
Beberapa pakar berpendapat bahwa nilai-nilai Asia seperti etos kerja, penghargaan pada pendidikan, penghormatan pada hierarki, semangat komunal, dan orientasi jangka panjang berkontribusi signifikan pada keberhasilan ekonomi.Â
Praktek Asian values dapat ditemukan di negara-negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Kemajuan ekonomi negara-negara itu diyakini menempuh jalan berbeda dibandingkan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat (AS) atau Inggris sebagai pencetus revolusi industri.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai Asia (Asian values) memang telah berperan penting dalam membentuk trajektori pembangunan di Asia Timur, termasuk Singapura.
Konsep ini sering dianggap sebagai analog dari "Spirit of Capitalism" yang berakar pada nilai-nilai Protestanisme seperti yang diajukan oleh sosiolog Max Weber (2002).Â
Lebih lanjut, Weber berargumen bahwa etika Protestan, khususnya Calvinisme, mendorong etos kerja keras, disiplin, dan asketisme yang menjadi fondasi kapitalisme modern di Eropa Barat (Thompson, 2001).