Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dominasi Peran Negara dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Era Jokowi

25 Maret 2024   17:20 Diperbarui: 26 Maret 2024   06:58 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan pada pembukaan KTT ke-43 ASEAN 2023 di Jakarta, Selasa (5/9/2023). (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Negara ternyata masih merupakan aktor dominan dalam politik luar negeri, termasuk di Indonesia. Walau dunia memang sudah mengglobal dan hubungan internasional tidak lagi semata ditentukan oleh dua kekuatan global, seperti pada masa Perang Dingin, dominasi negara tampaknya belum tertandingi.

Studi Hubungan Internasional memiliki beberapa perspektif yang dapat digunakan untuk memahami fenomena politik global. Salah satunya adalah realisme. 

Realisme memandang negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Negara bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya (Morgenthau, 1948). 

Dalam konteks Indonesia, pendekatan realisme masih relevan untuk menjelaskan dinamika politik luar negeri, termasuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Esai ini akan menganalisis bagaimana peran negara masih dominan dalam politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dan mengapa dominasi negara tersebut terjadi.

Dominasi Negara 

Perspektif realisme dalam studi Hubungan Internasional memberikan kerangka pemahaman yang kuat mengenai fenomena ini. Kepentingan negara menjadi pusat perhatian utama dalam melancarkan strategi dan kebijakan luar negeri. 

Realisme mengedepankan kepentingan nasional dan kekuasaan negara sebagai sarana pencapaian keamanan. Realisme juga menginterpretasikan dominasi negara dalam politik luar negeri sebagai manifestasi dari upaya survival dalam sistem internasional anarkis.

Presiden Jokowi saat berbicara pada Pleno KTT ke-31 ASEAN di Manila, Filipina, Senin (13/11). (Foto: BPMI via setkab.go.id)
Presiden Jokowi saat berbicara pada Pleno KTT ke-31 ASEAN di Manila, Filipina, Senin (13/11). (Foto: BPMI via setkab.go.id)

Sejak Jokowi menjabat sebagai presiden pada tahun 2014, Indonesia telah menunjukkan sikap yang lebih asertif dalam politik luar negerinya. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah. 

Ketegasan itu tampak dalam beberapa kebijakan, misalnya penenggelaman kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia, penolakan Indonesia terhadap klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan, dan penolakan Indonesia tidak mengundang Rusia pada KTT G20.

Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, masih memegang peran yang dominan dalam menentukan arah politik luar negeri. 

Dominasi negara dalam politik luar negeri Indonesia juga terlihat dari fokus pemerintah pada isu-isu keamanan tradisional, seperti kedaulatan teritorial, keamanan maritim, atau isu-isu perbatasan. 

Pendekatan realisme tampaknya masih menjadi panduan utama dalam perumusan kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan pendekatan itu, negara berupaya untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya di tengah dinamika politik internasional. 

Hal ini sejalan dengan argumen realisme yang menekankan pada peran sentral negara dalam hubungan internasional (Waltz, 1979). Pemerintah memang memiliki otoritas tunggal untuk memobilisasi penggunaan berbagai sumber daya demi kepentingan nasionalnya.

Diplomasi ekonomi pemerintahan Jokowi yang agresif, termasuk penandatanganan berbagai perjanjian perdagangan bebas, juga mencerminkan logika realis tentang kekuatan ekonomi sebagai alat pencapaian kekuasaan dan pengaruh internasional. Waltz (1979) dalam karyanya "Theory of International Politics" menyarankan bahwa dalam sistem internasional anarkis, negara-negara berusaha memaksimalkan kapabilitas ekonomi mereka untuk meningkatkan kekuatan relatif mereka.

Selain itu, dominasi negara dalam politik luar negeri Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor domestik. Walaupun sudah demokratis sejak 1998, sistem politik Indonesia masih bersifat state-centric. Negara diangggap masih memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan kebijakan luar negeri. 

Pandangan itu didasari oleh pemahaman bahwa politik luar negeri merupakan domain negara. Dalam pandangan kelompok realis, pemerintah adalah satu-satunya aktor yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan demi kepentingan nasional. 

Walau demokrasi memungkinkan aktor-aktor non-negara ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan luar negeri, kenyataan masih menempatkan negara sebagai aktor dominan.

Beberapa penyebab

Dominasi negara dalam politik luar negeri Indonesia dapat dijelaskan melalui beberapa faktor: 

Pertama, Indonesia memiliki kepentingan nasional yang harus dipertahankan dalam hubungan internasional. Sebagai negara dengan posisi geopolitik yang strategis, Indonesia berupaya untuk menjaga stabilitas dan keamanan regionalnya. 

Dalam perspektif realisme, negara akan bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya, termasuk dalam konteks politik luar negeri. Dengan posisi geopolitik itu, stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara menjadu sangat strategis bagi kepentingan nasional Indonesia.

Kedua, Indonesia menghadapi tantangan keamanan yang kompleks, baik di tingkat regional maupun global. Isu-isu, seperti sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, ancaman terorisme, dan kejahatan transnasional menuntut peran aktif negara dalam politik luar negeri. 

Dalam situasi ini, negara perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan menjaga keamanan negara.

Ketiga, sistem politik Indonesia yang masih bersifat state-centric turut berkontribusi terhadap dominasi peran negara dalam politik luar negeri. Meskipun Indonesia telah mengalami reformasi politik, namun peran negara masih sangat kuat dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam kebijakan luar negeri. 

Hal ini mencerminkan warisan sejarah Indonesia, di mana negara selalu memainkan peran sentral dalam kehidupan politik dan sosial. Pemberdayaan aktor-aktor non-negara dalam perumusan kebijakan luar negeri menjadi sangat tergantung pada negara.

Pendekatan realisme masih relevan untuk memahami dinamika politik luar negeri Indonesia di era pemerintahan Jokowi. Negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, masih memegang peran yang dominan dalam menentukan arah kebijakan luar negeri. 

Dominasi negara ini dipengaruhi oleh kepentingan nasional Indonesia, tantangan keamanan yang dihadapi, dan sistem politik yang masih bersifat state-centric. Meskipun globalisasi ekonomi semakin mengurangi peran negara, kenyataan masih mengungkapkan dominasi negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan luar negeri.

Kritik terhadap dominasi negara dalam politik luar negeri sering kali mengarah pada pandangan bahwa realisme mengabaikan pentingnya aktor non-negara dan isu-isu transnasional dalam dinamika global kontemporer. 

Namun demikian, melalui lensa realisme, aktivitas negara dalam ranah internasional, termasuk yang diperlihatkan oleh Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dapat dilihat sebagai sebuah usaha rasional dan pragmatis untuk navigasi Indonesia dalam sistem internasional yang tidak bisa diprediksi dan sering kali berbahaya.

Pemerintahan Presiden Jokowi, dengan berbagai kebijakan dan inisiatifnya, menempatkan Indonesia dalam narasi realis ini, menegaskan kembali peranan dominan negara dalam mengatur tata kelola hubungan internasional dan menjaga kepentingan nasionalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun