Bagi Pemimpin China, Xi Jinping, BRI adalah jalan menuju perdamaian, kemakmuran, keterbukaan, inovasi, dan peradaban. Wacana ini membingkai BRI sebagai inisiatif inklusif yang membawa manfaat bersama.
Analisis wacana Fairclough (2003) menekankan pentingnya menelaah bagaimana wacana diproduksi dan didistribusikan melalui teks, praktik diskursif, dan praktik sosial. Secara tekstual, FOIP dan BRI sama-sama menggunakan istilah-istilah positif seperti "kerja sama", "keterbukaan", dan "kemakmuran bersama".Â
Namun secara diskursif, keduanya beroperasi dalam relasi kuasa yang timpang. AS menggunakan FOIP untuk mempertahankan hegemoninya. Sementara itu, Tiongkok mempromosikan BRI untuk menantang dominasi AS.Â
Persaingan wacana ini secara jelas berpotensi memicu ketegangan, karena masing-masing pihak berupaya menegaskan identitas dan kepentingannya.
Selain itu, Fairclough (2010) juga menekankan adanya ruang untuk mengartikulasikan wacana alternatif yang lebih emansipatif. Di sini, negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, khususnya ASEAN, dapat memainkan peran penting dalam mengkonstruksi wacana yang lebih inklusif.Â
ASEAN melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), misalnya, menekankan sentralitas ASEAN dalam arsitektur kawasan serta prinsip-prinsip inklusivitas, transparansi, dan penghormatan hukum internasional. Dengan merangkul berbagai pemangku kepentingan, AOIP membuka ruang dialog untuk menjembatani FOIP dan BRI.
Peluang kerja sama juga dapat dibangun melalui isu-isu non-tradisional seperti konektivitas, pembangunan berkelanjutan, dan keamanan maritim. Aktor-aktor negara cenderung mengedepankan kerja sama ketika saling ketergantungan di berbagai bidang meningkat.Â
Inisiatif seperti jaringan infrastruktur Asia-Africa Growth Corridor yang digagas India-Jepang atau ASEAN-China Maritime Cooperation Fund dapat menjadi modalitas untuk mengelola rivalitas dan membangun rasa saling percaya.
Selain itu, pertarungan wacana mengenai Indo-Pasifik yang dikembangkan oleh AS dan China telah meningkatkan dinamika konflik dan kerja sama. Beberapa negara memiliki kedekatan tradisional terhadap AS atau China saja.
Namun, beberapa negara lain mencoba mencari keuntungan dari persaingan wacana itu. Yang menarik adalah negara-negara di kawasan ini tidak ragu bekerjasama di bidang ekonomi dengan China, namun cenderung curiga dengan ambisi kekuatan militer China di kawasan Indo-Pasifik.Â
Ketika persoalan militer dengan China muncul, kebanyakan dari negara-negara itu memilih berada di bawah perlindungan AS.