Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kedaulatan Indonesia di Tengah Kontestasi Hegemoni di Laut China Selatan

23 Mei 2024   09:24 Diperbarui: 28 Mei 2024   17:30 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset-2.tstatic.net/bali/foto/bank/images/natuna_20180503_181128.jpg

Stabilitas di Laut China Selatan (LCS) merupakan isu krusial bagi kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang berbatasan langsung dengan LCS, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam menjaga stabilitas keamanan di kawasan tersebut demi menjaga kedaulatan wilayahnya.

Ernesto Laclau, seorang pemikir post-Marxis dan post-strukturalis, menyediakan kerangka analisis wacana yang menarik untuk mengkaji dinamika konflik dan upaya menjaga stabilitas di LCS. Menggunakan kerangka pikir Laclau ini diharapkan bisa memberikan analisis alternatif mengenai upaya-upaya mendorong stabilitas LCS dan kedaulatan Indonesia.

Menurut Laclau, wacana tidak hanya mencerminkan realitas, namun juga membentuk dan mengkonstruksi realitas sosial dan politik (Laclau & Mouffe, 2001). Dalam konteks sengketa Laut China Selatan, berbagai klaim tumpang tindih dan narasi yang saling bertentangan dari negara-negara yang terlibat pada dasarnya merupakan konstruksi wacana untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Ada lima negara yang terlibat langsung dalam konflik klaim di LCS, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kelima negara itu memiliki kebijakan yang saling bertentangan. 

Meminjam kacamata Laclau, wacana tercermin pada kebijakan-kebijakan dari lima negara yang berkonfoik itu. Repotnya, kebijakan itu tidak sama atau sekedar berbeda, tetapi bertentangan atau berkontestasi satu sama lain.

Selanjutnya, Laclau menyebutkan bahwa upaya untuk mencapai makna yang pasti dan stabil sebagai "mitos." Kenyataannya, wacana itu bersifat diskursif dan relatif. 

Dengan cara berpikir seperti ini, stabilitas di LCS bersifat rentan, dan, mungkin, mustahil dicapai karena sifat wacana yang pada dasarnya cair dan senantiasa berubah. Oleh karena itu, stabilitas di LCS harus selalu diperjuangkan dan dikelola agar tidak mengarah ke situasi konfliktual.

Meskipun bukan claimant state dalam sengketa teritorial di LCS, stabilitas di kawasan ini sangat penting bagi Indonesia. Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan, yang sangat dipengaruhi oleh dinamika di LCS.

Gangguan keamanan dapat menghambat jalur pelayaran internasional yang melewati Laut China Selatan dan Selat Malaka, yang sangat vital bagi perdagangan internasional Indonesia. Ketegangan antar-negara yang berkonflik klaim juga diprediksi dapat memicu perlombaan senjata dan meningkatkan risiko konflik terbuka yang dapat menjalar ke Indonesia.

Di sisi lain, menurut analisis Laclau, upaya Tiongkok untuk mengklaim hampir keseluruhan Laut China Selatan melalui klaim nine-dash line merupakan proyek hegemonik untuk menancapkan dominasi di kawasan. Tiongkok berupaya membangun wacana sebagai 'kekuatan besar' dan mengkonstruksi identitas nasionalnya sebagai negara yang berhak menguasai Laut China Selatan. 

Upaya Tiongkok membangun hegemoni wacana itu ditentang oleh negara-negara lain. Bahkan, penentangan itu juga muncul dari Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Jepang, dan ASEAN dalam konteks Indo-Pasifik. 

Akibatnya, ketegangan terjadi di kawasan itu berkaitan dengan klaim masing-masing pihak yang berkonflik. Untuk menghadapi situasi ini, Laclau menekankan pentingnya counter-hegemony, yaitu membangun wacana tandingan untuk melawan dominasi atau hegemoni pihak tertentu. 

Hingga saat ini, masing-masing pihak saling berwacana sebagai salah satu bentuk counter-hegemony demi memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam proses memperjuangkan hegemoni itu, ketidaksetujuan pihak-pihak lain diwujudkan dalam bentuk protes atau penentangan terhadap kebijakan China.

Dalam konteks ini, Indonesia secara konsisten memperjuangkan penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia bahkan adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang mengirim surat protes, meskipun zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara berbatasan langsung dengan perairan LCS (26/05/2020).

Indonesia harus terus mendorong semua pihak untuk menahan diri dan menyelesaikan sengketa melalui dialog dan negosiasi, dengan menghormati hukum internasional. 

Upaya diplomatik ini penting untuk membangun wacana tandingan bahwa tidak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim LCS secara sepihak.

Selain itu, Indonesia juga perlu memperkuat kerja sama dan koordinasi dengan negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN harus bersatu dan berbicara dengan satu suara dalam menghadapi klaim Tiongkok. Jika tidak, Tiongkok akan dengan mudah memecah belah negara-negara ASEAN. 

ASEAN selalu mendorong empat negara anggotanya agar berunding di tingkat regional, yaitu ASEAN, untuk mewujudkan satu suara itu.  Tujuan utamanya adalah membangun konsensus di antara negara ASEAN demi memperkuat posisi tawar ASEAN secara kolektif vis-à-vis Tiongkok.

Indonesia juga harus terus memperkuat kapabilitas pertahanan maritimnya untuk menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Pengamanan dan pengawasan wilayah yurisdiksi nasional Indonesia di Laut China Selatan, terutama di sekitar Kepulauan Natuna, harus terus ditingkatkan untuk mencegah pelanggaran kedaulatan.

Kehadiran militer yang kuat akan menjadi deterrence untuk mencegah eskalasi ketegangan di kawasan. Isu ini menjadi penting mengingat kapal-kapal penjaga pantai China beberapa kali bermanuver hingga perairan perbatasan Laut Natuna Utara.

Namun pada akhirnya, menurut perspektif Laclau, stabilitas permanen di LCS akan sulit tercapai, karena wacana yang saling bertentangan dari berbagai pihak akan terus berinteraksi dan berevolusi. 

Yang bisa dilakukan adalah terus berupaya membangun wacana inklusif yang mengedepankan kerja sama, dialog, dan penghormatan terhadap hukum internasional.

Dengan merangkul semua pihak dalam satu kerangka wacana kooperatif, diharapkan stabilitas dan perdamaian dapat dijaga. Di berbagai kesempatan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan bahwa "Indonesia akan terus berada di garis depan untuk mendorong stabilitas, perdamaian, dan kerja sama di kawasan melalui diplomasi yang inklusif dan konstruktif" (Marsudi, 2021).

Melalui cara berpikir Laclau, kedaulatan Indonesia tampaknya harus selalu diperjuangkan melalui stabilitas keamanan di LCS. Sebagaimana kontestasi wacana tentang LCS yang masih bersifat diskursif dan dinamis itu, counter-hegemony di LCS perlu didorong dalam bentuk wacana-wacana kooperatif demi mengelola potensi konflik di kawasan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun