Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada Februari 2022 telah menjadi tragedi kemanusiaan dengan konsekuensi global yang signifikan. Namun demikian, perang ini juga dapat dianggap sebagai perang wacana.
Esai ini memakai pendekatan post-strukturalis yang menolak gagasan adanya kebenaran tunggal dan universal. Pendekatan ini juga menekankan pada bagaimana bahasa, wacana, dan identitas berperan dalam membentuk pemahaman kita tentang realitas (Foucault, 1972).Â
Dengan pendekatan ini, kita bisa melihat perang Rusia-Ukraina bukan hanya sebagai pertarungan teritorial, tetapi sebagai arena di mana identitas, kekuasaan, dan legitimasi dikonstruksi dan diperdebatkan.
Narasi Dominan dan Hegemoni
Pendekatan post-strukturalisme, seperti yang diutarakan oleh Richard Ashley, menantang asumsi positivisme dalam studi Hubungan Internasional (HI). Fokus post-strukturalisme adalah realitas yang intersubjektif dan terkonstruksi.
Dalam konteks perang Rusia-Ukraina, narasi dominan yang dikonstruksikan oleh kedua belah pihak memainkan peran penting dalam membentuk realitas dan melegitimasi tindakan mereka.
Rusia, misalnya, mempromosikan narasi yang menggambarkan Ukraina sebagai negara boneka Barat. Keinginan Ukraina menjadi anggota NATO dianggap Rusia mengancam keamanan nasionalnya. Narasi ini, seperti yang diutarakan oleh Putin, bertujuan untuk membangun legitimasi publik terhadap intervensi militer di Ukraina dan mengklaim wilayahnya sebagai bagian dari "ruang lingkup pengaruh" (sphere of influence) Rusia.
Sebaliknya, Ukraina dan sekutu Baratnyq membangun narasi yang berbeda. Mereka menggambarkan Rusia sebagai agresor yang melanggar hukum internasional dan mengancam stabilitas regional.Â
Melalui narasi itu, Presiden Ukraina, Zelensky, ingin memobilisasi dukungan domestik dan internasional, mengutuk tindakan Rusia, dan mendapatkan bantuan militer dan ekonomi.
Pertarungan wacana kedua pihak mengenai perang itu telah membenarkan tindakan masing-masing pihak. Bagi negara-negara lain, wacana dari masing-masing pihak itu akan menentukan sikap negara-negara itu untuk mendukung atau menolak pihak-pihak yang berkonflik.
Propaganda dan Manipulasi
Selain itu, kedua belah pihak menggunakan propaganda sebagai alat untuk menyebarkan narasi dan memanipulasi opini publik. Propaganda ini dapat berupa berita palsu, manipulasi gambar, dan ujaran kebencian.
Menurut Cynthia Weber, propaganda dalam konteks post-strukturalisme bukan hanya tentang penyebaran informasi yang salah, tetapi juga tentang pembentukan subjek dan identitas.Â
Propaganda Rusia, misalnya, berusaha untuk menggambarkan rakyat Ukraina sebagai "Nazi" dan "fasis" untuk menjustifikasi tindakan militer Rusia.
Di sisi lain, propaganda Barat berusaha untuk membangun citra Ukraina sebagai korban yang heroik dan Rusia dianggap sebagai penjahat yang kejam untuk menggalang dukungan dan partisipasi publik global.
Propaganda dan manipulasi menemukan cara dan bentuk yang masif, terstruktur, dan sistematis ketika bertemu dengan sosial media (sosmed). Berbagai platform sosmed dipakai sebagai arena pertarungan wacana untuk membentuk realitas atau fakta dan selanjutnya menentukan tindakannya.
Dekonstruksi Narasi dan Propaganda
Pendekatan post-strukturalisme mau tidak mau harus mempertimbangkan pandangan Jacques Derrida. Derrida tidak sekedar mempertanyakan (seperti pendukung teori kritis), tapi melangkah lebih jauh, yaitu  membongkar kemapanan nilai atau asumsi.Â
Menggunakan dekonstruksi, Derrida menawarkan metode itu menganalisis narasi dan propaganda yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina. Dekonstruksi itu bertujuan membongkar asumsi, nilai, dan kontradiksi yang terkandung dalam narasi dan propaganda tersebut.
Dengan mendekonstruksi narasi dan propaganda, kita dapat melihat bagaimana mereka digunakan untuk memanipulasi dan mengendalikan orang. Kita juga dapat melihat bagaimana narasi dan propaganda ini dapat menyebabkan kekerasan dan konflik.
Dampak PerangÂ
Perang Rusia-Ukraina telah memiliki dampak yang merugikan bagi rakyat Ukraina. Banyak orang menjadi korban, kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan orang-orang terkasih. Perang ini juga telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang serius.
Pendekatan post-strukturalisme dapat membantu kita memahami bagaimana perang ini telah memengaruhi rakyat Ukraina. Post-strukturalisme dapat membantu kita melihat bagaimana narasi dan propaganda telah digunakan untuk menjustifikasi kekerasan dan penderitaan.
Di masa depan, analisis narasi dan propaganda yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina tetap penting. Dengan dekonstruksi dan analisis kritis, kita dapat menantang hegemoni dan mendorong perdamaian yang adil dan berkelanjutan.
Selain itu, pendekatan post-strukturalis juga menawarkan cara untuk memahami perang Rusia-Ukraina yang melampaui penjelasan tradisional tentang realpolitik dan geopolitik. Pendekatan ini membantu kita melihat bagaimana wacana dan bahasa digunakan untuk membangun realitas, melegitimasi power, dan memanipulasi opini publik.
Konstruksi sosial tentang keamanan, ancaman, dan identitas nasional memainkan peran kunci dalam dinamika konflik ini. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk mempertanyakan dan mendelegitimasi diskursus dominan, menawarkan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika kekuasaan, dan memberi kita alat untuk membayangkan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dengan memahami konstruksi makna dan power dalam perang ini, kita dapat membuka ruang untuk dialog kritis dan solusi yang lebih damai. Perang, misalnya, tidak sekedar menebalkan identitas masing-masing pihak, tapi sekaligus juga menghancurkan identitas itu.
Perang Rusia-Ukraina adalah contoh bagaimana wacana dan bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi dan mengendalikan orang. Pendekatan post-strukturalisme menawarkan cara pandang yang berbeda untuk memahami perang ini.Â
Pendekatan post-strukturalisme juga dapat membantu kita memahami bagaimana perang ini telah memengaruhi rakyat Ukraina dan negara-negara lain.Â
Tragisnya, post-strukturalisme justru membantu kita melihat dengan kasut mata soal bagaimana narasi dan propaganda telah digunakan untuk menjustifikasi kekerasan dan penderitaan, seperti pada perang-perang lainnya, termasuk antara Israel-Palestina.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H