Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AS dan China Berebut Wacana Hegemonik di Indo-Pasifik

16 Mei 2024   06:49 Diperbarui: 16 Mei 2024   06:50 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawasan Indo-Pasifik telah menjadi arena kontestasi hegemonik antara kekuatan-kekuatan besar dalam beberapa tahun terakhir. Amerika Serikat (AS), China/Tiongkok, Jepang, India, dan aktor-aktor lain bersaing untuk membangun blok hegemonik dan menetapkan aturan main di kawasan.

Dengan menggunakan teori wacana post-strukturalis Ernesto Laclau, esai ini akan menganalisis bagaimana kontestasi hegemoni ini berlangsung melalui praktik artikulasi dan pembentukan rantai ekuivalensi.

Bagi Laclau & Mouffe (1985), hegemoni adalah kondisi di mana suatu partikularitas mengasumsikan representasi dari totalitas yang secara esensial tidak dapat direpresentasikan. Hegemoni melibatkan konstruksi nodal points yang menetapkan makna parsial dalam suatu wacana.

Dalam konteks Indo-Pasifik, AS dan China berupaya membangun nodal points mereka masing-masing. Tujuannya adalah untuk menetapkan makna dari tatanan regional. Selanjutnya, wacana hegemonik itu dapat menentukan bagaimana kontestasi wacana ini dapat memicu konflik dan, sekaligus, membuka ruang-ruang kerja sama di kawasan.

Laclau & Mouffe (1985) memandang wacana sebagai totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktik artikulasi. Melalui artikulasi, analisis wacana berupaya menetapkan relasi di antara elemen-elemen sedemikian rupa, sehingga identitasnya termodifikasi.

Dalam konteks Indo-Pasifik, berbagai kekuatan seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan India berupaya mengartikulasikan visi mereka tentang tatanan regional dan menetapkan makna dari penanda "Indo-Pasifik" itu sendiri.

Bahkan, Uni Eropa dan ASEAN juga ikut serta mewacanakan Indo-Pasifik menurut identitas mereka masing-masing. Artikulasi wacana dari  tiap-tiap pihak itu dapat diidentifikasi dari berbagai pernyataan para pemimpin dalam berbagai pidato atau pertemuan tingkat tinggi.

AS membaca Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" (Free and Open Indo-Pacific/FOIP) menjadi penanda utama untuk mempertahankan tatanan regional berbasis aturan dan membendung pengaruh Tiongkok. AS juga selalu mengaitkan penanda "Indo-Pasifik" dengan nilai-nilai liberal, seperti kebebasan navigasi, keterbukaan, dan kerja sama.

Dengan cara itu, AS berupaya membangun rantai ekuivalensi guna memperluas blok hegemoniknya di kawasan. Pada saat yang sama, AS juga berusaha menetapkan batas-batas wacana.  

Menlu AS Mike Pompeo (2019), misalnya, menegaskan visi AS untuk Indo-Pasifik tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi eksklusif. Sebaliknya, AS ingin wacana FOIP itu untuk meningkatkan stabilitas, keamanan, kemakmuran, dan kedaulatan negara di kawasan ini. 

Di sisi lain, Tiongkok menggunakan Belt and Road Initiative (BRI) untuk mengartikulasikan visinya tentang tatanan alternatif berbasis konektivitas dan pembangunan infrastruktur. Tiongkok berupaya mengisi penanda "Indo-Pasifik" dengan gagasan "komunitas nasib bersama" dan "kerja sama win-win".

Bagi China, BRI adalah jalan untuk perdamaian, kemakmuran, keterbukaan dan inovasi, bukan untuk perselisihan dan konfrontasi. Wacana ini bertujuan melawan hegemoni AS dengan membentuk rantai ekuivalensi tandingan.

Ekuivalensi tandingan itu membentuk batas-batas wacana yang mendukung hegemoni AS atau hegemoni China.

Menurut Laclau (1990), identitas aktor-aktor sosial bersifat relasional dan tidak tetap. Kontestasi antara narasi FOIP dan BRI mencerminkan upaya AS dan Tiongkok untuk menetapkan identitas mereka vis-a-vis satu sama lainnya sebagai kekuatan dominan di Indo-Pasifik.

Namun, persaingan ini juga membuka ruang bagi kemunculan posisi-posisi subjek baru yang dapat mengartikulasikan wacana alternatif. ASEAN, misalnya, berupaya membangun wacana Indo-Pasifik yang inklusif dan terpusat pada ASEAN melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).

AOIP menekankan sentralitas ASEAN, norma-norma berbasis aturan, dan kerja sama saling menguntungkan. Wacana AOIP menawarkan perspektif dan pendekatan ASEAN yang dapat berkontribusi pada memajukan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan.

Dengan mengartikulasikan posisinya sebagai kekuatan tengah (middle power), ASEAN berupaya menjembatani kontestasi AS-China.

Laclau (2005) juga menekankan peran penanda-penanda kosong (empty signifiers) dalam membangun wacana hegemonik. Penanda kosong adalah penanda yang kehilangan keterkaitan dengan penanda partikular dan menjadi titik identifikasi bagi berbagai tuntutan sosial.

Penanda kosong dalam kasus Indo-Pasifik adalah "kerjasama" yang diperebutkan dua kekuatan besar, AS dan China. Dengan mengisinya dengan berbagai tuntutan seperti konektivitas, pembangunan berkelanjutan, atau keamanan maritim, aktor-aktor kawasan ini dapat membangun konsensus dan membuka ruang bagi tindakan politik bersama.

Contoh penanda kosong dapat merujuk pada kerjasama infrastruktur, seperti Africa Growth Corridor (AAGC) yang digagas India-Jepang, Regional Comprehensive EconomicPartnership (RCEP), atau AS-China Maritime Cooperation Fund. Inisiatif seperti itu dapat menjadi modalitas kerjasama inklusif.

Kerja sama semacam ini berpotensi menggeser fokus dari kontestasi kekuasaan menuju pencapaian kepentingan bersama. Selanjutnya, pergeseran fokus itu berpotensi mengurangi risiko konflik terbuka.

Dengan menggunakan teori wacana Laclau, "Indo-Pasifik" bukanlah konsep yang stabil, melainkan konstruksi diskursif yang terus diperebutkan melalui praktik artikulasi. Kontestasi antara narasi-narasi besar, seperti FOIP dan BRI, mencerminkan upaya AS dan Tiongkok untuk membangun blok hegemonik.

Namun, kontestasi ini juga membuka ruang bagi munculnya posisi-posisi subjek alternatif seperti ASEAN yang dapat mengartikulasikan visi Indo-Pasifik yang lebih inklusif. Dengan memanfaatkan penanda-penanda kosong seperti "kerjasama", aktor-aktor kawasan dapat membangun konsensus dan membuka jalan bagi tindakan politik bersama guna meredakan ketegangan dan memajukan kepentingan bersama.

Pada akhirnya, arah kawasan akan ditentukan oleh pergulatan diskursif yang terus berlangsung ini. Pergulatan itu bersifat dinamis dan amat tergantung wacana-wacana yang dibawa oleh tiap-tiap aktor.

Wacana mana yang hegemonik, baik yang bersifat kooperatif atau konfliktual, akan menentukan stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Wacana yang dominan bakal menentukan realitas yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun