Sebagai negara besar di kawasan Indo-Pasifik yang sarat dinamika, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan otonomi strategisnya di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.Â
Meningkatnya ketegangan antara kedua adidaya telah menciptakan tekanan bagi Jakarta untuk memilih pihak. Resikonya adalah bahwa pemihakan itu berpotensi mengancam prinsip "bebas dan aktif" yang menjadi pedoman diplomasi Indonesia.Â
Dalam situasi ini, realisme defensif, sebuah perspektif dalam studi Hubungan Internasional, menawarkan kerangka analisa yang berguna untuk memahami upaya Indonesia untuk tidak memihak. Dalam tataran tertentu, Indonesia bahkan verpeean sebagai penyeimbang bagi kedua kekuatan itu.
Realisme defensif
Inti dari realisme defensif adalah kecenderungan negara-negara berperilaku memperkuat diri mereka sendiri untuk mempertahankan keamanan nasionalnya. Mereka malah tidak mengejar kekuasaan secara ofensif  atau berorientasi ke luar (Snyder, 1991).Â
Selanjutnya, Kenneth Waltz (1979) menjelaskan bahwa  di dunia yang anarki seperti itu, keamanan merupakan tujuan utama negara-bangsa. Dengan kata lain, upaya mewujudkan keamanan nasional, bukannya ekspansi wilayah atau pengaruh, yang menjadi motivasi utama perilaku negara.
Dari sudut pandang ini, diplomasi penyeimbangan Indonesia terhadap AS dan Tiongkok merupakan respon defensif untuk memastikan keamanan dan kepentingan nasionalnya tetap terlindungi. Indonesia menolak untuk masuk dalam pertarungan antara kekuatan besar. Jakarta tidak mau menjadi sekedar pesuruh atau pelayan negara adikuasa.Â
Dengan mempertahankan jarak yang sama dari kedua adidaya, Indonesia dapat menghindari resiko  terjebak dalam konflik kepentingan atau menjadi sasaran tekanan berlebihan. Posisi internasional yang diambil Indonesia ini sangat berbeda dengan pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.
Pada masa pemerintahan Sukarno, Indonesia yang lebih ke blok Timur atau memihak Uni Soviet dan/atau China. Sedangkan, pemerintahan Suharto cenderung memihak AS.
TantanganÂ
Namun demikian, menjaga keseimbangan ini bukanlah tugas yang mudah. Indonesia dihadapkan pada dilema keamanan yang rumit akibat persaingan kekuatan besar. Pada gilirannya, dilema itu berpotensi pada resiko-resiko lanjutan juga.
Di satu sisi, Jakarta harus menjaga hubungan baik dengan AS. Negara ini merupakan sekutu pertahanan tradisional Indonesia yang berkomitmen pada tata tertib Indo-Pasifik berbasis aturan.Â
Di sisi lain, Tiongkok menjadi mitra ekonomi utama yang tidak bisa diabaikan di bidang ekonomi. Kenyataan bahwa Tiongkok memobilisasi kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) telah memberikan relative gain bagi Indonesia.
Untuk mengatasi dilema ini, Jakarta telah mengambil pendekatan pragmatis yang berfokus pada bidang-bidang kerja sama yang saling menguntungkan. Hubungan konstruktif dengan Tiongkok dan Amerika penting bagi Indonesia untuk memastikan stabilitas keamanan dan kesejahteraan ekonomi (Anwar, 2020).Â
Investasi, perdagangan, dan kerja sama di isu-isu non-tradisional seperti perubahan iklim dan kesehatan global menjadi area potensial bagi keterlibatan bersama.
Selain itu, Indonesia telah memperkuat diplomasi regionalnya, membangun konsensus ASEAN dan mitra lainnya dalam mengelola hubungan dengan kekuatan adidaya.Â
Pada KTT ASEAN-AS di Kamboja bulan November 2022 lalu, Indonesia mendorong penguatan kerja sama maritim dan kepatuhan pada UNCLOS (Hukum Laut Internasional) sebagai mekanisme untuk menjaga stabilitas Indo-Pasifik.
Pendekatan ASEAN sentris sangat penting bagi Indonesia untuk memastikan kawasan ini tidak menjadi ajang perebutan pengaruh kekuatan besar.Â
Upaya ini merupakan strategi defensif klasik, yaitu memperkuat ikatan dengan negara-negara sekutu dan sekawannya untuk mengimbangi kekuatan besar yang mengancam.
Di dalam negeri, Indonesia juga telah mengintensifkan upaya meningkatkan kapasitas pertahanannya sendiri melalui program modernisasi dan penguatan industri pertahanan lokal. Langkah ini sejalan dengan prinsip self-help dalam realisme defensif. Negara harus mengandalkan kapabilitasnya sendiri untuk memastikan keamanannya (Waltz, 2008).
Membangun kekuatan pertahanan yang kuat menjadi investasi bagi Indonesia untuk memperkuat otonomi strategisnya di masa depan. Penguatan postur defensif ini akan memberi Jakarta posisi tawar yang lebih baik dalam berhubungan dengan kekuatan adidaya.
Tentu saja, realisme defensif bukanlah satu-satunya lensa untuk memahami diplomasi Indonesia. Faktor-faktor lain seperti identitas nasional, norma, dan kepentingan domestik juga turut berperan.Â
Namun, perspektif ini menyoroti motivasi utama Jakarta untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasionalnya di tengah tekanan persaingan AS-Tiongkok.
Seperti disimpulkan Mohammed Ayoob (1995), salah satu kontributor utama realisme defensif, "Tujuan pertama dan terpenting bagi sebagian besar negara berkembang adalah mempertahankan identitas, integritas teritorial, dan kelangsungan hidup politik mereka.Â
Diplomasi penyeimbangan Indonesia sejalan dengan prinsip ini, yaitu berupaya memaksimalkan keuntungan dari keterlibatan dengan kekuatan adidaya. Selain itu, strategi diplomasi ini juga dapat membatasi risiko dan ancaman yang dapat merusak otonomi dan kedaulatannya.
Dengan menerapkan pendekatan realis-defensif yang pragmatis dan berdasar kepentingan nasional, Indonesia dapat terus bernavigasi di perairan dinamis Indo-Pasifik sambil mempertahankan kemandiriannya sebagai negara berdaulat.Â
Hanya dengan menjaga keseimbangan yang cermat di antara kedua negara adidaya, Jakarta dapat memastikan kepentingan nasionalnya tetap terlindungi dari dampak persaingan kekuatan besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H