Prinsip bebas aktif telah menjadi landasan utama bagi politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan. Prinsip ini pertama kali dicetuskan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya pada 2 September 1948 yang berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang".
Menurut Hatta, Indonesia harus menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yaitu tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagai negara merdeka (Hatta, 1953). Tujuan kebijakan ini adalah agar Indonesia bisa menentukan sikap dan pandangannya sendiri terhadap persoalan-persoalan internasional.
Selain itu, kebijakan luar negeri bebas dan aktif menempatkan Indonesia tidak menjadi objek dalam pertarungan politik internasional. Alih-alih menjadi obyek, Indonesia bahkan dapat mengambil peran sebagai salah satu kekuatan menengah (middle power) dalam hubungan internasional yang dinamis pada saat ini.
Dalam perkembangannya, prinsip bebas aktif ini menjadi landasan bagi Indonesia dalam mengelola isu-isu strategis kawasan, termasuk sengketa Laut China Selatan. Indonesia bukan merupakan salah satu claimant state dalam konflik tersebut.
Namun demikian, sebagai negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan. Hal ini penting untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia, termasuk di Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
Untuk itu, Indonesia menerapkan pendekatan bebas aktif dalam diplomasinya terkait Laut China Selatan. Indonesia berupaya untuk tidak berpihak pada salah satu claimant state, baik itu China/Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, maupun Brunei Darussalam.
Sebaliknya, Indonesia mengambil posisi netral sebagai honest broker yang mendorong penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog dan negosiasi (Pattiradjawane & Soebagjo, 2015). Indonesia juga secara aktif mengusulkan berbagai inisiatif kerja sama di Laut China Selatan untuk mengalihkan isu sengketa ke arah kerja sama yang saling menguntungkan. Â
Salah satu inisiatif utama Indonesia adalah mengubah Laut China Selatan dari "laut sengketa" menjadi "laut perdamaian" (sea of peace). Pada KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar tahun 2014, Presiden Joko Widodo menyampaikan visi untuk menjadikan Laut China Selatan sebagai "laut persahabatan dan kerja sama" (Widodo, 2014).
Dalam konteks itu, Indonesia mendorong semua pihak untuk menahan diri, tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan ketegangan, dan mematuhi hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982. Indonesia juga mempromosikan kerja sama praktis, seperti keselamatan navigasi, perlindungan lingkungan laut, penanggulangan bencana, dan sebagainya (Kementerian Luar Negeri RI, 2017).
Efektivitas
Pendekatan bebas aktif Indonesia ini terbukti cukup efektif dalam meredam ketegangan di Laut China Selatan. Sebagai contoh, saat terjadi insiden antara kapal coast guard Tiongkok dengan kapal nelayan Indonesia di perairan Natuna pada 2016, Indonesia bersikap tegas dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya, namun tetap mengedepankan dialog dalam penyelesaiannya.
Indonesia secara berani telah melayangkan nota diplomatik (red notice) kepada China. Protes itu menegaskan bahwa tidak ada overlapping claim antara Indonesia dengan Tiongkok di Laut China Selatan. Indonesia juga meningkatkan patroli keamanan di sekitar Kepulauan Natuna untuk mencegah insiden serupa terulang.
Namun di sisi lain, Indonesia tetap menjaga hubungan baik dengan China dan mendorong agar insiden tersebut tidak menganggu kerja sama kedua negara secara keseluruhan.
Sikap Indonesia ini sebenarnya menjadi karakteristik penting dalam hubungan bilateral paska-Perang Dingin. Walaupun ada ketidaksepakatan dalam kerjasama di bidang pertahanan-militer, Indonesia seperti negara-negara lainnya tetap mempertahankan kedekatan ekonomi dengan China.
Pendekatan bebas aktif juga ditunjukkan Indonesia saat menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Jakarta pada 24 April 2021 yang membahas krisis Myanmar.Â
Di tengah tekanan internasional yang menuntut pengenaan sanksi terhadap junta militer Myanmar, Indonesia memilih untuk tidak mengusik prinsip non-intervensi ASEAN.
Sebaliknya, Indonesia mengupayakan pendekatan konstruktif melalui diplomasi. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia berhasil mendorong pihak-pihak berkonflik di Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memulai proses dialog inklusif.
Hal ini sesuai dengan prinsip bebas aktif dimana Indonesia berupaya berkontribusi positif bagi penyelesaian masalah kawasan tanpa terjebak pada kepentingan kekuatan besar.
Tantangan
Namun demikian, penerapan prinsip bebas aktif dalam diplomasi Laut China Selatan juga menghadapi berbagai tantangan. Pertama, negara-negara claimant state seperti China atau Vietnam seringkali menganggap sikap netral Indonesia sebagai bentuk pembiaran terhadap agresivitas pihak lain (Poling, 2020).
Kedua, peningkatan rivalitas antara AS dan China telah mempersempit ruang gerak bagi middle power, seperti Indonesia, untuk bersikap independen (Laksmana, 2011).Â
Ketiga, prinsip non-intervensi yang dianut Indonesia terkadang menghambat efektivitas diplomasi saat berhadapan dengan pelanggaran kedaulatan yang nyata di lapangan (Pattiradjawane & Soebagjo, 2015).
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, Indonesia perlu terus mempertahankan pendekatan bebas aktif sebagai kompas diplomasinya di Laut China Selatan.Â
Posisi geografis Indonesia yang strategis serta identitasnya sebagai negara berkembang terbesar di kawasan menempatkan Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang dalam arsitektur keamanan regional.
Dengan bersikap netral dan mengutamakan kerja sama, Indonesia dapat berkontribusi menjaga stabilitas dan mencegah eskalasi konflik. Pada saat yang sama, prinsip bebas aktif memungkinkan Indonesia untuk tetap mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk menjaga integritas wilayah dan kedaulatan wilayah Indonesia, termasuk di Kepulauan Natuna.
Untuk memperkuat peran sebagai honest broker, Indonesia memerlukan strategi diplomasi yang lebih proaktif dan antisipatif. Indonesia perlu terus memperjuangkan sentralitas ASEAN dalam mengelola sengketa Laut China Selatan, termasuk mendorong implementasi penuh Declaration of Conduct (DOC) dan mempercepat perundingan Code of Conduct (COC).
Indonesia juga harus memperkuat kerja sama bilateral dengan semua negara yang berkepentingan, baik itu negara claimant state maupun negara pengguna Laut China Selatan, dalam kerangka strategic partnership yang saling menguntungkan (Anwar, 2020).
Tidak kalah penting, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas pertahanan di Kepulauan Natuna. Pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto perlu membangun sistem pertahanan, termasuk pangkalan militer, untuk menangkal setiap potensi pelanggaran kedaulatan terhadap  kesatuan wilayah Indonesia.
Prinsip bebas aktif terbukti tetap relevan sebagai panduan diplomasi Indonesia dalam tata kelola potensi sengketa di Laut China Selatan menjadi laut perdamaian. Dengan mengedepankan sikap netral, mendahulukan dialog, dan mengutamakan kerja sama, Indonesia dapat berkontribusi positif bagi stabilitas keamanan di kkawasandan, sekaligus, mengamankan kedaulatan nasionalnya.
Meski menghadapi berbagai tantangan, baik eksternal maupun internal, Indonesia harus tetap berpegang teguh pada jati dirinya sebagai bangsa yang bebas aktif. Hanya dengan menjadi tuan (subyek) atas dirinya sendiri, Indonesia dapat menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam percaturan geopolitik di Laut China Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H