Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Analisis Fairclough mengenai Konflik dan Kerja Sama di Indo-Pasifik

14 Mei 2024   00:26 Diperbarui: 15 Mei 2024   07:04 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan ASEAN Indo-Pasific-Forum (AIPF), Jakarta, Selasa (5/9/2023). (Media Center KTT ASEAN 2023/Risa Krisadhi/pras.)

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana "Indo-Pasifik" telah menjadi arena kontestasi berbagai kekuatan besar dunia dalam merebut pengaruh di kawasan strategis ini. 

Menggunakan kerangka analisis wacana Norman Fairclough, tulisan ini akan menelaah bagaimana wacana Indo-Pasifik diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi oleh aktor-aktor negara maupun non-negara, serta implikasinya terhadap potensi konflik dan peluang kerjasama.

Fairclough (1995) melihat wacana sebagai praktik sosial yang dibentuk oleh relasi kuasa. Wacana tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga membentuk persepsi, identitas, dan relasi sosial. 

Dalam konteks ini, kemunculan Indo-Pasifik sebagai konstruksi diskursif tidak terlepas dari pergeseran kekuatan global ke Asia dan persaingan strategis di antara negara-negara besar, khususnya AS dan Tiongkok.

Bagi AS, narasi "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" (Free and Open Indo-Pacific/FOIP) menjadi alat untuk mempertahankan tatanan regional berbasis aturan dan membendung pengaruh Tiongkok. Melalui FOIP, AS berupaya mengartikulasikan identitasnya sebagai penjaga stabilitas dan kebebasan navigasi. 

AS diyakini terus menegaskan pelaksanaan tatanan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. AS bahkan telah bekerja dengan siapa pun untuk memajukan visi ini. 

Setelah sekian lama memusatkan perhatian pada stabilitas keamanan regional di Eropa sebagai warisan Perang Dingin, AS memulai kebijakan the US Rebalance. Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai Asia Pivot.

Sumber: DIP INSTITUTE/dip.or.id
Sumber: DIP INSTITUTE/dip.or.id

Peran AS sebagai pemimpin dalam membentuk tata kelola kawasan di Asia makin tampak dalam berbagai bentuk. Pertama, pakta segitiga kerjasama pertahanan antara AS, Inggris, dan Australia atau AUKUS. Lalu, kedua, ada inisiatif QUAD antara AS, Jepang, India, dan Australia.

Di sisi lain, Tiongkok menggunakan Belt and Road Initiative (BRI) sebagai narasi tandingan untuk memperluas pengaruhnya melalui konektivitas infrastruktur dan perdagangan. Bagi Tiongkok, BRI tak sekadar inisiatif ekonomi tetapi juga cara untuk mengartikulasikan identitasnya sebagai kekuatan besar yang bertanggung jawab. 

Bagi Pemimpin China, Xi Jinping, BRI adalah jalan menuju perdamaian, kemakmuran, keterbukaan, inovasi, dan peradaban. Wacana ini membingkai BRI sebagai inisiatif inklusif yang membawa manfaat bersama.

Analisis wacana Fairclough (2003) menekankan pentingnya menelaah bagaimana wacana diproduksi dan didistribusikan melalui teks, praktik diskursif, dan praktik sosial. Secara tekstual, FOIP dan BRI sama-sama menggunakan istilah-istilah positif seperti "kerja sama", "keterbukaan", dan "kemakmuran bersama". 

Namun secara diskursif, keduanya beroperasi dalam relasi kuasa yang timpang. AS menggunakan FOIP untuk mempertahankan hegemoninya. Sementara itu, Tiongkok mempromosikan BRI untuk menantang dominasi AS. 

Persaingan wacana ini secara jelas berpotensi memicu ketegangan, karena masing-masing pihak berupaya menegaskan identitas dan kepentingannya.

Selain itu, Fairclough (2010) juga menekankan adanya ruang untuk mengartikulasikan wacana alternatif yang lebih emansipatif. Di sini, negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, khususnya ASEAN, dapat memainkan peran penting dalam mengkonstruksi wacana yang lebih inklusif. 

ASEAN melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), misalnya, menekankan sentralitas ASEAN dalam arsitektur kawasan serta prinsip-prinsip inklusivitas, transparansi, dan penghormatan hukum internasional. Dengan merangkul berbagai pemangku kepentingan, AOIP membuka ruang dialog untuk menjembatani FOIP dan BRI.

Peluang kerja sama juga dapat dibangun melalui isu-isu non-tradisional seperti konektivitas, pembangunan berkelanjutan, dan keamanan maritim. Aktor-aktor negara cenderung mengedepankan kerja sama ketika saling ketergantungan di berbagai bidang meningkat. 

Inisiatif seperti jaringan infrastruktur Asia-Africa Growth Corridor yang digagas India-Jepang atau ASEAN-China Maritime Cooperation Fund dapat menjadi modalitas untuk mengelola rivalitas dan membangun rasa saling percaya.

Selain itu, pertarungan wacana mengenai Indo-Pasifik yang dikembangkan oleh AS dan China telah meningkatkan dinamika konflik dan kerja sama. Beberapa negara memiliki kedekatan tradisional terhadap AS atau China saja.

Namun, beberapa negara lain mencoba mencari keuntungan dari persaingan wacana itu. Yang menarik adalah negara-negara di kawasan ini tidak ragu bekerjasama di bidang ekonomi dengan China, namun cenderung curiga dengan ambisi kekuatan militer China di kawasan Indo-Pasifik. 

Ketika persoalan militer dengan China muncul, kebanyakan dari negara-negara itu memilih berada di bawah perlindungan AS.

Kondisi itu memungkinkan potensi konflik di sekitar AS dan China. Meski begitu peluang konflik di Indo-Pasifik pecah menjadi perang cenderung lebih rendah dibandingkan di Eropa (Atlantik).

Melalui analisis wacana Fairclough, kontestasi wacana Indo-Pasifik mencerminkan persaingan kekuasaan dan pengaruh antara negara-negara besar di kawasan yang semakin strategis ini. Analisis wacana kritis Fairclough menjelaskan bagaimana narasi-narasi dominan, seperti FOIP dan BRI, dibentuk oleh relasi kuasa yang timpang dan berpotensi memicu ketegangan.

Namun di sisi lain, terdapat pula ruang untuk mengartikulasikan wacana alternatif yang lebih inklusif dan emansipatif. Negara-negara di Indo-Pasifik, khususnya ASEAN, tetap dapat secara aktif terlibat dalam mengonstruksi wacana bersama yang menjembatani kepentingan berbagai pihak sembari memaksimalkan peluang kerja sama. 

Berbagai upaya untuk mendorong narasi-narasi yang lebih inklusif dan setara sangat diperlukan. Pendekatan yang lebih strategis dan berimbang diyakini dapat mendorong kawasan Indo-Pasifik menjadi episentrum kemakmuran dan perdamaian di abad ke-21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun